Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Senin, 27 Februari 2012

حديث

 
HADIS
DITINJAU DARI KUALITASNYA





OLEH
ZAINUDDIN

JURUSAN TAFSIR HADITS KHUSUS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2011

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................
Bab I.     PENDAHULUAN............................................................................
A.   Latar Belakang.......................................................................................
B.   Rumusan Masalah.................................................................................
Bab II.     PEMBAHASAN
A.   Pengertian hadis.....................................................................................
B.   pengertian Hadis sahih..........................................................................
C.   pengertian Hadis hasan..........................................................................
D.   pengertian  Hadis dhaif .........................................................................
Bab III.    PENUTUP.......................................................................................
A.   Kesimpulan............................................................................................
Daftar Pustaka................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Dengan percepatan teknologi dan ilmu pengetahuan peradaban juga mengikuti perkembangan yang terjadi dengan muncul berbagai pemahaman dan pengkajian berbagai hukum yang tidak terjadi dimasa lampau hingga menimbulkan banyak perselisihan dalam memaknai sebuah peristiwa atau masalah dalam kehidupan, dikalangan umat Islam khususnya yang menjadi panduan hidup di muka bumi ialah al-Qur’an yang berisikan jawaban tentang segala sesuatu yang ada di dunia baik secara tersirat maupun secara tersurat, namun konteksnya ada sebagian yang perlu penelaah lebih mendalam karena tidak di ungkapkan secara gamblang maka di perlukan pengkajian dengan memakai hadis yang bersumber dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda Ku tinggalkan kepadamu (umat Islam) dua pusaka abadi, apabila kamu berpegang kepadanya nescaya kamu tidak akan sesat ,iaitu Kitab Allah (Al Quran) dan Sunnahku.
Mayoritas ulama berbeda pendapat dalam pengkajian hadis. Hadis yang sering di jumpai tidak serta merta dapat mengadopsi secara langsung,  hadis yang di dapati perlu adanya pencarian jati diri hadis tersebut untuk menetapkan kualitas hadis yang akan diimplementasikan, agar tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan sebuah hukum.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk menguak pembagian hadis yang selama ini beredar terutama hadis ditinjau dari segi kualitasnya yang terdiri hadis sahih, hasan, daif dan maudhu, penulis menyadari didalam makalah sanagat jauh dari kesempurnaan kritik dan saran pembaca sekalian sangat diharapkan sebagai kontribusi dalam merevisi makalah ini.
B.     Rumusan masalah
Dengan uraian latar belakang di atas penulis ingin menyajikan makalah yang berkisar pada permasalahan hadis ditinjau dari kualitasnya yang bertitik tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
1.      Pengertian, syarat-syarat, pembagian, kehujjahan, dan kitab-kitab hadis shahih
2.      Pengertian, pembagian, kehujjahan, dan kitab-kitab hadis hasan
3.      Pengertian, pembagian, pengamalan, dan pendapat ulama tentang hadis dhaif, dan kitab-kitab hadis dhaif.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN HADIS
Sebelum kita membahas Hadis Ditinjau Dari Kualitasnya terlebi dahulu kita membahas pengertian hadis dari para ahli hadis sebagai awal dari menuju pembahasan hadis di tinjau dari kualitasnya. Hadis menurut bahasa berarti الجديد, yaitu sesuatu yang baru,menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat, seperti perkataan :هو حديث العهد فى الاسلام artinya dia baru masuk/memeluk islam. Lawan kata الحديث adalah القديم  artinya sesuatu yang lama.
Hadis juga berarti الخبر  “berita ” yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Disamping itu, hadis juga berarti القريب  “dekat”, sedangkan lawanya adalah البعيد artinya jauh[1].
B.     HADIS DITINJAU DARI KUALITASNYA
Para ulama Ahli hadis membagi hadis, di tinjau dari segu kualitasnya, menjadi dua, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud .
HADIS MAQBUL
Maqbul menurut bahasa berarti makhudz (yang diambil) dan  mushaddaq ( yang dibenarkan atau diterima),sedangkan menurut istilah adalah
ماتوافرت فيه جميع شروط القبول
Artinya hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaanya”
Syarat-syarat penerimaan suatu hadis menjadi hadis yang maqbul berkaitan dengan sanad-nya,yaitu sana-nya bersambung,diriwayatkan oleh rawi yang adil dan lagi dhabit dan juga berkaitan dengan matan-nya,y itu matan-nya tidak syadzdan tidak ber-illat.
Akan tetapi ,perlu kita ketahui bahwa tidak semua hadis maqbul boleh diamalkan. Dengan kata lain,hadis maqbul ada yang ma’mulun bih dan ada yang ghair ma’mun bih.yang termasuk ma’mun bih adalah
·         hadis muhkam (hadis yang memberi pengertian jelas ),
·         mukhtalif (hadis yang dapat di kompromikan dari dua buah hadis  atau lebih,yang secara lahiriah mengandung pengertian yang bertentangan)
·         rajih (hadis yang lebi kuat),
·         hadis nasikh (hadis yang menasakh hadis yang datang terlebi dahulu )
Adapun ghaeru ma’mulun bih adalah:
·         hadis marjuh (hadis yang kehujjahannya dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat),
·         hadis mansukh (hadis yang telah di nasakh),dan hadis mutawaquf fih (hadis yang kehujjahannya di tunda, karena terjadinya pertentangan antara satu hadis dengan lainnya yang belum bisa diselesaikan)[2].
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hadis maqbul terbagi kepada 2 bagian yaitu; hadis shahih dan hasan.dan insyaallah kedua istilah itu akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
HADIS MARDUD
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak diterima,
Penolakan hadis ini dikarenakan tidak memenuhi beberapa kriteria persyaratan yang ditetapkan para ulama, baik yang menyangkut sanad seperti perawi harus bertemu langsung dengan gurunya (ittishal as-sanad) maupun yang menyangkut matan seperti isi matan tidak bertentangan dengan alquran dan lain-lain .
 Dalam istilah, hadis mardud adalah,
وهومالم يترجح صدق المخبرعنه
Artinya “ hadis yang tidak unggul pembenaran pemberitanya”
Adapun pendapat lain  Dari segi bahasa, gharib bermakna “munfarid” yaitu menyendiri,atau “al-ba’id an aqaribihl” Yaitu jauh dari saudara-saudaranya. Sedangkan dari segi istilahnya, gharib adalah hadist yang diriwayatkanhanya oleh satu orang perawi saja, baik pada seluruh ataupun salah satu thabaqatnya.
Hadis mardud tidak mempunyai pendukung yang membuat keunggulan pembenaran berita dalam hadis terssebut. Hadis mardud tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak wajib di amalkan, sedangkan maqbul wajib dijadikan hujjah dan wajib di amalkan. Secara umum Hadis mardud adalah hadis dha’if  (lemah) dengan segalah macamnya[3]
 HADIS SAHIH
Sahih menurut bahasa berarti ضدالسقيم   (lawan sakit). Kata sahih juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan  sah,benar,sempurna, sehat (tiada celanya) Ulama ahli hadis dari kalangan Al-Mutaqaddimin belum menjelaskan secara defenitif eksplisit pengertian hadis. Pengertian hadis sahih menjadi lebi jelas setelah Imam Syafi’imemberikan ketentuan bahwa riwayat suatu hadis dapat dijadikan hujjah apabilah:
1.                    diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya amalan agamanya, dikenal sebagai orang jujur, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafalnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafal;terpelihara hapalannya  bila meriwayatkan hadis secara lafal, bunyi hadis yang dia riwayatkan sama dengan bunyi hadis yang diriwayatkan oleh orang lain dan terlepas dari tadlis (menyembunyikan cacat)
2.                    rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada nabi Muhammad atau dapat juga tidak sampai kepada nabi[4].
Dilihat dari pernyataan tersebut Imam Syafi’i dipandang sebagai ulama yang mula-mula menetapkan kaidah kesahihan hadis. Pandangan ini sangnat logis sebab bila kita mengkaji lebi lanjut, pernyataan Imam Syafi’i bukan hanya berkaitan dengan sanad, tetapi secara tidak langsung juga berkaitan dengan matan-nya. Hal ini dapat dilihat pada pernyataannya tentang keharusan mengetahui hadis yang diriwayatkan, mengetahui perubahan arti, dan meriwayatkan dengan lafal sebagaimana sebagaiman disebutkan diatas, sehingga dengan kriteria-kriteria seperti itu, kiranya sulit dikatakan bahwa hadisnya tidak sahih.
Bukhari  dan Muslim sebagai ahli hadis dan hadis-hadisnya diakui sebagai hadis yang sahih ternyata belum membuat definisi hadis sahih secara tegas. Namun, setelah para ulama mengadakan penelitian mengenai cara-cara yang ditempuh oleh keduanya untuk menetapkan suatu hadis yang biasa dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran megenai kriteria hadis sahih menurut keduanya kriteria tersebut adalah:
A.    rangkaian perawi  dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir
B.     para perawinya harus terdiri atas orang-orang yang dikenal tsiqat, dalam arti adil dan dhabit.
C.     Hadisnya terhindar dari illat (cacat) dan syadz (janggal).
D.    Para perawi yang terdekat harus sezaman.
Hanya saja Bukhari dan Muslim berbeda pendapat mengenai persambungan sanad menurut Bukhari sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat itu perna bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jadi, tidak cukup hanya sezaman (Al-Mu’asarah). Sebaliknya menurut Muslim, apabila antara perawi yang terdekat hidup sezaman, maka sanadnya sudah dikategorikan bersambung.
Di samping persyaratan yang telah disepakati diatas sebagian ulama yang yang menyatakan bahwa Bukhari juga menetapkan syarat terjadinya periwayatan harus dengan As-Sama. Dari penjelasan inilah dapat kita ketahui bahwa hadis sahih yang ditetapkan Bukhari lebi ketat daripada persyaratan yang ditetapkan oleh Muslim.
Pengertian hadis sahih baru jelas setelah ulama Al-Mutaakhirin mendefinisikannya secara konkrit,seperti beberapa ulama ahli hadis diantaranya
قال: أما الحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذاً ولا معللاً.[5]
            Artinya “adapun hadis sahih ialah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi ),diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit samapai akhir sanad dan tidak adanya kejanggalan dan kecacatan”
وهو ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة[6]
Artinya “ hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil,lagi dhabit,tidak syadz, dan tidak berillat”
مااتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله الى منتهاه،من غير شوذوذ ولا علة[7]
Artinya “yang besambung sanadnya diriwayatkan oleh perawi adil dan dhabit sampai kepada nabi tidak ganjil dan tidak mengandung illat”
            Selain definisi diatas masi banyak lagi definisi tentang pengertian hadis yang yang dijelaskan ulama.namun pada prinsipnya dari semua definisi itu memiliki maksud yang sama.
            Berdasarkan definisi tentang hadis sahih yang telah disepakati ulama ahli hadis di atas dapat penulis simpulkan bahwa syarat-syarat hadis sahih adalah; sanad-nya bersambung, para perawinya bersifat adil, para perawinya bersifat dhabit, matan-nya tidak syadz, dan matan-nya tidak berillat.
            Selanjutnya penulis akan jelaskan syarat-syarat hadis sahih menurut para ulama di atas:
·         Bersambungnya sanad (اتصال سند )
Artinya  setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima periwayatan dari perawi sebelumnya baik secara langsung (مباشرة) atau secara hukum (حكمى) dari awal sanad samapai akhirnya. Ada dua macam cara yang diguanakan dalam menyamapaikan sebua hadis.
1.      Pertemuan langsung (مباشرة)
Pertemuan langsung (مباشرة), seseorang bertatap muka langsung dengan syeikh yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar berita yang disamapaikan atau melihat apa yang dilakukan. Periwayatan dalam bentuk pertemuan langsung seperti di atas umumnya menggunakan (سمعت)  saya mendengar    (حدثنى اخبرنى حدثنا اخبرنا )memberitakan kepadaku/kami
( رايت فلانا ) aku melihat sifulan dan lain-lain. Jika dalam periwayatan sanad hadis menggunakan kalimat tersebut atau sesamanya maka berarti sanad-nya muttashil (berambung).
2.      Pertemuan secara hukum (hukmi), seseorang meriwayatkan hadis dari seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau melihat. Misalnya: ( قال فلان\ عن فلان\ فعل فلان )sifulan berkata /dari sifulan/sifulan melakukan begini. Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara hukum, maka perlu penelitian lebih lanjut, sehingga dapat diketahui apakah ia bertemu dengan syaikh atau tidak
Untuk mengetahui bersambung tidaknya sanad dapat dilakukan dengan dua tehnik; 
1.      Mengetahui orang yang diterima periwayatannya telah wafat sebelum atau sesudah perawi berusia dewasa. Untuk mengetahui hal ini harus dibaca terlebi dahulu biografi para perawi hadis dalam buku-buku Rijal Al-hadits atau tawarikh Ar-ruwah, terutama dari segi kelahiran dan kewafatannya.
2.      Keterangan seorang perawi atau imam hadis bahwa seoarang perawi bertemu atau tidak bertemu, mendengar atau tidak mendengar, melihat  orang yang menyampaikan atau tidak melihat. Keterangan seorang perawi ini dijadikan saksi kuat yang memperjelas keberadaan sanad[8]
·         Perawinya adil
Kata adil, menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus, dan jujur . seseorang dikatakan adil apabila pada dirinya terdapat sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketakwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah agama dan mninggalakan larangannya, dan terjaganya sifat muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segalah tingkah lakunya. Dengan demikian, kama yang dimaksud dengan perawi yang adil dalam periwayatan sanad-hadis adalah bahwa semuah perawinya disamping harus islam dan balig, juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Senantiasa melaksanakan perintah agama dan meninggalkan semua larangannya.
b.      Senantiasa menjauhi dosa kecil.
c.       Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah
Sifat adil para perawi dapat diketahui melalui :
a.       Popularitas keutamaan perawi dikalangan ulama ahli hadis ; perawi yang terkenal keutamaan pribadinya.
b.      Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi tersebut.
c.       Penerapan kaidah Al-Jarh wa At-Ta’dil,bila tidak ada kesepakatan di antara para kritikus perawi hadis mengenai kualitas pribadi para perawi tertentu.
Khusus mengenai perawi hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama ahli sunnah mengatakan bahwa seluruh sahabat dikatakan adil.sementara itu golongan mu’tazilah menganggap bahwa sahabat-sahabat yang terlibat dalam pembunuhan Ali  dianggap fasik dan periwayatannya ditolak.
 metode dalam menjelaskan Hal ihwal para perawi hadis
            ada beberapa patokan  yang mencirikan metode ulama dalam menjelaskan hal ihwal para perawi. Yang terpenting adalah:
A.    Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian. Mereka akan menyebutkan sifat positif dn sifat negative perawi.
B.     Kecermatan dalam meneliti dan menilai.
C.     Mematuhi etika al jarh. Ulama’ al-jarh wa at-Ta’dil dalam menyatakan penilaian tidak akan keluar dari etika penelitian ilmiah.
D.    Secara global  menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih, dari ungkapan-ungkapan imam-imam al-jarh wa at-Ta’dil kita bisa melihat bahwa mereka tidak menyebutkan sebab-sebab ta’dil mereka terhadap para perawi.
·         Perawinya dhabit
Kata dhabit menurut bahasa berarti yang kokoh,yang kuat. Seseorang dikatakan dhabit apabila ia mempunyai daya ingat sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu hajar Al-Asqalani, perawi yang dhabit  adalah mereka yang kuat hapalannya terhadap segala sesuatu yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaiakan hapalan tersebut manakalah diperlukan. Ini artinya bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengarkan secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, memahami isinya sehingga terpatri dalam ingatannya, kemudian mampu menyampaikan kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana mestinya.
Yang dicakup dalam pengertian dhabit pada periwayatan disini terdiri atas dua kategiri, yaitu dhabit Aa-sadr dan dhabit fi Al kitabyang dimaksud dengan dhabit fi As-sadr ialah terpeliharanya periwayatan dalam ingatan, sejak ia menerima hadis sampai ia meriwayatkan kepada orang lain; sedangkan dhabit fil Al-kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat ke-dhabitan perawi, menurut para ulama dapat diketahui melalui ;
A.    Kesaksian para ulama
B.     Kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal ke-dhabit-an
Seorang perawi hadis tidak berarti ia terhindar sama sekali dari kekeliruan atau kesalahan. Mungkin saja kekeliruan atau kesalahan itu sesekali terjadi pada diri seseorang perawi. Yang demikian itu tidak dianggap sebagai orang yang kurang kuat ingatannya.
·         tidak  syadz
Kata Syadz secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il yang berarti “sesuatu yang menyendiri”.  Menurut mayoritas ulama, kata Syadz bermakna : “yang menyendiri”.Adapun secara istilah, menurut Ibnu Hajar, hadits Syadz adalah “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya yang bertentangan dengan perawi yang lebih terpercaya”. Bisa karena perawi yang lebih terpercaya tersebut lebih kuat hafalannya, lebih banyak jumlahnya, atau karena sebab-sebab lain yang membuat riwayatnya lebih dimenangkan, seperti karena jumlah perawi dalam sanadnya lebih sedikit.
Menurut Imam Iyafi’i Yang dimaksud dengan syadz atau syudzudz (bentuk jamak dari syadz ) disini ialah suatu hadis yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebi kuat atau lebih tsikah. Pengertian inilah yang paling banyak diikuti ulama hadis lainya.
Melihat pengertian syadz diatas, dapat dipahami bahwa hadis yang tidak syadz adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebi kuat atau lebi tsikah. Al-Hakim An-naisaburi memasukkan hadis-fard hadis yang diriwayatkan seseorang yang tsiqah, tetapi tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya, dalam kelompok hadis syadz. Pendapat ini tidak di pegang oleh jumhur ulama ahli hadis.
·         Tidak berillat  
Kata illat bentuk jamaknya adalah Ilal atau Al-Ilal yang menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan, dan kesalahan baca. Dengan pengertian ini yang disebut hadis ber-illat adalah hadus-hadis yang mengandung cacat atau penyakit.
Menurut istilah illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau samar-samar, sehingga dapat merusak kesahihan hadis. Dikatakan samar-samar di sini karena jika dilihat dari zhahirnya, hadis tersebut terlihat sahih, adanya kesamaan pada hadis tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak sahih, dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang tidak berillat, ialah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
Illat hadis dapat terjadi baik pada sanad maupun pada matan atau pada keduanya secara bersama sama. Namun demikian, illat yang paling banyak, yaitu yang terjadi pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.[9]    
Para ulama ahli hadis membagi membagi hadis sahih menjadi dua bagian,
Yaitu sahih lidzatih dan sahih li ghairih. Perbedaan antara keduanya terletak pada segi hapalan atau ingatan perawinya. Pada hadissahih lighairih ingatan perawinya kurang sempurna.
Yang dimaksud dengan sahih li dzatihi, ialah hadis yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan hadis sahih khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hafalan perawi.  Devinisi hadis sahih lidzatihi:
الصحيح لذاته هو الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله إلى منتهاه ولايكون شاذا ولامعللا
Artinya “Hadits shahih Lidzatihi yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan perawi yang ‘adl dan dhabith dari yang semisalnya sampai akhir sanad tersebut serta hadits tersebut bukan hadits yang syadz dan bukan hadits yang mu’allal (cacat)”.
 Pada hadis sahih li ghairih ingatan perawinya kurang sempurna. Sehingga dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa sebenarnya hadis sahih dibagian ini asalnya bukan hadis sahih melainkan hadis hasan lizatihi. Karena adanya syahid atau mutabi’ yang menguatkannya, maka hadis li dzatih ini berubah kedudukan menjadi sahih lighairi, yakni hadis yang kesahihannya dibantu oleh matan atau sanad yang lainnya. Di antara contoh hadis sahih lighairih adalah hadis riwayat turmudzi melalui jalur Muhammad bin Amr
حدثنا أبو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة[10]
Artinya “ seandainya tidak memberatkan ummatku,niscaya akan kuperintahkan bersiwak setiap kali hendak melaksanakan shalat.”
Ibnu umar ash-shalah menyatakan bahwa Muhammad bi Amr terkenal sebagai orang yang jujur, tetapi kedhabitannya kurang sempurna sehingga hadis riwayatnya hanya mencapai tingkat hasan. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Bukhari melalui jalur Al-A’raj dari Abu hurairah yang hadisnya dinilai Sahih. Oleh karena itu, hadis riwayat turmudzi tersebut naik menjadi sahih li ghairih.
Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.
           
Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
a)      Hadis yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b)      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c)      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d)     Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan     Muslim,
e)      Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f)       Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g) .     Hadis yang dinilai shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.

 Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai berikut:
1.      Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2.      Shahih Muslim (w. 261 H).
3.      Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4.      Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5.      Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6.      Shahih Ibn As-Sakan.
7.      Shahih Al-Abani.[11]
HADIS HASAN
·         Pengertian Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
  1. definisi al- Khatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukaha
  2. definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.
Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih unggul.
·         Macam-Macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Adapun Hasan li Ghairih adalah hadis dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadis dhaif yang karena rawinya buruk hapalannya (su’ru al-hifdzih),tidak dikenal identitasnnya (mastur)dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi dibantu oleh hadis–hadis lain yang semisal dan semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkannya.[12]           
Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِىُّ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ - وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى - قَالَ قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا وَقَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِى عِمْرَانَ الْجَوْنِىِّ عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبِى وَهُوَ بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوفِ ». فَقَامَ رَجُلٌ رَثُّ الْهَيْئَةِ فَقَالَ يَا أَبَا مُوسَى آنْتَ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ هَذَا قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَرَجَعَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ أَقْرَأُ عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ. ثُمَّ كَسَرَ جَفْنَ سَيْفِهِ فَأَلْقَاهُ ثُمَّ مَشَى بِسَيْفِهِ إِلَى الْعَدُوِّ فَضَرَبَ بِهِ حَتَّى قُتِلَ.[13]
Artinya ; Telah menceritakan kepda kami  yahya bin Al-tamimi dan qutaibah bin said –ucapan yahya- telah berkata qutaibah kepada kami dan telah berkata yahya bahwasanya Ja’far bin Sulaiman  memberitakan kepada kami dari bapaknya Imran Al-Jauan dari bapaknya Abu Bakar bin Abdillah bin Qaeis dari bapaknya ;saya perna mendengar bapak saya berkata, ketika itu sedang berhadapan dengan musuh, bahwasanya Rasulullah SAW ; sesungguhnya pintu-pintu surga dibawah kilatan pedang,” lalu berdirilah seseorang yang berpakaian compang-camping seraya berkata; “ wahai abu musa apakah anda mendengar Rasulullah bersabda seperti yang anda ucapkan ini “ya” lalu orang itu kembali kepadaa sahabat-sahabatnya seraya berkata “aku mengucapkan salam kepada kalian kemudian orang ini memecahkan sarung pedangnya, lalu membuangnya dan dengan serta merta dia pergi menuju musuh dengan membawa pedangnya terus bertempur hingga gugur.

Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i. jadilah haditsnya hasan.
·         Kehujahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.
·         Kitab-kitab hadis hasan
            Ulama yang pertama kali memulai membagi hadis sebagai hadis shahih, hadis hasan, hadis dhaif adalah Imam At-Tirmitdzi sehingga wajarlah jika Imam At-Tirmitdzi memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang menghimpun hadis hasan adalah;
·         Sunan At-tirmitdzi
·         Sunan Abu Daud
·         Sunan Ad-Dar Quthny
           
HADIST DHAIF
·         Definisi Hadist Dhaif
Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah lawan dari Qawi (yang kuat).[14] Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
·         Macam-macam hadits dhaif
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
·         Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
·         Hadits Mursal
·         Hadits Munqathi’
·         Hadits Mu’dhal
·         Hadits mu’allaq
Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
·         Hadits Maudhu’
·         Hadits matruk atau hadits mathruh
·         Hadits Munkar
·         Hadits Mu’allal
·         Hadits mudraj
·         Hadits Maqlub
·         Hadits Syadz
Contoh hadis dhaif;
وقالت عائشة كان النبي صلى الله عليه و سلم يذكر الله على كل أحيانه ( أحيانه ) أحواله
Hadis ini dhaif karena bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah
·         Kehujahan Hadits dhaif
            Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bilah dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka:
1.      Para ulama Muhaqqiq berpendapat bahwa hadis dhaif tidak boleh diamalkan sama sekali, baik berkaitan masalah aqidah atau hukum-hukum fikih, targhib dan tarhib maupun dalam fadha’ilul a’mal (keutamaan amal). Inilah pendapat imam-imam besar hadis seperti Yahya bin Ma’in, bukhari, dan Muslim. Pendapat ini juga dikuti oleh Ibnu Arabi ulama fikih dari mazhab Malikiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi ulama dari mazhab Syafi’iyah,dan Ibnu Hazm.
2.      Pendapat kebanyakan ahli fikih membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dhaif secara mutlak jika tidak didapatkan hadis lain dalam permasalahan yang sama. Dikutip dari pendapat Abu Hanifa,Asy-syafi’I, Malik, dan Ahmad. Akan tetapi pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad bahwa hadis dhaif kebalikan dari hadis shahih menurut terminology ulama-ulama terdahulu.
3.      Sebagian ulama membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dhaif dengan catatan sebagai berikut: mereka membolehkan mengamalkan hadis dhaif khusus dalam targhib dan tarhib (motivasi beramal dan ancaman bermaksiat) dan fadilah-fadilah amal, sedangkan untuk masalah aqidah dan hukum halal serta haram, mereka tidak membolehkannya.
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadilah amal, menyaratkan kebolehan mengambilnya itu dengan tiga syarat :
a)      Kelemahan hadis itu tidak seberapa
b)      Apa yang ditunjukan hadis itu juga ditunjukan oleh dasar lain yang dapat dipegangi, dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan sesuatu dasar hukum yang suda dibenarkan.
c)      Jangna diyakini dikalah menggunakannya bahwa hadis itu benar dari Nabi. Ia hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tiada berdasarkan nash sama sekali.[15]
Kitab kitab yang menghimpun hadis dhaif adalah:
·         Mu’jam At-thabrani; Al-kabir, Al-Awsat, As-shagir
·         Al-Afrad karya ad-Dar Quthny
·         Kumpulan karya al-Khatib baghdad
·          Kitab hilyatulAuliya’wa thabaqatul Ashfiya’ karya abu nu’aim al ashbahani.



BAB III
KESIMPULAN
            Berdasarkan pembahasan di atas maka penulis dapat menyimpulkan hadis ditinjau dari kualitasnnya sebagai berikut :
·         Bahwsanya hadis shahih adalah hadis yang syaratnya terpenuhi, syaratnya yaitu; bersambungnya sanad, diriwayatkan oleh orang yang dhabit dan adil, tidak syadz dan tidak berillat.
·         Hadis hasan adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabitan nya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.
·         Hadis dhaif adalah Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat atau menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan
·         hadis yang diterima kehujjahannya adalah hadis shahih dan hadis hasan sedangkan hadis dhaif ulama berbeda pendapat tentang kehujjahannya.
·         Para ulama Muhaqqiq berpendapat bahwa hadis dhaif tidak boleh diamalkan sama sekali,. Inilah pendapat imam-imam besar hadis seperti Yahya bin Ma’in, bukhari, dan Muslim. Pendapat ini juga dikuti oleh Ibnu Arabi ulama fikih dari mazhab Malikiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi ulama dari mazhab Syafi’iyah,dan Ibnu Hazm.
·         Pendapat kebanyakan ahli fikih membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dhaif secara mutlak jika tidak didapatkan hadis lain dalam permasalahan yang sama. Dikutip dari pendapat Abu Hanifa,Asy-syafi’I, Malik, dan Ahmad. Akan tetapi pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad bahwa hadis dhaif kebalikan dari hadis shahih menurut terminology ulama-ulama terdahulu.
·         Sebagian ulama membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dhaif dengan catatan sebagai berikut: mereka membolehkan mengamalkan hadis dhaif khusus dalam targhib dan tarhib (motivasi beramal dan ancaman bermaksiat) dan fadilah-fadilah amal, sedangkan untuk masalah aqidah dan hukum halal serta haram, mereka tidak membolehkannya.








DAFTAR PUSTAKA
[1]Ajaj Al-Khatib,As-Sunnah Qabla At Tadwin,Darul Fikr, Beirut ,1971,hlm.20
Munzier suparca,ilmu hadis,PT.roja,Jakarta,1993.hlm . 124.
Mustafa Amin, Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadits, jami’ah al-azhar, 1971, jilid I
Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadist  . CV. Pustaka Setia: Bandung,2005. 143.
Ajaj khatib, ushul Al-hadis, darul fikr, Beirut, 1989, hlm.304
Imam An-Nawawi, al-taqrib wa attaesir,juz.  1,  hlm. 1.
Mahmud Ath-Thohan  , taysir MushthalahulAl-hadist  kitab hidayah, Surabaya, 1985, hlm. no.34
[1] H.Abdul Majid Khan,ulumul hadis, Amzah, Jakarta, 2010, hlm.150-151
Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadist  . CV. Pustaka Setia: Bandung,2005.148.
Abu isa At-Turmidzi, Al-jami’ as-sahih sunan turmidzi, daru ihya, juz 5
Agus suyadi,ulumul hadis, pustaka setia, banding, 2008. 145
Agus Solahuddin,agus Suyadi, ulumul hadis,pustaka setia, bandung, 2009, hlm. 146.
Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Al-Jami’sahih muslim,daru Al-Afaqi Al-jadida.beirut, juz 6 hlm,45.
Endang Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Riwayah Dan Dirayah, bandung, Mimbar Pustaka, 2005, hlm. 141.
Manna’ Al-qaththan, Pengantar Studi lmu Hadis, Puataka Al-Kautsar,Jakarta,2009,Hlm. 131.






[1]Ajaj Al-Khatib,As-Sunnah Qabla At Tadwin,Darul Fikr, Beirut ,1971,hlm.20
[2] Munzier suparca,ilmu hadis,PT.roja,Jakarta,1993.hlm . 124.
[3] Mustafa Amin, Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadits, jami’ah al-azhar, 1971, jilid I

[4] Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadist  . CV. Pustaka Setia: Bandung,2005. 143.
                             

[5] Ajaj khatib, ushul Al-hadis, darul fikr, Beirut, 1989, hlm.304
[6] Imam An-Nawawi, al-taqrib wa attaesir,juz.  1,  hlm. 1.
[7] Mahmud Ath-Thohan  , taysir MushthalahulAl-hadist  kitab hidayah, Surabaya, 1985,hlm.no.34
[8] H.Abdul Majid Khan,ulumul hadis, Amzah, Jakarta, 2010, hlm.150-151
[9] Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadist  . CV. Pustaka Setia: Bandung,2005.148.
[10] Abu isa At-Turmidzi, Al-jami’ as-sahih sunan turmidzi, daru ihya, juz 5

[11] Agus suyadi,ulumul hadis, pustaka setia, banding, 2008. 145
[12] Agus Solahuddin,agus Suyadi, ulumul hadis,pustaka setia, bandung, 2009, hlm. 146.
[13] Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Al-Jami’sahih muslim,daru Al-Afaqi Al-jadida.beirut, juz 6 hlm,45.
[14] Endang Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Riwayah Dan Dirayah, bandung, Mimbar Pustaka, 2005, hlm. 141.
[15] Manna’ Al-qaththan, Pengantar Studi lmu Hadis, Puataka Al-Kautsar,Jakarta,2009,Hlm. 131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar