Mata Kuliah: Kajian Teks Hadis
Oleh :
zainuddin
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN ALAUDDIN
MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dinul Islam
adalah ajaran dan tuntunan yang diturunkan dari sisi Sang Pencipta, Pemelihara,
Pemilik langit, bumi serta segala isinya, termasuk manusia tentunya. Sehingga
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang Maha Mengetahui batas kekuatan,
kemampuan, serta potensi manusia. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala pun
menetapkan syari’at yang sesuai dengan kemampuan mereka dan bukan kemauan hawa
nafsu mereka. Dinul Islam tidaklah menghendaki kesukaran, namun justru datang
dengan membawa kemudahan. Beranjak dari penjelasan tadi penulis persembahkan
sebuah makalah (karya tulis) yang berjudul “ISLAM ITU MUDAH”. Penulis
mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua, terutama bagi
penulis sendiri. Kepada pembaca yang budiman, jika terdapat kekurangan atau
kekeliruan dalam makalah ini, penulis memohon maaf, karna penulis sendiri dalam
tahap belajar. Dengan demikian, tak lupa penulis ucapkan terimakasih, kepada
para pembaca. Semoga Allah memberkahi makalah ini sehingga benar-benar
bermanfaat.
RUMUSAN MASALAH
1.
Penjelasan
makna kata dan makna kalimat dalam hadis tersebut
2.
Asbabul wurud
3.
Mengapa islam
disebut agama yang muda
4.
Hikmah yang
dapat di petik dari hadis tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
حدثنا عبد السلام بن مطهر
قال حدثنا عمر بن علي عن معن بن محمد الغفاري عن سعيد بن أبي سعيد المقبري عن أبي
هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال :
( إن الدين يسر ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه فسددوا وقاربوا وأبشروا واستعينوا
بالغدوة والروحة وشيء من الدلجة[1]
Artinya ;
Telah
menceritakan kepada kami abdu al-salam bin mutaharu berkata umar bin ali telah
menceritakan kepada kami dari muin bin Muhammad al-ghof>ar>y dari
sai>d bin ab>I sai>d al-maqbar>I dari
Abu Hurairah, bahwa
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang
mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh
karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan
bergembiralah (dengan pahala Allah) dan mohonlah pertolongan di waktu pagi,
petang dan sebagian malam"
Syarah mufradat
الدين
Kata ini
berasal dari kata dayana yang bermakna jinsun minal inqiya>di wa
z\ulli yang artinya salah satu bagian dari kepercayaan dan ketundukan,
sedangkan kata addi>n sendiri diartikan sebagai at-t}a> ‘atu
artinya ketaatan.[2] Menurut Ahmad Warson dalam
kamusnya kata ini (addi>n) berasal dari kata da>na yang
artinya utang, berubah menjadi addi>n yang berarti agama, mu
‘taqadu kepercayaan, at-tauhi>du tauhid, dan al-‘iba>datu ibadah[3]
namun untuk hadis di atas lebi cocok untuk diartikan sebagai agama.
يسر
adalah lawan kata dari [4]العسر, yang mana Al-‘usru itu berarti Al-S{u’u>ba yang berarti sulit sehingga arti kata
yusrun itu adalah mudah.
يشاد
adalah fi’il madhori, bentuk madhinya شاد yang semakna dengan خاصمdan شاحنyang berarti bertengkar, berselisi.[5]dalam kitab Lisa>n al-‘Arab disebutkab
bahwa شدد asal
kata شاد yang berarti [6]الشِّدَّةُ
الصَّلابةُ sangat keras .
غلب
فسددوا
adalah fiil amar yang berasl darikata saddada yang berarti meluruskan,
membetulkan.[8]sedangkan
di dalam kitab kamus al munawwir diartikan
قوّمه yang juga berarti meluruskan[9].
قاربوا
أبشروا
adalah fi’il amar yang berasal dari بشر dimana didalam kitab Maqa>yis
Al-Lugah disebut
[11]ظاهِرُ
جِلْد الإنسان jelasnya kulit manusia maksudnya karena kulitnya yang
terlihat jelas tanpa terhalang oleh rambut, berbeda dengan hewan yang tertutup
oleh rambut ataupun bulu. Maka tidak mengherankan pula ketika menjelaskan makna
kata kerja absyara dan basy-syara, yang menjadi muasal kata basyīr,
penulis memaknainya dengan “memberikan kabar gembira yang membuat kulit muka
menjadi berseri-seri. Pendapat
sedikit berbeda dikemukakan oleh Ibn Jarīr al-Thabariy; pemberitahuan
kepada seseorang tentang berita yang belum pernah diketahuinya dan dapat
membuatnya gembira, sebelum dia mendengarnya dari orang lain atau mengetahuinya
dari orang lain.[12]
استعينوا
adalah kata
kerja perintah untuk melakukan apa yang disebut isti’ānah
yang berarti minta tolong[13]
الغدوة
Berasal dari kata
غداyang dimana didalam
kitab Lisan al-‘Arab
الروحة
الدلجة
Adalah kata yang berasal dari kata الدلج yaitu akhir malam.[16]di sebutkan juga oleh Abul
razza>k Al-Hasi>ni> bahwa الدلجة berarti الساعةُ من آخرِ الليلِwaktu dari akhir malam[17]
Syarul kalimat
إن الدين يسر
Sesungguhnya
agama itu mudah
Inilah
karakter agama Islam sebagai agama yang telah diridhai Allah dan diturunkan
dalam kesempurnaan kepada umat terakhir.
Ada pendapat yang mengatakan Islam dikatakan mudah karena ia
berbeda dengan agama-agama sebelumnya, di mana Allah telah menghilangkan
kesulitan-kesulitan yang dibebankan kepada umat terdahulu. Dicontohkan oleh imam
suyuty, dalam hal taubat misalnya. Untuk diterima taubatnya, umat terdahulu ada
yang diharuskan bunuh diri. Sedangkan bagi kaum muslimin cukup dengan menyesali
dosanya, berjanji tidak mengulangi dan memperbanyak kebaikan[18].
Pada dasarnya, Islam adalah agama yang mudah karena ia
diturunkan oleh Allah SWT yang Maha Tahu karakter dan kemampuan manusia.
Manusia adalah ciptaan Allah dan Dialah yang paling tahu apa yang tepat serta
mudah bagi ciptaan-Nya itu. Dia tidak memberikan beban atau kewajiban yang
tidak sanggup ditanggung oleh hamba-Nya.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا
وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya[19]
Dalam
hal aqidah, aqidah Islam yang pokoknya adalah tauhid merupakan keyakinan yang
sejalan dengan fitrah, menenangkan hati dan memuaskan akal. Sehingga sangat
mudah bagi manusia yang mau berfikir untuk mengikuti aqidah ini, tanpa
kesulitan. Tidak seperti filsafat yang rumit dan juga tidak seperti politheisme
yang membingungkan.
Dalam
hal ibadah, ibadah Islam adalah ibadah yang mudah. Shalatnya lima waktu dalam
sehari semalam merupakan ibadah yang pertengahan. Ia tidak seperti shalat umat
terdahulu yang sampai puluhan kali dalam sehari dengan jangka waktu lama. Tidak
pula terlalu jarang seperti peribadatan pekanan dalam agama selain Islam.
Shalat bisa dilakukan di bumi mana saja, dengan baju yang mana saja asalkan
menutupi aurat dan tidak melanggar syariah, dan dengan imam siapa saja dari
kaum muslimin.
Puasa
juga mudah. Ia hanya terbentang dari fajar hingga matahari terbenam. Satu bulan
dalam satu tahun. Tidak seberat puasa kaum terdahulu. Selain mendekatkan kepada
Allah, puasa juga menyehatkan pencernaan dan melatih kepekaan sosial.
Zakat
dan haji juga demikian. Kedua ibadah yang sangat memerlukan harta ini hanya
diwajibkan bagi kaum muslimin yang mampu. Mampu menunaikan zakat karena
memiliki harta yang telah mencapai nishab dan haul, mampu menunaikan haji
karena memiliki biaya serta aman dan kondusif dalam melaksanakannya.
Taubat
bisa dilakukan siapa saja dengan cara yang juga mudah. Ia tidak seperti
dipraktikkan agama lainnya yang mengharuskan seseorang yang berdosa untuk
mengumumkan aibnya di depan orang lain dan membayar dengan sejumlah uang.
Taubat dalam Islam bisa dilakukan oleh masing-masing orang hanya kepada Allah.
Taubat dalam Islam berhak didapatkan oleh siapapun tanpa membedakan ia miskin
atau kaya, banyak harta atau tidak memilikinya.
Muamalah
dalam Islam juga sesuatu yang mudah. Ia sejalan dengan fitrah manusia dan tidak
pernah memberatkan. Mulai dari jual beli dan berbagai bentuk interaksi sesama
yang bertumpu pada prinsip keadilan, kasih sayang dan saling menguntungkan.
Menikah juga mudah dilakukan. Islam tidak memberatkan mahar, namun
menyerahkannya kepada kesepakatan antara kedua belah pihak calon suami dan
istri sehingga mudah dipenuhi.
Allah
SWT berfirman :
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan[20]
وَلَنْ
يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
Tidaklah
seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan
dikalahkan.
Siapa yang menentang Islam, ia akan kalah sendiri. Karena
karakter agama Islam itu mudah, maka siapa yang menyulitkan diri sendiri ia
akan kalah. Siapa yang berlebih-lebihan dalam agama ini ia akan kalah. Artinya,
ia takkan mampu menjalankan agama ini dengan sempurna. Justru akan futur, jatuh
dan tenggelam di tengah jalan.
Misalnya dicontohkan dalam sebuah hadits di mana ada tiga
orang yang bertanya kepada Aisyah mengenai amal Rasulullah. Lalu mereka
menyimpulkan bahwa mereka harus berusaha lebih karena Rasulullah telah diampuni
dosanya. Maka orang pertama bertekad untuk qiyamullail sepanjang malam tanpa
tidur. Orang kedua bertekad akan berpuasa setiap hari tanpa kecuali. Dan orang
ketiga bertekad membujang selamanya, tanpa menikah.
Rasulullah SAW yang kemudian mengetahui perkara ini
meluruskan mereka agar mengikuti sunnah Rasulullah. Bahwa qiyamullail
dijalankan tetapi ada waktu untuk istirahat. Puasa tidak setiap hari, tetapi
maksimalnya adalah puasa Dawud (sehari puasa sehari tidak). Dan seorang muslim
hendaklah menikah, tidak membujang[21].
Apa yang diingatkan Rasulullah SAW itu tidak lain adalah
mengikuti karakter agama ini. Bahwa Islam itu mudah. Dan seorang muslim tidak
boleh berlebihan, memaksakan diri, atau memperberat yang akhirnya justru ia
cepat bosan lalu berhenti, atau terhalang dari kewajiban dan keutamaan lain
dari agama ini.
فَسَدِّدُوا
Oleh
karena itu kerjakanlah dengan semestinya,
Yaitu
amalkanlah Islam itu sebagaimana mestinya, dengan baik dan benar, tanpa
berlebihan dan tanpa menguranginya[22].
وَقَارِبُوا
atau
mendekati semestinya
Jika tidak
mampu, berusahalah mendekati mestinya. Senantiasa berusaha mendekati
kesempurnaan sebagaimana yang telah ditunjukkan Allah dan Rasul-Nya dalam
Al-Qur'an dan hadits.
وأَبْشِرُوا
dan bergembiralah (dengan pahala Allah).
Bergembiralah,
karena dengan mengamalkan Islam sebagaimana adanya itu engkau akan mendapatkan
pahala dari Rabbmu. Bergembiralah, sebab dengan menjalankan Islam yang mudah
itu engkau akan mendapatkan ganjaran dan kebaikan dari Tuhanmu. Dan amal yang
paling dicintai Allah adalah yang terus menerus meskipun ia sedikit.
Ketidakmampuan seseorang dalam menjalankan perintah Allah tanpa kesengajaan
tidaklah mengurangi pahalanya, dan sederhana dalam sunnah itu lebih baik
daripada banyak amalan tetapi bid'ah.
وَاسْتَعِينُوا
بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
dan mohonlah
pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam
Al-Ghadwah (الْغَدْوَة) artinya permulaan siang. Ar-Rauhah (الرَّوْحَة) artinya setelah terbenamnya matahari. Ad-Duljah (الدُّلْجَة) artinya akhir malam[23].
Al-Ghadwah (الْغَدْوَة) artinya permulaan siang. Ar-Rauhah (الرَّوْحَة) artinya setelah terbenamnya matahari. Ad-Duljah (الدُّلْجَة) artinya akhir malam[23].
Maksudnya adalah, mintalah pertolongan kepada Allah SWT
dengan beribadah pada waktu-waktu yang telah ditentukan, utamanya adalah
permulaan siang (Dzuhur), Maghrib dan waktu-waktu qiyamullail. Mintalah
pertolongan kepada Allah dalam segala hal, baik urusan dunia maupun urusan
akhirat, khususnya dalam bab ini adalah agar diisitiqamahkan dalam menjalankan
Islam yang mudah, yang sesuai sunnah. Tanpa berlebih-lebihan sekaligus tanpa
pengurangan.
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa hadits ini memiliki
korelasi yang erat dengan hadits-hadits sebelumnya. Yakni jika hadits
sebelumnya menunjukkan bahwa shalat, puasa dan jihad merupakan bagian dari iman
dan memiliki keutamaan besar, hadits ini mengingatkan agar dalam menjalankan
ketiganya kita tetap berada dalam koridor sunnah, sesuai dengan karakter Islam
yang mudah. Tidak mempersulit diri dan berlebih-lebihan[24].
Hikmah atau
pelajaran yang dapat di ambil.
Pelajaran
yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Islam itu agama yang mudah. Ia
diturunkan dengan sempurna sesuai dengan fitrah dan kemampuan manusia;
2. Seorang muslim harus menjalankan Islam sesuai
karakternya yang mudah, tidak mempersulit diri atau berlebih-lebihan;
3.
Orang
yang berlebih-lebihan dan mempersulit diri dalam beragama cenderung akan jatuh
dalam kekalahan, baik itu bosan, futur atau terjebak pada ghuluw dan bid'ah;
4.
Seorang
muslim harus berusaha menjalankan Islam sebagaimana ia diperintahkan, jika
tidak mampu hendaklah berusaha mendekatinya;
5.
Seorang
muslim harus optimis dengan pahala dan kebaikan yang akan diberikan kepadanya
sebagai balasan atas komitmennya terhadap Islam dan sunnah;
6.
Seorang
muslim hendaklah senantiasa memohon kepada Allah dengan terus beribadah
kepada-Nya;
7.
Seorang
muslim hendaklah memanfaatkan waktu-waktu utama dan memperhatikan kesempatannya
untuk meraih momentum terbaik dalam beribadah dan beramal.
8. Agama Islam
mewajibkan kita untuk memperhatikan haknya badan untuk makan dan minum dan
istirahat. Haknya anak dan istri untuk mendapatkan perhatian yang selayaknya
dan kemudian haknya Allah untuk diibadahi dan dijalankan ajaran syariat-Nya.
Maka dalam menjalankan segenap hak masing-masing pihak itu, tidak boleh ada
pihak yang diabaikan haknya. Demikian itulah pengamalan agama yang benar, adil
dan dalam batas kewajaran. Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda:
9.
“Sesungguhnya agama ini kokoh,
maka beramallah dengannya dengan kelembutan, dan janganlah engkau membikin
dirimu tidak suka beribadah kepada Allah karena merasa terlalu berat, karena
orang yang terhenti dari bepergiannya itu ialah kendaraannya dan bekalnya tidak
mampu lagi melanjutkan perjalanannya sampai ke tempat tujuanya. Oleh karena itu
beramallah engkau dengan semangat seperti orang yang menyangka bahwa dia tidak
akan mati selama-lamanya dan penuh kehati-hatian seperti orang yang dalam
keadaan takut bahwa besok akan mati.”[25]
Daftar Pustaka
Al-Bukha>ri
Al-Ja’fi>, Muh}ammad bin Isma>’i>l Abu> ‘Abdilla>h >.
S}ah}i>h al-Bukha>ri>, juz V. Cet. III; Beirut: Da>r Ibnu
Kas\i>r, 1987.
Al-Mis}ri>,
Muh}ammad bin Mukrim bin Manz}u>r al-Afri>qi>. Lisa>n al-‘Arab, juz IV. Beirut: Da>r S{adir, t.th.
Ibnu
Zakariyya>, Abu> al-H}usain Ah}mad bin Fa>ris. Maqa>yis al-Lug}ah, juz I dan juz V. t.t: Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, 2002.
Bisri,
Adib dan Munawwir AF. Kamus al-Bisri. Cet. I; Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999.
Al-quranul
karim
Ibrāhīm Musthafā, dkk, Al-Mu’jam
Al-Wasīth,juz II Istanbul, Dar al-Da’wah,
1989.
Yunus,
Mahmud, kamus Arab Indonesia, cet 2,Jakarta; hidakarya agung,1972.
Al-S}iddi>qi,Muhammad
bin ‘illa>n >, Dali>l Al-fa>lihin,juz 1cet. 1 Da>r Al-Hadi>s1998
Munawwir
Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Edisi II,Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Atabik
Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, KAMUS KONTEMPORER ARAB-INDONESIA, Cet.9,
Yogyakarta; Multi Karya Grafika, 1996.
Al-Amily,
Muhamad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Katsīr bin Ghālib al-Amily,
Abū Ja’far
al-Thabary, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl Al-Qur’ān, Beirut,
Muassasah al-Risālah, 2000
Asqala>ni>,
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘ Fath}ul al-Ba>ri> bi Syarhu S}ah}i>
al-Bukha>ri>, Juz 1, Beirut: Da>r al-Ma ‘rifatu, t.th
Al-Syu>yu>ti
Abdul Al-Rahma>n bin Abi Bakr Al-Syu>yu>ti>, syarh
Al-Syu>yu>ti lisunani Al-nasa>i>, juz 8 (halab, maktab
AL-Matbu>’a>t Al-Islamiyah 1986.
ibn
Rajab, Abdu Al-Rahma>n ibn Syihab al Din Ahmad Fath}ul al-Ba>ri>
juz I,t,ht
As-Sijista>ni,
Sulaiman bin Al-Asy’as bin Isha>k bin Basyi>r bin Syida>d bin Amar
Al-Azdi> As-Sunanul Kubra,juz 3, t.ht,
[1] Muhammad bin Isma>’i>l
Abu ‘Abdilla>h Al-Bukha>ri> Al-ja’fi>, Sahih al-Bukha>ri>,
juz I (Cet. III;
Beirut: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1987),h 23
[2]
Abu al-Husain Ahmad bin Faris Ibnu Zakariyyah, Mu
‘jam Maqa>yis Al-Lugah, Juz 2 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979 ),
h.319.
[3]Ahmad Warson Munawwir, Kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia (Edisi
II, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
h.437.
[4]
Muhammad bin Mukarram bin
Manz}u>r al-Afriki> al-Mis}ri>, Lisan al-‘Arab, Juz 15 (Beirut:
Da>r S}a>dir, t.th.), h.295.
[5]
Atabik Ali Ahmad Zuhdi
Muhdlor, KAMUS KONTEMPORER ARAB-INDONESIA, (Cet.9, Yogyakarta; Multi
Karya Grafika, 1996), h.1109.
[6]
Muhammad bin Mukarram bin
Manz}u>r al-Afriki> al-Mis}ri, op.cit., h.232
[7]
Adib Bisri, Munawwir A. Fattah, Kamus Indonesia Arab Al-Bisri, (cet 1,Surabaya;
Pustaka Progresif, 1999),h.545.
[8]
Mahmud Yunus, kamus Arab
Indonesia, (cet 2,Jakarta; hidakarya agung,1972),h 166.
[9]
Ahmad Warson Munawwir,
op. cit, hal.620
[11]
Abu al-Husain Ahmad bin Faris Ibnu Zakariyyah, op.
cit, hal. 237
[12]
Muhamad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Katsīr bin Ghālib al-Amily, Abū Ja’far
al-Thabary, Jāmi’
al-Bayān fī Ta’wīl
Al-Qur’ān, (Beirut, Muassasah al-Risālah, 2000), Juz. II, h. 393
[13]Ahmad Warson Munawwir, op.
cit, hal.988
[14]
Muhammad bin Mukarram bin
Manz}u>r al-Afriki> al-Mis}ri, op. cit, hal. 116
[16]
Ahmad Warson Munawwir,
op. cit, hal.415
[17]
Muhammad bin Muhammad bin
Abdu Al-Razza>k Al-Hasi>ni>, dkk, ta>ju Al-‘uru>s min
jawa>hiri Al-Qa>mu>s, juz 1(t.th) h. 1406.
[18]
Abdul Al-Rahma>n bin
Abi Bakr Al-Syu>yu>ti>, syarh Al-Syu>yu>ti lisunani Al-nasa>i>,
juz 8 (halab, maktab AL-Matbu>’a>t Al-Islamiyah 1986), h.122
[19]
(QS. Al-Baqarah : 286)
[20]
(QS.
Al-Hajj : 78)
[21]
Abdu Al-Rahma>n ibn
Syihab al Din Ahmad ibn Rajab, Fath}ul al-Ba>ri> juz I,(t,ht)h. 76.
[22]
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar
al-‘Asqala>ni>, Fath}ul al-Ba>ri> bi Syarhu S}ah}i>
al-Bukha>ri>, Juz 1, (Beirut: Da>r al-Ma ‘rifatu, t.th.), h 95.
[23]
Muhammad bin ‘illa>n
Al-S}iddi>qi>, Dali>l Al-fa>lihin,juz 1(cet. 1 Da>r
Al-Hadi>s)1998, h 331.
[24]
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar
al-‘Asqala>ni>, Fath}ul al-Ba>ri> bi Syarhu S}ah}i>
al-Bukha>ri>, Juz 1 op cit, h.93.
[25] Sulaiman
bin Al-Asy’as bin Isha>k bin Basyi>r bin Syida>d bin Amar Al-Azdi>
As-Sijista>ni, As-Sunanul Kubra,juz 3, t.ht, h.19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar