Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Jumat, 15 Juli 2016

Khutbah jumat

Khutbah I

اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ بِفَضْلِهِ اتَّقَى اْلمُتَقُوْنَ رَبَّهُمْ، وَبِفَضْلِهِ ازْدَلَفَ إِلَى جَنَّاتِ الكَرَامَة. أَشْهَدُ أَنْ لَا اله إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله. اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أما بعد فياعباد الله أوصِيكم ونفسى بتقوى الله فقد فاز المتقون ، اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

Jamaah shalat Jum’at hadâkumullâh,

Anjuran untuk selalu meningkatkan keimanan kepada Allah subhânahu wata‘âlâ sangat sering kita dengarkan di mimbar-mimbar dakwah. Kata yang biasanya mengiringinya adalah imbauan untuk juga bertakwa. Maka ditekankanlah para jamaah untuk memperbaiki kualitas ibadahnya, menggiatkan amalan-amalan fadlu, lalu menambah amalan-amalan sunnah. Ciri-ciri dari dampak perubahan kemudian bisa dilihat dari kian rajinnya seseorang datang ke masjid, sembahyang jamaah semakin sering, frekuensi shalat tahajud tambah, dan lain-lain.

Serentetan anjuran tersebut tentu saja benar. Dan seyogianya perlu mendapat perhatian. Artinya, semakin banyak aktivitas ‘ubûdiyah seorang hamba menandakan ia semakin dekat dengan Tuhannya, setidaknya secara kasat mata. Namun, yang penting pula diperhatikan adalah rambu-rambu yang digariskan Rasulullah soal nilai keimanan seseorang. Beliau pernah bersabda:

وَعَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ قَالَ: «وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

“Demi Allah, tidak beriman seorang hamba kecuali ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

Kata lâ yu’minu tidak bermakna kafir dalam pengertian teologis. Sebagian ulama menafsirkannya dengan “tidak sempurna iman seseorang”. Ini selaras dengan pernyataan bahwa seorang mukmin sejati pastilah akan menaruh kasih sayang kepada orang lain setara ketika ia mengasih-sayangi diri dan keluarganya sendiri. Bila hal demikian tak terjadi, sesuai sabda Nabi, maka iman orang bersangkutan dianggap tidak sempurna.

Hadits ini mengurai tentang keimanan yang ternyata tak semata-mata berhubungan dengan Allah, tapi juga dengan kehidupan antara manusia dan manusia lainnya. Relasinya tak hanya bersifat horizontal, tapi juga vertikal, hablum minallâh dan hablum minannâs. Yang menarik, Rasulullah menggunakan kata li jârihi (kepada tetangganya) tanpa memberikan atribusi apa pun “tetangga yang mana dan seperti apa”. Artinya, kasih sayang sosial ini bermakna luas kepada siapa pun, tanpa melihat apakah ia pribumi atau pendatang, kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, suku ini atau suku itu, bahkan agama A atau agama B.

Jamaah shalat Jum’at hadâkumullâh,

Dengan demikian keimanan tidak selalu diukur berdasarkan jumlah ibadah seorang kepada Allah SWT. Intensitas seseorang dalam mengerjakan ibadah wajib maupun sunnah tak memastikan kesempurnaan iman seseorang. Ini bukan berarti ibadah tidak penting. Hanya saja yang patut diperhatikan bahwa Islam tidak hanya meminta umatnya percaya kepada Tuhan, kemudian beribadah terus-menerus, tetapi juga mendorong kita untuk peduli dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Ibadah itu sangat penting, namun peka dan menebar kasih sayang kepada sesama juga tak kalah penting.

Dalam Al-Qur’an sendiri, perintah shalat selalu disandingkan dengan perintah zakat. Aqîmus shalâh wa âtuz zakâh (dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat). Shalat mewakili perintah agar seorang hamba menjalin hubungan baik dengan Allah, sedangkan zakat mewakili perintah agar manusia peduli dan membantu sesamanya. Keterangan ini semakin menegaskan bahwa manusia tercipta bukan hanya sebagai makhluk individual tapi juga makhluk sosial. Sebagai makhluk yang bersentuhan dengan masyarakat, manusia ditekankah oleh Islam untuk memperhatikan kemaslahatan dan kemudaratan yang berkembang di lingkungan sekitar.

Hati orang yang beriman tak akan tega menyaksikan penderitaan orang lain sementara dirinya bersenang-senang. Mukmin sejati tak mungkin berdiam diri kala menyaksikan tetangganya dalam kesulitan. Hamba dengan iman yang sempurna yang tampak dalam dirinya sifat-sifat gemar menolong, bersedekah, dan lain-lain. Dan hal itu ia lakukan tanpa mengharap imbalan apa pun, tulus, sebagaimana ia lakukan itu kepada dirinya sendiri.

Tentang hal ini, Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Fathur Rabbani wal Faydur Rahmani juga pernah mengatakan, “Jika kamu menyukai makanan enak, pakaian bagus, rumah mewah, wanita cantik, dan harta yang berlimpah, sementara pada saat yang sama kamu menginginkan agar saudara muslimmu mendapatkan kebalikannya, maka sungguh bohong bila kamu mengaku memiliki iman yang sempurna.”

Betapa berat meraih keimanan yang sempurna. Mungkin lebih sulit dari sekadar rajin tahajud atau ibadah lainnya. Kenyataan ini juga menampar sebagian dari kita yang kadang meremehkan orang lain, di saat yang sama mengunggulkan diri sendiri, dengan ukuran-ukuran prestasi ibadah yang kita sendiri belum tahu apakah Allah menerimanya atau menolaknya.

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

Selasa, 15 Juli 2014

musnad abu ya'la

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang.
Sumber ajaran Islam yang utama adalah al-Qur‘an dan hadis atau al-Sunnah. Al-Qur`an merupakan sumber dasar Syari’at Islam yang tidak ada keraguan padanya, karena al-Qur`an adalah kalam Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad dengan perantara Jibril, dan diriwayatkan secara mutawattir. Beberapa ayat dalam al-Qur’an menunjukkan dengan jelas bahwa ia adalah dasar dan sumber utama hukum dalam Islam.
Hadis tidak ditulis secara resmi pada saat al-Qur’an ditulis.Bahkan Nabi sendiri melarang sahabat untuk menulis hadis beliau.Meskipun ada beberapa catatan-catatan hadis pada masa Nabi, tetapi itu hanya dimiliki oleh beberapa orang sahabat dan dilakukan atas inisiatif mereka masing-masing.Keadaan demikian menjadikan hadis Nabi dalam perjalanan sejarah banyak mengalami pencemaran dan pemalsuan. Hadis-hadis Nabi saw. baru dikumpulkan dan ditulis secara resmi dan masa abad II H, masa pemerintahan Khal-ifah Umar bin Abd al-Aziz (w.101 H). Momentumnya adalah ketika khalifah ketujuh dari dinasti Umayyah ini mengeluarkan surat perintah resmi kepada para gubernur dan ulama hadis untuk melakukan penghimpunan (kodifikasi) terhadap hadis-hadis Nabi saw. Instruksi Khalifah tersebut dilaksanakan oleh seorang ulama besar Hijaz, Ibnu Syihab al-Zuhriy dan berhasil menyusun suatu kodifikasi hadis yang kemudian disebar ke daerah-daerah untuk dijadikan sebagai referensi.Pada masa selanjutnya, ulama-ulama giat melaksakan kegiatan serupa.Penghimpunan hadis marak dilakukan dan mencapai puncaknya pada abad III H. Pada masa ini banyak kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh ulama.Bahkan juga telah muncul kodifikasi metodologis yang dipelopori oleh al-Bukhari (w.256 H) dan Muslim (w.261 H).
Di antara kumpulan kitab hadis yang masyhur ialah Musnad abu ya'la karya Imam abu ya'la al maushili>, seorang ahli hadis dan juga Imam Fiqih. Dalam hal ini pemakalah mencoba mengkaji kitab hadis Musnad abu ya'la al maushili beserta biografi penyusunnya, yaitu Ahmad bin Ali bin al-Mutsanni bin Yahya bin Isa al Maushili>

B.   Rumusan Masalah.
Dari deskripsi masalah di atas pemakalah dapat menarik beberapa masalah yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini Yaitu:
1.      Bagaimana biografi abu ya'la al-maushili>?
2.      Bagaimana Biografi kitab Musnad abu ya'la al-maushili>?
3.      Bagaimana metodologi penyusunan kitab Musnad abu ya'la al-maushili>?
Shalat Malam Sumber Kekuatan Jiwa
(Tafsir Surat al-Muzammil)
 










Tugas Mata Kuliah;
Kajian Tafsir di Indonesia
Oleh;
ZAINUDDIN
30700111015


Dosen Pemandu;
Drs. Muhsin Mahfudz, M. Th. I

PROGRAM STUDI  ILMU HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Tafsir adalah suatu usaha dalam menyingkap dan mengungkap makna dibalik ungkapan-ungkapan bahasa Al-Qur’an dengan maksud untuk mentransfer faham dibalik lafadz yang tersurat, baik dipandang dari sisi sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dan lokasi diturunkannya Al-Qur’an, termasuk juga membahas hukum yang terkandung didalamnya.
Pada awalnya kitab-kitab tafsir yang diusahakan pada masa sahabat, tabiin, dan tabiit-tabiin ditulis masih dalam bahasa Arab karena mereka hidup dikalangan orang-orang yang berbahas arab.
Kelemahan tafsir ini antara lain yaitu tafsir mereka hanya dapat di fahami oleh orang yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan bahasa Arab yang cukup, serta contoh-contoh yang mereka buat belum tentu pas dalam semua kondisi setiap daerah. Padahal tujuan tafsir adalah untuk mengungkap dan memperjelas makna dibalik kata-kata Al-Qur’an yang menggunakan bahasa arab dan harus bisa dengan lebih mudah difahami masyarakat dimana Al-Qur’an itu ditafsirkan guna memantapkan pemahaman masyarakat terhadap pesan-pesan al-Quran itu sendiri.
Nah bagaimana di Indonesia? Dengan maksud memudahkan umat Islam yang ada di indonesia dalam memahami isi dan kandungan Al-Qur’an, maka usaha penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an dengan bahasa Indonesia juga dilakukan oleh para Ulama dan cendikiawan islam indonesia, baik oleh perorangan maupun kelompok. Penerjemahan dan penafsiran Al-quran oleh mufassir Tanah Air tidak hanya ditransfer ke dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa daerah dan bahasa Melayu.
Penulisan kitab terjemahan dan tafsir Al-quran dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Melayu sebenarnya sudah dimulai pada abad ke-17 M. Pada masa itu, Syekh Abdur Rauf Singkily seorang ulama asal Singkil di Aceh menyusun sebuah kitab tafsir pertama berbahasa Melayu yang diberi judul Turjuman al-Mustafid.
Upaya penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an dalam bahasa Melayu diteruskan pada periode selanjutnya oleh Muhammad bin Umar yang terkenal dengan nama Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Kitab Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil al-Musfir ‘an Wujuh Mahasin at-Ta’wil yang disusun Syekh Nawawi ini diterbitkan di Makkah pada permulaan tahun 1880-an. Hingga kini, sudah beberapa kali dicetak ulang dan banyak beredar di kawasan Timur Tengah.
Sementara itu, pada abad ke-19 M hingga memasuki abad ke-20 M, mulai bermunculan berbagai macam kitab terjemahan dan tafsir Alquran karya para ulama dalam negeri.Di antaranya, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Maknanya karya Prof H Mahmud Yunus yang dirilis pada 1967.[1]Pada 1974, umat Islam di Indonesia mulai mengenal kitab tafsir dalam bahasa daerah melalui Al-Kitab al-Mubin Tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda yang disusun oleh KH MHD Ramli.Kemudian, di tahun 1977, muncul kitab tafsir dalam bahasa Jawa karya Prof KH R Muhammad Adnan yang berjudul Tafsir Al-Qur’an Suci.
Di Indonesia bagian timur sendiri tepatnya di Sulawesi selatan geliat penafsiran al-Quran juga cukup berkembang, salah-satunya tafsir yang berbahasa bugis karya AG.H. Daud Ismail dengan judul tafsir al-Munir, dan tafsir dengan metode tematik karya Muin Salim dengan judul jalan lurus menuju hati sejahtera tafsir surah al-fatihah, Tafsir surah al-Muzammil Shalat Malam Sumber Kekuatan Jiwa Karya Ahmad Marzuki Hasan.
Salah satu karya tafsir yang menarik bagi penulis untuk di teliti ialah Karya tafsir Ahmad Marzuki Hasan dengan judul “Shalat Malam Sumber Kekuatan jiwa” tafsir surah al-Muzammil, penulis tertarik meneliti karya Tafsir tersebut karena sosok Pengarangnya yaitu Ahmad Marzuki Hasan yang karismatik, sosok pejuang penegakan syariat islam yang istiqamah, dan berdampak bias yang besar bagi perkembangan islam di Sulawesi selatan.
Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas, pemakalah dapat membuat rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana biografi penulis Shalat Malam Sumber Kekuatan jiwa (tafsir surah al-Muzammil) ?
2.      Bagaimana profil buku Shalat Malam Sumber Kekuatan jiwa (tafsir surah al-Muzammil) ?

Jumat, 14 Februari 2014

khutbah jumat fase kehidupan dunia

Al-Qur'an telah menerangkan bahwa kehidupan di dunia ini adalah bagaikan sebatang pohon yang tumbuh, berkembang, berbuah, layu dan akhirnya mati musnah di telan bumi. Ada fase dalam kehidpan yang harus dilalui meskipun fase itu terkesan lama, sesungguhnya hanya amun-amun belaka
ان الحمد لله الذى أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله. أرسله بشيرا ونذيرا وداعيا الى الله باذنه وسراجا منيرا. أشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له. شهادة اعدها للقائه ذخرأ. واشهد ان محمدا عبده و رسوله. ارفع البرية قدرا. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه وسلم تسليما كثيرا. أما بعد. فياأيها الناساعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

khutbah idul adha

Dr KH Zakky Mubarak, MA

Pada hari mulia dan luhur ini, semua kaum muslimin yang bertebaran disegenap penjuru dunia, serempak secara bersama-sama menyambut kedatangan Idul Adha dengan ucapan tahmid, tahlil dan takbir. Gemuruh suara takbir dan tahmid bergema diangkasa raya, diucapkan oleh setiap orang muslim dengan tulus dan khusu'. Manusia muslim dalam segala keadaan, dalam berbagai status sosial menghadap keharibaan-Nya dengan tunduk dan patuh, menghayati dan merasakan keagungan-Nya. Dia yang Maha Agung, Maha Kuasa dan Maha Esa, untuk-Nya segala keagungan, kesempurnaan dan kekuasaan. Hanya kepada-Nya kembali segala puja dan puji dari segenap makhluk-Nya, yang hidup dan berkembang di alam raya ini.

mati syahid

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Islam mengajarkan kita agar memandang kematian sebagai suatu perkara yang tidak bisa dihindari. Kematian merupakan taqdir yang sepenuhnya di dalam rahasia pengetahuan Allah. Tidak ada seorangpun yang tahu di bumi mana ia akan menemui ajalnya. Demikian pula ia tidak tahu pada usia berapa kematian akan menghampirinya.
Oleh karena itu maka Allah menyuruh seorang mukmin untuk selalu memperbaharui komitmennya dalam hidup di dunia yang fana ini dengan berikrar bahwa segenap kesibukannya harus ditujukan hanya untuk meraih keridhaan Allah. Baik itu yang menyangkut sholatnya, berbagai ibadahnya, berbagai aktifitas hidupnya bahkan hingga kematiannya.
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
terjemah

contoh draf skripsi penelitian



DRAF PENELITIAN
Nama/ NIM        :
Jurusan/Prodi    : Tafsir Hadis/ Ilmu Hadis Khusus
Fakultas              : Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar
Judul Skripsi      : Siwak dalam Perspektif Hadis dan Aplikasinya “Kajian atas Fenomena di Kalangan Wahdah Islamiyah Makassar”
  1. Latar Belakang
Perkembangan penelitian keagamaan—termasuk hadis Nabi saw.—telah sampai pada tahapan di mana penelitian tidak hanya difokuskan kepada keotentikan hadis, kualitasnya, serta makna dan kandungan teksnya saja, tetapi penelitian dilebarkan wilayah kepada kajian sosial, budaya, dan kemasyarakatan. Dengan demikian penelitian teks keagamaan (baca: hadis Nabi) disinkronkan dengan praktek dan pengamalan masyarakat. Penelitian semacam inilah yang dikenal dengan “living hadis” atau “living sunnah”.[1]