HADIS
DITINJAU DARI KUALITASNYA
OLEH
ZAINUDDIN
JURUSAN
TAFSIR HADITS KHUSUS
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN
ALAUDDIN MAKASSAR
2011
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................
Bab I. PENDAHULUAN............................................................................
A.
Latar
Belakang.......................................................................................
B.
Rumusan
Masalah.................................................................................
Bab II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian
hadis.....................................................................................
B.
pengertian
Hadis sahih..........................................................................
C.
pengertian
Hadis hasan..........................................................................
D.
pengertian Hadis dhaif .........................................................................
Bab III. PENUTUP.......................................................................................
A.
Kesimpulan............................................................................................
Daftar Pustaka................................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dengan percepatan teknologi dan ilmu
pengetahuan peradaban juga mengikuti perkembangan yang terjadi dengan muncul
berbagai pemahaman dan pengkajian berbagai hukum yang tidak terjadi dimasa
lampau hingga menimbulkan banyak perselisihan dalam memaknai sebuah peristiwa
atau masalah dalam kehidupan, dikalangan umat Islam khususnya yang menjadi panduan
hidup di muka bumi ialah al-Qur’an yang berisikan jawaban tentang segala
sesuatu yang ada di dunia baik secara tersirat maupun secara tersurat, namun
konteksnya ada sebagian yang perlu penelaah lebih mendalam karena tidak di
ungkapkan secara gamblang maka di perlukan pengkajian dengan memakai hadis yang
bersumber dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda Ku tinggalkan kepadamu (umat
Islam) dua pusaka abadi, apabila kamu berpegang kepadanya nescaya kamu tidak
akan sesat ,iaitu Kitab Allah (Al Quran) dan Sunnahku.
Mayoritas ulama berbeda pendapat dalam pengkajian hadis.
Hadis yang sering di jumpai tidak serta merta dapat mengadopsi secara langsung,
hadis yang di dapati perlu adanya pencarian jati diri hadis tersebut
untuk menetapkan kualitas hadis yang akan diimplementasikan, agar tidak terjadi
kesalahan dalam menetapkan sebuah hukum.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk
menguak pembagian hadis yang selama ini beredar terutama hadis ditinjau dari
segi kualitasnya yang terdiri hadis sahih, hasan, daif dan maudhu, penulis
menyadari didalam makalah sanagat jauh dari kesempurnaan kritik dan saran
pembaca sekalian sangat diharapkan sebagai kontribusi dalam merevisi makalah
ini.
B.
Rumusan masalah
Dengan uraian latar belakang di atas penulis ingin menyajikan
makalah yang berkisar pada permasalahan hadis ditinjau dari kualitasnya yang
bertitik tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
1.
Pengertian,
syarat-syarat, pembagian, kehujjahan, dan kitab-kitab hadis shahih
2.
Pengertian,
pembagian, kehujjahan, dan kitab-kitab hadis hasan
3.
Pengertian,
pembagian, pengamalan, dan pendapat ulama tentang hadis dhaif, dan kitab-kitab
hadis dhaif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HADIS
Sebelum
kita membahas Hadis Ditinjau Dari Kualitasnya terlebi dahulu kita membahas
pengertian hadis dari para ahli hadis sebagai awal dari menuju pembahasan hadis
di tinjau dari kualitasnya. Hadis menurut bahasa berarti الجديد, yaitu sesuatu yang baru,menunjukkan sesuatu yang dekat
atau waktu yang singkat, seperti perkataan :هو حديث
العهد فى الاسلام artinya dia
baru masuk/memeluk islam. Lawan kata الحديث adalah القديم artinya sesuatu yang lama.
Hadis juga berarti الخبر “berita ” yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Disamping
itu, hadis juga berarti القريب “dekat”, sedangkan lawanya adalah البعيد artinya jauh[1].
B.
HADIS DITINJAU DARI KUALITASNYA
Para
ulama Ahli hadis membagi hadis, di tinjau dari segu kualitasnya, menjadi dua,
yaitu hadis maqbul dan hadis mardud .
HADIS
MAQBUL
Maqbul menurut bahasa berarti makhudz (yang diambil) dan mushaddaq ( yang dibenarkan atau
diterima),sedangkan menurut istilah adalah
ماتوافرت فيه جميع شروط القبول
Artinya “ hadis yang telah sempurna syarat-syarat
penerimaanya”
Syarat-syarat penerimaan suatu hadis menjadi hadis yang maqbul
berkaitan dengan sanad-nya,yaitu sana-nya bersambung,diriwayatkan oleh rawi
yang adil dan lagi dhabit dan juga berkaitan dengan matan-nya,y itu matan-nya
tidak syadzdan tidak ber-illat.
Akan tetapi ,perlu kita ketahui bahwa tidak semua hadis maqbul
boleh diamalkan. Dengan kata lain,hadis maqbul ada yang ma’mulun bih
dan ada yang ghair ma’mun bih.yang termasuk ma’mun bih adalah
·
hadis
muhkam (hadis yang memberi pengertian jelas
),
·
mukhtalif
(hadis yang dapat di kompromikan dari dua buah hadis atau lebih,yang secara lahiriah mengandung
pengertian yang bertentangan)
·
rajih (hadis yang lebi kuat),
·
hadis
nasikh (hadis yang menasakh hadis yang datang terlebi dahulu )
Adapun ghaeru ma’mulun bih adalah:
·
hadis
marjuh (hadis yang kehujjahannya dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat),
·
hadis
mansukh (hadis yang telah di nasakh),dan hadis
mutawaquf fih (hadis yang kehujjahannya di tunda, karena terjadinya
pertentangan antara satu hadis dengan lainnya yang belum bisa diselesaikan)[2].
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hadis
maqbul terbagi kepada 2 bagian yaitu; hadis shahih dan hasan.dan insyaallah
kedua istilah itu akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
HADIS
MARDUD
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak
diterima,
Penolakan hadis ini dikarenakan tidak memenuhi beberapa kriteria
persyaratan yang ditetapkan para ulama, baik yang menyangkut sanad seperti
perawi harus bertemu langsung dengan gurunya (ittishal as-sanad) maupun
yang menyangkut matan seperti isi matan tidak bertentangan dengan alquran dan
lain-lain .
Dalam istilah, hadis mardud adalah,
وهومالم
يترجح صدق المخبرعنه
Artinya “ hadis yang tidak unggul pembenaran pemberitanya”
Adapun
pendapat lain Dari segi bahasa, gharib
bermakna “munfarid” yaitu menyendiri,atau “al-ba’id an aqaribihl” Yaitu
jauh dari saudara-saudaranya. Sedangkan dari segi istilahnya, gharib
adalah hadist yang diriwayatkanhanya oleh satu orang perawi saja, baik pada
seluruh ataupun salah satu thabaqatnya.
Hadis mardud tidak mempunyai pendukung yang membuat keunggulan
pembenaran berita dalam hadis terssebut. Hadis mardud tidak dapat dijadikan
hujjah dan tidak wajib di amalkan, sedangkan maqbul wajib dijadikan hujjah dan
wajib di amalkan. Secara umum Hadis mardud adalah hadis dha’if (lemah) dengan segalah macamnya[3]
HADIS SAHIH
Sahih menurut bahasa berarti ضدالسقيم (lawan sakit). Kata sahih juga telah
menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan
sah,benar,sempurna, sehat (tiada celanya) Ulama ahli hadis dari kalangan
Al-Mutaqaddimin belum menjelaskan secara defenitif eksplisit pengertian hadis.
Pengertian hadis sahih menjadi lebi jelas setelah Imam Syafi’imemberikan
ketentuan bahwa riwayat suatu hadis dapat dijadikan hujjah apabilah:
1.
diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya amalan agamanya,
dikenal sebagai orang jujur, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi
perubahan lafalnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafal;terpelihara
hapalannya bila meriwayatkan hadis
secara lafal, bunyi hadis yang dia riwayatkan sama dengan bunyi hadis yang
diriwayatkan oleh orang lain dan terlepas dari tadlis (menyembunyikan cacat)
2.
rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada nabi Muhammad atau
dapat juga tidak sampai kepada nabi[4].
Dilihat dari pernyataan tersebut Imam Syafi’i dipandang sebagai
ulama yang mula-mula menetapkan kaidah kesahihan hadis. Pandangan ini sangnat
logis sebab bila kita mengkaji lebi lanjut, pernyataan Imam Syafi’i bukan hanya
berkaitan dengan sanad, tetapi secara tidak langsung juga berkaitan dengan
matan-nya. Hal ini dapat dilihat pada pernyataannya tentang keharusan mengetahui
hadis yang diriwayatkan, mengetahui perubahan arti, dan meriwayatkan dengan
lafal sebagaimana sebagaiman disebutkan diatas, sehingga dengan
kriteria-kriteria seperti itu, kiranya sulit dikatakan bahwa hadisnya tidak
sahih.
Bukhari dan Muslim sebagai ahli hadis dan
hadis-hadisnya diakui sebagai hadis yang sahih ternyata belum membuat definisi
hadis sahih secara tegas. Namun, setelah para ulama mengadakan penelitian mengenai
cara-cara yang ditempuh oleh keduanya untuk menetapkan suatu hadis yang biasa dijadikan
hujjah, diperoleh suatu gambaran megenai kriteria hadis sahih menurut keduanya
kriteria tersebut adalah:
A.
rangkaian
perawi dalam sanad itu harus bersambung
mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir
B.
para
perawinya harus terdiri atas orang-orang yang dikenal tsiqat, dalam arti adil
dan dhabit.
C.
Hadisnya
terhindar dari illat (cacat) dan syadz (janggal).
D.
Para
perawi yang terdekat harus sezaman.
Hanya saja Bukhari dan Muslim berbeda pendapat mengenai
persambungan sanad menurut Bukhari sanad hadis dikatakan bersambung apabila
antara perawi yang terdekat itu perna bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jadi,
tidak cukup hanya sezaman (Al-Mu’asarah). Sebaliknya menurut Muslim, apabila
antara perawi yang terdekat hidup sezaman, maka sanadnya sudah dikategorikan
bersambung.
Di samping persyaratan yang telah disepakati diatas sebagian ulama
yang yang menyatakan bahwa Bukhari juga menetapkan syarat terjadinya
periwayatan harus dengan As-Sama. Dari penjelasan inilah dapat kita
ketahui bahwa hadis sahih yang ditetapkan Bukhari lebi ketat daripada
persyaratan yang ditetapkan oleh Muslim.
Pengertian hadis sahih baru jelas setelah ulama Al-Mutaakhirin
mendefinisikannya secara konkrit,seperti beberapa ulama ahli hadis diantaranya
قال:
أما الحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل
الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذاً ولا معللاً.[5]
Artinya “adapun hadis sahih ialah
hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi ),diriwayatkan oleh (perawi)
yang adil dan dhabit samapai akhir sanad dan tidak adanya kejanggalan dan
kecacatan”
وهو ما اتصل سنده
بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة[6]
Artinya “ hadis
yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil,lagi dhabit,tidak
syadz, dan tidak berillat”
مااتصل سنده بنقل
العدل الضابط عن مثله الى منتهاه،من غير شوذوذ ولا علة[7]
Artinya
“yang besambung sanadnya diriwayatkan oleh perawi adil dan dhabit sampai kepada
nabi tidak ganjil dan tidak mengandung illat”
Selain definisi
diatas masi banyak lagi definisi tentang pengertian hadis yang yang dijelaskan
ulama.namun pada prinsipnya dari semua definisi itu memiliki maksud yang sama.
Berdasarkan
definisi tentang hadis sahih yang telah disepakati ulama ahli hadis di atas
dapat penulis simpulkan bahwa syarat-syarat hadis sahih adalah; sanad-nya
bersambung, para perawinya bersifat adil, para perawinya bersifat dhabit,
matan-nya tidak syadz, dan matan-nya tidak berillat.
Selanjutnya
penulis akan jelaskan syarat-syarat hadis sahih menurut para ulama di atas:
·
Bersambungnya
sanad (اتصال سند )
Artinya setiap perawi dalam
sanad bertemu dan menerima periwayatan dari perawi sebelumnya baik secara
langsung (مباشرة) atau
secara hukum (حكمى) dari
awal sanad samapai akhirnya. Ada dua macam cara yang diguanakan dalam
menyamapaikan sebua hadis.
1.
Pertemuan
langsung (مباشرة)
Pertemuan langsung (مباشرة), seseorang bertatap muka langsung dengan syeikh yang menyampaikan
periwayatan. Maka ia mendengar berita yang disamapaikan atau melihat apa yang
dilakukan. Periwayatan dalam bentuk pertemuan langsung seperti di atas umumnya
menggunakan (سمعت) saya mendengar (حدثنى
اخبرنى حدثنا اخبرنا )memberitakan
kepadaku/kami
( رايت فلانا ) aku melihat sifulan dan lain-lain. Jika dalam periwayatan
sanad hadis menggunakan kalimat tersebut atau sesamanya maka berarti sanad-nya
muttashil (berambung).
2.
Pertemuan
secara hukum (hukmi), seseorang meriwayatkan hadis dari seseorang yang hidup
semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau melihat. Misalnya: (
قال فلان\ عن فلان\
فعل فلان )sifulan berkata /dari
sifulan/sifulan melakukan begini. Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini
masih secara hukum, maka perlu penelitian lebih lanjut, sehingga dapat
diketahui apakah ia bertemu dengan syaikh atau tidak
Untuk mengetahui bersambung tidaknya sanad dapat dilakukan dengan
dua tehnik;
1.
Mengetahui
orang yang diterima periwayatannya telah wafat sebelum atau sesudah perawi
berusia dewasa. Untuk mengetahui hal ini harus dibaca terlebi dahulu biografi
para perawi hadis dalam buku-buku Rijal Al-hadits atau tawarikh Ar-ruwah,
terutama dari segi kelahiran dan kewafatannya.
2.
Keterangan
seorang perawi atau imam hadis bahwa seoarang perawi bertemu atau tidak
bertemu, mendengar atau tidak mendengar, melihat orang yang menyampaikan atau tidak melihat.
Keterangan seorang perawi ini dijadikan saksi kuat yang memperjelas keberadaan
sanad[8]
·
Perawinya
adil
Kata adil, menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak
zalim, tidak menyimpang, tulus, dan jujur . seseorang dikatakan adil apabila
pada dirinya terdapat sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketakwaan,
yaitu senantiasa melaksanakan perintah agama dan mninggalakan larangannya, dan
terjaganya sifat muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segalah tingkah
lakunya. Dengan demikian, kama yang dimaksud dengan perawi yang adil dalam
periwayatan sanad-hadis adalah bahwa semuah perawinya disamping harus islam dan
balig, juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Senantiasa
melaksanakan perintah agama dan meninggalkan semua larangannya.
b.
Senantiasa
menjauhi dosa kecil.
c.
Senantiasa
memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah
Sifat adil para perawi dapat diketahui melalui :
a.
Popularitas
keutamaan perawi dikalangan ulama ahli hadis ; perawi yang terkenal keutamaan
pribadinya.
b.
Penilaian
dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada
diri perawi tersebut.
c.
Penerapan
kaidah Al-Jarh wa At-Ta’dil,bila tidak ada kesepakatan di antara para kritikus
perawi hadis mengenai kualitas pribadi para perawi tertentu.
Khusus mengenai perawi hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama
ahli sunnah mengatakan bahwa seluruh sahabat dikatakan adil.sementara itu
golongan mu’tazilah menganggap bahwa sahabat-sahabat yang terlibat dalam
pembunuhan Ali dianggap fasik dan
periwayatannya ditolak.
metode dalam menjelaskan Hal ihwal para perawi
hadis
ada beberapa
patokan yang mencirikan metode ulama
dalam menjelaskan hal ihwal para perawi. Yang terpenting adalah:
A.
Jujur
dan tuntas dalam memberikan penilaian. Mereka akan menyebutkan sifat positif dn
sifat negative perawi.
B.
Kecermatan
dalam meneliti dan menilai.
C.
Mematuhi
etika al jarh. Ulama’ al-jarh wa at-Ta’dil dalam menyatakan penilaian tidak
akan keluar dari etika penelitian ilmiah.
D.
Secara
global menta’dil dan secara rinci dalam
mentajrih, dari ungkapan-ungkapan imam-imam al-jarh wa at-Ta’dil kita bisa
melihat bahwa mereka tidak menyebutkan sebab-sebab ta’dil mereka terhadap para
perawi.
·
Perawinya
dhabit
Kata dhabit menurut bahasa berarti yang kokoh,yang kuat. Seseorang
dikatakan dhabit apabila ia mempunyai daya ingat sempurna terhadap hadis yang
diriwayatkannya.
Menurut Ibnu hajar Al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hapalannya terhadap
segala sesuatu yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaiakan hapalan
tersebut manakalah diperlukan. Ini artinya bahwa orang yang disebut dhabit
harus mendengarkan secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, memahami
isinya sehingga terpatri dalam ingatannya, kemudian mampu menyampaikan kepada
orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana mestinya.
Yang
dicakup dalam pengertian dhabit pada periwayatan disini terdiri atas dua
kategiri, yaitu dhabit Aa-sadr dan dhabit fi Al kitabyang dimaksud dengan
dhabit fi As-sadr ialah terpeliharanya periwayatan dalam ingatan, sejak ia
menerima hadis sampai ia meriwayatkan kepada orang lain; sedangkan dhabit fil
Al-kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun
sifat-sifat ke-dhabitan perawi, menurut para ulama dapat diketahui melalui ;
A.
Kesaksian
para ulama
B.
Kesesuaian
riwayatnya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal ke-dhabit-an
Seorang perawi hadis tidak berarti ia terhindar sama sekali dari
kekeliruan atau kesalahan. Mungkin saja kekeliruan atau kesalahan itu sesekali
terjadi pada diri seseorang perawi. Yang demikian itu tidak dianggap sebagai
orang yang kurang kuat ingatannya.
·
tidak syadz
Kata Syadz
secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il yang berarti
“sesuatu yang menyendiri”. Menurut mayoritas ulama, kata Syadz
bermakna : “yang menyendiri”.Adapun secara istilah, menurut Ibnu Hajar, hadits Syadz
adalah “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya yang bertentangan
dengan perawi yang lebih terpercaya”. Bisa karena perawi yang lebih terpercaya
tersebut lebih kuat hafalannya, lebih banyak jumlahnya, atau karena sebab-sebab
lain yang membuat riwayatnya lebih dimenangkan, seperti karena jumlah perawi
dalam sanadnya lebih sedikit.
Menurut Imam
Iyafi’i Yang dimaksud dengan syadz atau syudzudz (bentuk jamak dari syadz )
disini ialah suatu hadis yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
perawi lain yang lebi kuat atau lebih tsikah. Pengertian inilah yang paling
banyak diikuti ulama hadis lainya.
Melihat
pengertian syadz diatas, dapat dipahami bahwa hadis yang tidak syadz adalah
hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebi kuat atau
lebi tsikah. Al-Hakim An-naisaburi memasukkan hadis-fard hadis yang
diriwayatkan seseorang yang tsiqah, tetapi tidak ada perawi lain yang
meriwayatkannya, dalam kelompok hadis syadz. Pendapat ini tidak di pegang oleh
jumhur ulama ahli hadis.
·
Tidak berillat
Kata illat
bentuk jamaknya adalah Ilal atau Al-Ilal yang menurut bahasa
berarti cacat, penyakit, keburukan, dan kesalahan baca. Dengan pengertian ini
yang disebut hadis ber-illat adalah hadus-hadis yang mengandung cacat atau
penyakit.
Menurut
istilah illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau samar-samar, sehingga
dapat merusak kesahihan hadis. Dikatakan samar-samar di sini karena jika
dilihat dari zhahirnya, hadis tersebut terlihat sahih, adanya kesamaan pada hadis
tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak sahih, dengan demikian,
maka yang dimaksud hadis yang tidak berillat, ialah hadis-hadis yang didalamnya
tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
Illat hadis
dapat terjadi baik pada sanad maupun pada matan atau pada keduanya secara
bersama sama. Namun demikian, illat yang paling banyak, yaitu yang terjadi pada
sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.[9]
Para ulama
ahli hadis membagi membagi hadis sahih menjadi dua bagian,
Yaitu sahih
lidzatih dan sahih li ghairih. Perbedaan antara keduanya terletak pada segi
hapalan atau ingatan perawinya. Pada hadissahih lighairih ingatan perawinya
kurang sempurna.
Yang dimaksud
dengan sahih li dzatihi, ialah hadis yang tidak memenuhi secara sempurna
persyaratan hadis sahih khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hafalan
perawi. Devinisi hadis sahih
lidzatihi:
الصحيح
لذاته هو الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله إلى منتهاه ولايكون شاذا
ولامعللا
Artinya “Hadits
shahih Lidzatihi yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan perawi
yang ‘adl
dan dhabith
dari yang semisalnya sampai akhir sanad tersebut serta hadits tersebut bukan
hadits yang syadz dan bukan hadits yang mu’allal
(cacat)”.
Pada hadis sahih li ghairih ingatan perawinya
kurang sempurna. Sehingga dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa sebenarnya
hadis sahih dibagian ini asalnya bukan hadis sahih melainkan hadis hasan lizatihi.
Karena adanya syahid atau mutabi’ yang menguatkannya, maka hadis li
dzatih ini berubah kedudukan menjadi sahih lighairi, yakni hadis yang
kesahihannya dibantu oleh matan atau sanad yang lainnya. Di antara contoh hadis
sahih lighairih adalah hadis riwayat turmudzi melalui jalur Muhammad bin Amr
حدثنا أبو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن
أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة[10]
Artinya “ seandainya tidak
memberatkan ummatku,niscaya akan kuperintahkan bersiwak setiap kali hendak
melaksanakan shalat.”
Ibnu umar ash-shalah menyatakan bahwa Muhammad bi Amr terkenal
sebagai orang yang jujur, tetapi kedhabitannya kurang sempurna sehingga hadis
riwayatnya hanya mencapai tingkat hasan. Hadis ini juga diriwayatkan oleh
Bukhari melalui jalur Al-A’raj dari Abu hurairah yang hadisnya dinilai Sahih.
Oleh karena itu, hadis riwayat turmudzi tersebut naik menjadi sahih li ghairih.
Hadis yang telah memenuhi persyaratan
hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’
para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini
terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya
sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i,
yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
aqidah.
Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadis
shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan
keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadisin
membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad
yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin
Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad
hadis yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti
periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad
hadis yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan
Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi
menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
a) Hadis yang disepakati
oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b) Hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhori saja,
c) Hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim saja,
d) Hadis yang diriwayatkan orang
lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
e) Hadis yang diriwayatkan
orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f) Hadis yang
diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g) . Hadis yang dinilai
shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti
persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai
berikut:
1.
Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2.
Shahih Muslim (w. 261 H).
3.
Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4.
Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5.
Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6.
Shahih Ibn As-Sakan.
7.
Shahih Al-Abani.[11]
HADIS HASAN
·
Pengertian Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan
berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu
sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan
pertengahan antara hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena
sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari
definisinya yaitu:
- definisi al- Khatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukaha’
- definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.
Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria
hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya.
yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan
hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi
hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan
lebih unggul.
·
Macam-Macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi
dua macam, hadis hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih
dan hasan li-ghairih;
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis
yang memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis
hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Adapun Hasan li Ghairih adalah hadis dhaif
yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang
mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadis dhaif yang karena rawinya buruk hapalannya
(su’ru al-hifdzih),tidak dikenal identitasnnya (mastur)dan mudallis
(menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi dibantu
oleh hadis–hadis lain yang semisal dan semakna atau karena banyak rawi yang
meriwayatkannya.[12]
Contoh
hadis hasan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِىُّ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ - وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى -
قَالَ قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا وَقَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا جَعْفَرُ بْنُ
سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِى عِمْرَانَ الْجَوْنِىِّ عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبِى وَهُوَ بِحَضْرَةِ
الْعَدُوِّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
« إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوفِ ».
فَقَامَ رَجُلٌ رَثُّ الْهَيْئَةِ فَقَالَ يَا أَبَا مُوسَى آنْتَ سَمِعْتَ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ هَذَا قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَرَجَعَ
إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ أَقْرَأُ عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ. ثُمَّ كَسَرَ جَفْنَ
سَيْفِهِ فَأَلْقَاهُ ثُمَّ مَشَى بِسَيْفِهِ إِلَى الْعَدُوِّ فَضَرَبَ بِهِ
حَتَّى قُتِلَ.[13]
Artinya ; Telah menceritakan kepda kami yahya bin Al-tamimi dan qutaibah bin said
–ucapan yahya- telah berkata qutaibah kepada kami dan telah berkata yahya
bahwasanya Ja’far bin Sulaiman
memberitakan kepada kami dari bapaknya Imran Al-Jauan dari bapaknya Abu
Bakar bin Abdillah bin Qaeis dari bapaknya ;saya perna mendengar bapak saya
berkata, ketika itu sedang berhadapan dengan musuh, bahwasanya Rasulullah SAW ;
sesungguhnya pintu-pintu surga dibawah kilatan pedang,” lalu berdirilah
seseorang yang berpakaian compang-camping seraya berkata; “ wahai abu musa
apakah anda mendengar Rasulullah bersabda seperti yang anda ucapkan ini “ya”
lalu orang itu kembali kepadaa sahabat-sahabatnya seraya berkata “aku
mengucapkan salam kepada kalian kemudian orang ini memecahkan sarung pedangnya,
lalu membuangnya dan dengan serta merta dia pergi menuju musuh dengan membawa
pedangnya terus bertempur hingga gugur.
Hadits ini hasan karena empat orang
perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i.
jadilah haditsnya hasan.
·
Kehujahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana
halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis
yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan
suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha
sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.
·
Kitab-kitab hadis hasan
Ulama
yang pertama kali memulai membagi hadis sebagai hadis shahih, hadis hasan,
hadis dhaif adalah Imam At-Tirmitdzi sehingga wajarlah jika Imam At-Tirmitdzi
memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang
menghimpun hadis hasan adalah;
·
Sunan At-tirmitdzi
·
Sunan Abu Daud
·
Sunan Ad-Dar Quthny
HADIST
DHAIF
·
Definisi Hadist Dhaif
Pengertian
hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah lawan dari
Qawi (yang kuat).[14]
Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah
SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW.
Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “
Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits
shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
·
Macam-macam hadits dhaif
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
: hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena
adanya cacat pada rawi atau matan.
·
Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu
atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan
sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits
dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
·
Hadits Mursal
·
Hadits Munqathi’
·
Hadits Mu’dhal
·
Hadits mu’allaq
Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
·
Hadits Maudhu’
·
Hadits matruk atau hadits mathruh
·
Hadits Munkar
·
Hadits Mu’allal
·
Hadits mudraj
·
Hadits Maqlub
·
Hadits Syadz
Contoh
hadis dhaif;
وقالت عائشة كان النبي صلى الله
عليه و سلم يذكر الله على كل أحيانه ( أحيانه ) أحواله
Hadis ini dhaif
karena bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah
·
Kehujahan Hadits dhaif
Hadis dhaif pada dasarnya adalah
tertolak dan tidak boleh diamalkan, bilah dibandingkan dengan hadis shahih dan
hadis hasan. Namun para ulama melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai
dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara
mereka:
1.
Para ulama Muhaqqiq berpendapat bahwa hadis dhaif tidak
boleh diamalkan sama sekali, baik berkaitan masalah aqidah atau hukum-hukum fikih,
targhib dan tarhib maupun dalam fadha’ilul a’mal (keutamaan amal). Inilah
pendapat imam-imam besar hadis seperti Yahya bin Ma’in, bukhari, dan Muslim.
Pendapat ini juga dikuti oleh Ibnu Arabi ulama fikih dari mazhab Malikiyah, Abu
Syamah Al-Maqdisi ulama dari mazhab Syafi’iyah,dan Ibnu Hazm.
2.
Pendapat kebanyakan ahli fikih membolehkan untuk mengamalkan
dan memakai hadis dhaif secara mutlak jika tidak didapatkan hadis lain dalam
permasalahan yang sama. Dikutip dari pendapat Abu Hanifa,Asy-syafi’I, Malik,
dan Ahmad. Akan tetapi pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad bahwa hadis dhaif
kebalikan dari hadis shahih menurut terminology ulama-ulama terdahulu.
3.
Sebagian ulama membolehkan untuk mengamalkan dan memakai
hadis dhaif dengan catatan sebagai berikut: mereka membolehkan mengamalkan
hadis dhaif khusus dalam targhib dan tarhib (motivasi beramal dan ancaman
bermaksiat) dan fadilah-fadilah amal, sedangkan untuk masalah aqidah dan hukum
halal serta haram, mereka tidak membolehkannya.
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadilah
amal, menyaratkan kebolehan mengambilnya itu dengan tiga syarat :
a)
Kelemahan hadis itu tidak seberapa
b)
Apa yang ditunjukan hadis itu juga ditunjukan oleh dasar
lain yang dapat dipegangi, dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan
dengan sesuatu dasar hukum yang suda dibenarkan.
c)
Jangna diyakini dikalah menggunakannya bahwa hadis itu benar
dari Nabi. Ia hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tiada berdasarkan
nash sama sekali.[15]
Kitab
kitab yang menghimpun hadis dhaif adalah:
·
Mu’jam At-thabrani; Al-kabir, Al-Awsat, As-shagir
·
Al-Afrad karya ad-Dar Quthny
·
Kumpulan karya al-Khatib baghdad
·
Kitab
hilyatulAuliya’wa thabaqatul Ashfiya’ karya abu nu’aim al ashbahani.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas maka
penulis dapat menyimpulkan hadis ditinjau dari kualitasnnya sebagai berikut :
·
Bahwsanya hadis shahih adalah hadis yang syaratnya
terpenuhi, syaratnya yaitu; bersambungnya sanad, diriwayatkan oleh orang yang
dhabit dan adil, tidak syadz dan tidak berillat.
·
Hadis hasan adalah hadis ahad yang
diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabitan nya, bersanbung sanadnya,
tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah
hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya
maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.
·
Hadis dhaif adalah Hadits dhaif ialah hadits
yang tidak memuat atau menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula
menghimpun sifat-sifat hadits hasan
·
hadis yang diterima kehujjahannya adalah
hadis shahih dan hadis hasan sedangkan hadis dhaif ulama berbeda pendapat
tentang kehujjahannya.
·
Para ulama Muhaqqiq berpendapat bahwa hadis dhaif tidak
boleh diamalkan sama sekali,. Inilah pendapat imam-imam besar hadis seperti
Yahya bin Ma’in, bukhari, dan Muslim. Pendapat ini juga dikuti oleh Ibnu Arabi
ulama fikih dari mazhab Malikiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi ulama dari mazhab
Syafi’iyah,dan Ibnu Hazm.
·
Pendapat kebanyakan ahli fikih membolehkan untuk mengamalkan
dan memakai hadis dhaif secara mutlak jika tidak didapatkan hadis lain dalam
permasalahan yang sama. Dikutip dari pendapat Abu Hanifa,Asy-syafi’I, Malik,
dan Ahmad. Akan tetapi pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad bahwa hadis dhaif
kebalikan dari hadis shahih menurut terminology ulama-ulama terdahulu.
·
Sebagian ulama membolehkan untuk mengamalkan dan memakai
hadis dhaif dengan catatan sebagai berikut: mereka membolehkan mengamalkan
hadis dhaif khusus dalam targhib dan tarhib (motivasi beramal dan ancaman
bermaksiat) dan fadilah-fadilah amal, sedangkan untuk masalah aqidah dan hukum
halal serta haram, mereka tidak membolehkannya.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Ajaj
Al-Khatib,As-Sunnah Qabla At Tadwin,Darul Fikr, Beirut ,1971,hlm.20
Munzier suparca,ilmu hadis,PT.roja,Jakarta,1993.hlm . 124.
Mustafa
Amin, Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadits, jami’ah al-azhar,
1971, jilid I
Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadist .
CV. Pustaka Setia: Bandung,2005. 143.
Ajaj khatib, ushul Al-hadis, darul fikr, Beirut, 1989, hlm.304
Imam An-Nawawi, al-taqrib
wa attaesir,juz. 1, hlm. 1.
Mahmud Ath-Thohan ,
taysir MushthalahulAl-hadist kitab
hidayah, Surabaya, 1985, hlm. no.34
[1] H.Abdul
Majid Khan,ulumul hadis, Amzah, Jakarta, 2010, hlm.150-151
Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadist .
CV. Pustaka Setia: Bandung,2005.148.
Abu isa At-Turmidzi, Al-jami’ as-sahih sunan turmidzi,
daru ihya, juz 5
Agus suyadi,ulumul hadis, pustaka setia, banding, 2008. 145
Agus Solahuddin,agus
Suyadi, ulumul hadis,pustaka setia, bandung, 2009, hlm. 146.
Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj,
Al-Jami’sahih muslim,daru Al-Afaqi Al-jadida.beirut, juz 6 hlm,45.
Endang Soetari, Ilmu
Hadis: Kajian Riwayah Dan Dirayah, bandung, Mimbar Pustaka, 2005, hlm. 141.
Manna’ Al-qaththan,
Pengantar Studi lmu Hadis, Puataka Al-Kautsar,Jakarta,2009,Hlm. 131.
[1]Ajaj
Al-Khatib,As-Sunnah Qabla At Tadwin,Darul Fikr, Beirut ,1971,hlm.20
[2]
Munzier suparca,ilmu hadis,PT.roja,Jakarta,1993.hlm . 124.
[3]
Mustafa Amin, Ibrahim
al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadits, jami’ah al-azhar, 1971, jilid I
[5]
Ajaj khatib, ushul Al-hadis, darul fikr, Beirut, 1989, hlm.304
[6]
Imam An-Nawawi, al-taqrib wa attaesir,juz.
1, hlm. 1.
[7]
Mahmud Ath-Thohan , taysir
MushthalahulAl-hadist kitab hidayah,
Surabaya, 1985,hlm.no.34
[8] H.Abdul
Majid Khan,ulumul hadis, Amzah, Jakarta, 2010, hlm.150-151
[9] Drs.
H. Mudasir. Ilmu Hadist . CV. Pustaka Setia: Bandung,2005.148.
[10] Abu
isa At-Turmidzi, Al-jami’ as-sahih sunan turmidzi, daru ihya, juz 5
[11] Agus
suyadi,ulumul hadis, pustaka setia, banding, 2008. 145
[12]
Agus Solahuddin,agus Suyadi, ulumul hadis,pustaka setia, bandung,
2009, hlm. 146.
[13] Abu Al-Husain
Muslim bin Al-Hajjaj, Al-Jami’sahih muslim,daru Al-Afaqi Al-jadida.beirut, juz
6 hlm,45.
[14] Endang
Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Riwayah Dan Dirayah, bandung, Mimbar Pustaka, 2005,
hlm. 141.
[15] Manna’
Al-qaththan, Pengantar Studi lmu Hadis, Puataka Al-Kautsar,Jakarta,2009,Hlm.
131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar