PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama dakwah yaitu agama
yang mengajak dan memerintahkan umatnya untuk selalu menyebarkan dan menyiarkan
ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. Keharusan tetap berlangsungnya dakwah
Islamiyah di tengah-tengah masyarakat itu sendiri merupakan realisasi dari
salah satu fungsi hidup setiap manusia Muslim, yaitu sebagai penerus risalah
Nabi Muhammad saw, secara umum, kaum muslimin mengira bahwa dakwah tugas alim
ulama. Hal ini tidak benar. setiap orang yang mengetahui kemungkaran yang
terjadi di hadapannya, atau ia mampu mencegahnya, atau ia mampu memunculkan
satu hal yang dapat menghentikannya maka ia wajib berusaha menghentikan
kemungkaran itu. Jika tugas dakwah ini hanya dibebankan kepada alim ulama. Lalu
disebabkan suatu kelemahan keadaan darurat mereka tidak dapat melaksanakan
tugasnya, atau mereka belum berusaha memenuhi kewajiban itu, tentu kewajiban
itu akan kembali ke pundak setiap muslim untuk menyeru dan mengajak manusia
menuju jalan Allah, jalan keselamatan dunia akherat. Disamping fungsi hidup
sebagai khalifah di muka bumi ini. Keharusan
tetap berlangsungnya dakwah Islamiyah yang merupakan tugas sebagai manusia
Muslim sudah tercantum dalam kitab suci al-Qur’an, surat al- Imron ayat 104 :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ
أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung
B. Rumusan Masalah
·
Pengertian dan Hukum Dakwah
·
Keutamaan Dakwah
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Hukum Dakwah
Dakwah menurut bahasa adalah masdar
(kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan
atau ajakan Sedangkan menurut makna syar’i, dakwah adalah seruan kepada
orang agar melakukan kebaikan, melakukan kema’rufan dan mencegah kemunkaran.
Atau juga dapat didefinisikan yaitu upaya untuk merubah manusia baik perasaan,
pemikiran, maupun tingkah lakunyadari jahiliyah ke jalan Islam, atau dari yang
sudah Islam menjadi lebih kuat lagi Islamnya.
Hukum
dakwah dalam alquran
Berdasarkan ayat al-Qur'an, ulama sepakat bahwa hukum dakwah itu secara
umum adalah wajib, sedangkan yang menjadi perdebatan adalah apakah kewajiban
itu dibebankan kepada individu muslim atau hanya dibebankan kepada kelompok
orang saja dari secara keseluruhan, perbedaan pendapat mengenai hukum berdakwah
disebabkan perbedaan cara pemahaman ulama terhadap dalil-dalil nakli disamping
kenyataan kondisi setiap muslim yang berbeda pengetahuan dan kemampuan. Ayat
yang menjadi pokok pangkal pendapat itu adalah surat Ali-Imran ayat 104.
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ
أُمَّةٌ
يَدْعُونَ
إِلَى
الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ
عَنِ
الْمُنكَرِ
وَأُوْلَـئِكَ
هُمُ
الْمُفْلِحُون(آل
عمران:
١٠٤)َ
Artinya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar .
merekalah orang-orang yang beruntung”.
Pada ayat
tersebut terdapat tiga kewajiban yang dihadapi. Yang dua berpusat kepada yang
satu. Yang satu ialah mengajak kepada kebaikan. Dan menimbulkan
dua tugas. Pertama menyuruh berbuat ma’ruf dan kedua melarang berbuat munkar.
Yang baik dua kata kerja yang disuruh oleh Allah kepada manusia yaitu berbuat
ma’ruf dan mencegah yang munkar. Di dalam tafsir Jamaluddin al-Qasimi
dinyatakan pada surat Ali-Imran ayat 104 memberikan alasan tentang wajib untuk
menyeru kepada makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan mewajibkan kepadamu
sebagaimana ditetapkan dalam al-Qur'an dan sunnah.
Ahmad Mustafa Al- Maraghi –dalam menafsirkan surat Ali Imran:
104—memebedakan antara الخير dan الْمَعْرُوف. Kataالخير adalah sesuatu
yang di dalamnya terkandung kebaikan bagi umat manusia dalam masalah agama
(prinsip ajaran agama) dan duniawi. Kata الْمَعْرُوف adalah apa yang dianggap
baik oleh oleh syari’at dah akal. Disini Allah SWT., memerintahkan agar
melakukan penyempurnaan terhadap selain mereka, yaitu anggota-anggota
masyarakatdan menghimbau agar mengikuti perintah-perintah syari’at serta
meninggalkan larangan-larangan-Nya, sebagai pengukuhan terhadap mereka untuk
memelihara hukum-hukum syari’at dalam rangka memlihara syari;at dan
undang-undang. Jadi hendaklah didalam jiwa manusia itu tertanam cinta kepada
kebaikan dan berpegang teguh kepada syari’at.
Menurut Imam Khazin sebagaimana yang dikutib oleh Moh. Ali Azis menyatakan
bahwa arti mim dalam surat Ali-Imran ayat 104 adalah berfungsi sebagai
penjelas (Iil bayan) bukan menunjukkan arti sebagai (littab'iidh), sebab
Allah telah mewajibkan dakwah kepada umat Islam sebagaimana firman-Nya ("Kamu
sebagian adalah sebaik-baik umat (Ali-Imran: 110), dan karena itu arti yang
tepat untuk ayat 104 ayat Ali-Imran di atas adalah hendaklah kamu semua menjadi
umat yang selau mengajak kepada kebaikan memerintah yang makruf dan mencegah
yang mungkar. Penjelasan Imam Khazin yang menyatakan, bahwa arti mim yang
mempunyai fungsi sebagai penjelas, yaitu dakwah adalah kewajiban dan tanggung
jawab setiap muslim dan dikhususkan kepada seorang kaum muslim saja, namun
siapa yang merasa muslim adalah yang wajib melaksanakan dakwah tergantung atas
kemampuannya sendiri.
Menurut M. Quraish Sihab, kata minkum pada ayat 104 surat Ali-Imran
menyatakan bahwa ada ulama yang memahami dalam artian sebagian dengan demikian
perintah dakwah yang dipesankan oleh ayat itu tidak tertuju kepada setiap
orang. Bagi yang memahaminya demikian, maka ayat ini buat mereka yang
mengandung dua macam perintah. Perintah pertama kepada seluruh umat Islam untuk
membentuk dan menyiapkan suatu kelompok khusus yang bertugas melaksanakan
dakwah kepada kebaikan dan makruf serta mencegah kemungkaran. Perintah pertama dalam hal ini bisa jadi suatu lembaga kemasyarakatan yang
tugasnya adalah untuk melaksanakan dakwah dan ada kegiatan-kegiatan khusus
olehnya untuk melancarkan dakwah. Perintah kedua adalah dakwah yang dilancarkan
ini menyangkut kepada dakwah kepada kebaikan dan makruf nahi mungkar.
Keterangan minkum yang menyebabkan dua kewajiban ini hanya
memposisikan hukum dakwah wajib hanya mempunyai cakupan yang kecil, yaitu
kelompok. Kalau kita kembali kepada persoalan sebelumnya, yang menyatakan bahwa
huruf mim dan dalam kata minkum merupakan kewajiban bagi setiap
orang muslim yang merupakan penjelas, menurut Quraish Shihab adalah ini
merupakan perintah kepada muslim untuk melaksanakan tugas dakwah yang
masing-masing sesuai dengan kemampuannya, memang dakwah yang dimaksud adalah dakwah
yang sempurna, maka tentu saja tidak semua orang dapat melaksanakannya. Disisi
lain, kebutuhan masyarakat dewasa ini, bahkan perang informasi yang demikian
pesat dengan sajian nilai-nilai baru sering kali membingungkan, semua itu
menuntut adanya kelompok khusus yang menangani dakwah dan membendung informasi
yang menyesatkan, karena itu adalah lebih tepat memahami kata minkum pada
ayat di atas dalam artian sebagian dari kamu tanpa menuntut kewajiban setiap
muslim untuk saling ingat mengingatkan, bukan berdasarkan firman Allah pada
surat aI-Ashar yang menilai semua muslim kerugian, kecuali mereka yang beriman
dan beramal shaleh, serta saling mengingatkan tentang kebenaran dan ketabahan.
Dari semua keterangan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa para ahli tafsir
menyatakan bahwa kata minkum adalah sebagai penjelas (lil bayan)
dan ada yang mengatakan bahwa kata minkum adalah sebagian (littab'iidh),
namun sebenarnya keduanya bisa dipakai dalam status hukum dakwah dan
tergantung kemana posisi hukum ini diletakkan. Kalau seandainya lil bayan, maka
dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim tanpa kecuali sesuai dengan
kemampuan mereka, namun kalau berada dalam posisi littab'idah atau
sebagian adalah ada kelompok yang bertugas untuk melaksanaka dakwah, maka kedua
makna antara lil bayan dan littab 'idah adalah penempatan hukum
dakwah sesuai dengan kemampuan umat muslim dalam menegakkan kebenaran, bisa
jadi Iil bayan adalah umat muslim yang mempunyai otoritas (kekuasaan).
Menurut Ar-Razi, perkataan minkum mengatakan "seseorang
diantara kamu" sesungguhnya (min) menurut Dalalain adalah (pertama)
sesungguhnya Allah Ta'ala mewajibkan kepada sekalian seperti yang dikatakan
"engkau adalah sebagian ummat. .... ", sedangkan yang kedua adalah
dia sesungguhnya tidak berarti tanggung jawab melainkan kewajiban keduanya,
menyeru "kepada yang makruf dan mencegah keapada yang mungkar, ada
kalanya dengan tangan, atau lisan atau dengan hati - maka ayat ini suatu yang ada
pada umat yang menyeru kepada kebaikan memerintahkan yang makruf mencegah
yang mungkar.
Fuad Mohm. Facruddin dan Ali al-Syamsi al Nasyar, sebagaimana yang dikutip
oleh Salmadanis mengatakan bahwa melaksanakan amar makruj nahi mungkar adalah
suatu kewajiban bukan oleh golongan tertentu saja, tetapi juga oleh semua
golongan tertentu saja, juga oleh semua golongan umat Islam lainnya. Maka
siapapun manusia yang tidak melakukannya hendaklah diluruskan jalan hidupnya
dengan melakukan jihad terhadap dirinya yang sifatnya sarna dengan melakukan
jihad terhadap orang kafir atau fasik. Kewajiban al-amr bi al-makruf wa
al-hahy an al-munkar adalah bagi setiap mukmin sesuai dengan kemampuan
mereka, apakah dengan mengangkat senjata atau cara lain.
Dikatakan demikian sangat kuat bahwa kewajiban amar makruf nahi mungkar adalah
sebuah tanggung jawab penuh bagi semua umat muslim kepada kepada seorang muslim
lainnya, dan dengan melaksanakan kegiatan amar makruf nahi mungkar akan
menyebabkan semua lapisan masyarakat akan mampu mengamalkan ajaran Islam dengan
baik dan penuh dengan redha Allah SWT, dengan demikian palaksanaannya juga
harus sesuai dengan kapasitas kemampuanya, dan tidak menuntut para individu
dalam malaksanakan dakwah diluar kemampuan mereka.
Sedangkan mengenai dakwah, ada dua kata yang berada dalam rangka perintah
melaksanakan dakwah yaitu yad'una yakni mengajak dan yang kedua yaitu ya'muru
yakni memerintahkan, Menurut Sayyid Qhutub sebagaimana yang dikutip oleh
Quraish Shihab "Perbedaan itu menunjukkan keharusan adanya dua kelompok
masyarakat Islam, kelompok pertama yang bertugas mangajak, dan kelompok kedua
yang bertugas memerintah dan melarang, maka kedua kelompok itulah yang
memilkiki kekuasaan di muka bumi, ajaran illahi bukanlah nasehat, pertunjuk dan
penjelasan. Sedangkan kekuasaan memerintah dan melarang agar makruf dapat
terwujud dan kemungkaran dapat sirna.
Lebih lanjut M. Natsir mengatakan bahwa kewajiban dakwah merupakan
tanggungjawab kaum muslimin dan muslimat. Dan tidak boleh seorang muslim/muslimah pun dapat menghindarkan diri
dari padanya. Kemudian Toha
Jahya Omar mengungkapkan bahwa hukum dakwah adalah wajib sesuai dengan surat
an-Nahl: 125.
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ
رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ
وَجَادِلْهُم
بِالَّتِي
هِيَ
أَحْسَنُ
إِنَّ
رَبَّكَ
هُوَ
أَعْلَمُ
بِمَن
ضَلَّ
عَن
سَبِيلِهِ
وَهُوَ
أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk
Kewajiban dakwah
menurut Toha Jahya Omar pada ayat di atas, di dasarkan pada kata-kata ud’u yang
diterjemahkan dengan ajaklah adalah fi’il amar. Menurut aturan Ushul
Fiqh amar menjadi perintah wajib yang harus dipatuhi selama tidak
ada dalil-dalil lain yang memalingkannya dari wajib itu kepada sunat dan
lain-lainnya.
2. Hukum Dakwah Dalam Hadis
Selain al-Quran, di dalam hadits juga terdapat
perintah atau suruhan untuk melakukan dakwah. Hukum dakwah ini nampaknya juga
akan berbeda pada setiap orang tergantung situasi dan kondisi yang dialami
orang tersebut dalam pandangan hukum.
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ
: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
اْلإِيْمَانِ
[رواه مسلم]
Abu Sa’id
Al-Khudry ra. Berkata, Aku Mendengar Rasulullah SAW., bersabda “Barangsiapa
diantara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mencegah dengan tangan
(kekerasan atau kekuasaan), jika ia tidak sanggup dengan demikian (sebab tidak
memiliki kekuatan dan kekuasaan), maka dengan lidahnya, dan jika tidak mampu
(dengan lidahnya) yang demikian itu adalah selemah-lemah iman”. (HR. Muslim).
Dengan demikian berdasarkan hadits tersebut menurut
penulis ada dua macam hukum dakwah yaitu hukum secara umum dan hukum secara
khusus. Hukum secara umum adalah bahwa pelaksanaan kegiatan dakwah ditetapkan
sebagai kewajiban yang hukumnya fardu kifayah. Hal ini disebabkan karena tidak
mungkin semua orang memiliki potensi sebagai muballigh dan dapat melaksanakan
dakwah dengan baik. Sedangkan hukum secara khusus adalah ketetapan hukum yang
dijatuhkan kepada seseorang yang keluar dari hukum fardu kifayah, disebabkan
oleh tingkatan kemampuan dan ketidakmampuan seseorang.
Ada tiga cara dakwah pada hadits tersebut. Pertama mencegah dengan tangan
atau dengan kekuasaan atau jabatan yang dimiliki seseorang, yang dengan jabatan
atau wewenang yang dimilikinya dia akan didengarkan orang atau orang akan
menyeganinya. Kedua dengan cara lisan yaitu berbicara dengan kebenaran yang dilontarkan
kepada mereka yang melakukan kemungkaran dan orang ini harus mempunyai mental
yang cukup kuat dan dalam melakukan tindakan pencegahan kemungkaran. Ketiga
dengan hati, ini merupakan jalan terakhir untuk menasehati orang lain yaitu
merupakan selemah-lemah keadaan seseorang, setidak-tidaknya ia masih tetap
berkewajiban menolak kemungkaran dengan hatinya kalau ia masih dianggap Allah
sebagai orang yang memiliki iman, walaupun iman yang paling lemah, yakni
mentalnya tidak sanggup untuk mencegah kemungkaran. Penolakan kemungkaran
dengan hati merupakan batas minimal dan benteng tempat penghabisan dari upaya
pencegahan kemungkaran.
Menurut penulis pada cara pertama ketika seseorang memiliki power dan
kemampuan untuk mengendalikan orang lain pada jalan yang benar maka jatuh hukum
wajib baginya yang dilakukan secara konsep kifayah untuk mencegah
kemungkaran dengan kekuatannya. Hal ini juga memberi pengertian bahwa wajib
bagi orang yang memiliki power untuk berdakwah mencegah kemungkaran dengan
kekuatan maupun dengan menggunakan lisan. Akan tetapi jika dia memiliki
kekuasaan tetapi tidak dapat mampu mengendalikan kekuasaan tersebut, atau
dengan kata lain dia berada dalam kendali orang lain, maka hukum dakwah secara
pribadi dan khusus menjadi tidak wajib baginya akan tetapi dapat berubah fungsi
menjadi hukum yang lain.
Kemudian pada keadaan yang kedua di mana seseorang dengan keberaniannya
mampu mencegah kemungkaran dengan cara lisannya, dengan siap mental menanggung
resiko apapun yang akan terjadi karena tindakannya. Maka menurut penulis jatuh hukum sunat padanya untuk mencegah kemungkaran.
Artinya, hal ini dapat dipahami bahwa jika seseorang yang tidak mempunyai power
tetapi dia memiliki kemampuan mental untuk berdakwah dan dia mengetahui bahwa
resiko akan terjadi sebagai akibat dari tindakannya maka sunat baginya
berdakwah.
Selanjutnya pada keadaan yang ketiga di mana seseorang tidak memiliki
kemampuan, dan juga tidak siap secara mental untuk mencegah kemungkaran maka
jatuh hukum mubah baginya untuk tidak mencegah kemungkaran asalkan di dalam
jiwanya berkata bahwa dia tidak setuju dengan kemungkaran yang dilihatnya.
Dengan demikian hal ini juga dipahami bahwa ketiak seseorang tidak memiliki
kekuasaan, kemampuan secara lisan dan tidak memiliki kesiapan mental maka
jatuhlah hukum mubah untuk tidak berdakwah baginya. Meskipun para ulama
berpendapat bahwa pada dasarnya hukum dakwah secara umum adalah fardu kifayah,
namun demikian menurut penulis hukum dakwah seperti yang diuraikan di atas
mestilah dikembalikan pada hukum fardu ’ain agar setiap orang berbuat
dan menyampaikan kebenaran.
Hadis di atas juga ditegaskan oleh hadis lain bahwa Khuzaifah ra. Nabi SAW.
Bersabda "Demi zat yang menguasai diriku, haruslah kamu menegakkan kepada
kebaikan dan haruslah kamu mencegah perbuatan yang mungkar, atau Allah akan
menurunkan siksa kepadamu, kemudian kamu berdo'a kepada-Nya dimana Allah tidak
akan mengabulkan permohonanmu (HR. Turmudzi).
Hadits di atas tidak menjelaskan hukum dakwah secara jelas, akan tetapi perintah
untuk mengerjakan dakwah jelas dikatakan. Hal ini juga membuktikan bahwa menurut
penulis hukum dakwah itu sangat berkaitan sekali dengan kondisi dan keadaan
seseorang.
Disebutkan pulah Sebagaimana dalam sabda rasulullah
عن
ابن جرير عن جرير قال : سمعت رسول الله
صلى الله عليه و سلم يقول " ما من رجل يكون في قوم يعمل فيهم بالمعاصي يقدرون
على أن يغيروا عليه فلا يغيروا إلا أصابهم الله
بعذاب من قبل أن يموتوا " . قال الشيخ الألباني : حسن
Dari jarir r.a ia berkata ”aku mendengar rasulullah SAW .bersabda,”tidaklah
seseorang berada di suatu kaum dan ia berbuat maksiat, tetapi mereka tidak
mengubahnya padahal mereka mampu,kecuali allah akan menimpakan bencana kepada
mereka sebelum mereka mati”.(Hr Abu Dawud,Ibnu Majah,Ibnu hibban,al asbani-attargib).
Dari hadis ini tidaklah menyebutkan secara langsung perintah dan wajibnya
berdakwah, namun jika kita teliti lebi dalam lagi maka kita menemukan sebuah
akibat dari tidak terlaksananya dakwah dari hadis di atas, yang menunjukan
wajibnya dakwah.
B. Keutamaan Dakwah
1. Dakwah
menjadi utama karena ia adalah muhimmatur rusul (tugas para nabi dan rasul).
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي
أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ
اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah (Hai
Muhammad): “Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah
(mengajak kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah,
dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf (12): 108).
2. Dakwah
menjadi utama karena ia adalah ahsanul a’mal (sebaik-baik amal).
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ
صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang
lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?” (Fushilat (41): 33).
3. Dakwah
menjadi utama karena dengan berdakwah seorang muslim meraih pahala yang teramat
besar (al-hushul ‘alal ajri al-azhim).
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم لِعَلِيٍ فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ
أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
رواه البخاري ومسلم وأحمد
Sabda Rasulullah
saw kepada Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah, sesungguhnya Allah swt menunjuki
seseorang dengan (dakwah)mu maka itu lebih bagimu dari unta merah.” (Bukhari,
Muslim & Ahmad).
Ibnu Hajar
Al-‘Asqalani ketika menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa: “Unta merah adalah
kendaraan yang sangat dibanggakan oleh orang Arab saat itu.”
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ
سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ
بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ
مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ ».
“Siapa yang mencontohkan perbuatan
baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya dicontoh (orang lain), maka
akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya tanpa
dikurangi sedikit pun pahala mereka yang mencontoh nya. Dan barangsiapa
mencontohkan perbuatan buruk, lalu perbuatan itu dilakukan oleh orang lain,
maka akan ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang menirunya tanpa
mengurangi mereka yang menirunya. (HR. Muslim dari Jarir bin Abdillah ra).
4. Dakwah
menjadi utama karena dapat menyelamatkan da’i dari azab Allah swt dan
pertanggungjawaban di akhirat.
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ
اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ
فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ
أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي
أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ
فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا
خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا
فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى
أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
)رواه البخاري)
Perumpamaan orang
yang tegak di atas hukum-hukum Allah dengan orang yang melanggarnya seperti
kaum yang menempati posisinya di atas bahtera, ada sebagian yang mendapatkan
tempat di atas, dan ada sebagian yang mendapat tempat di bawah. Mereka yang
berada di bawah jika akan mengambil air harus melewati orang yang berada di
atas, lalu mereka berkata: “Jika kita melubangi bagian bawah milik kita dan
tidak mengganggu mereka..” Kalau mereka membiarkan keinginan orang yang akan
melubangi, mereka semua celaka, dan jika mereka menahan tangan mereka maka
selamatlah semuanya. (HR. Bukhari).
Dari Hudzaifah
bin Yaman ra dari Nabi Muhammad Saw beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, kalian harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau
Allah akan menurunkan hukuman dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan
Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi, beliau berkata: hadits ini
hasan).
5. Dakwah
menjadi utama karena ia adalah jalan menuju khairu ummah (terbentuknya umat
yang terbaik).
Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah,
dimana Rasulullah saw berhasil mengubah
masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik sepanjang zaman dengan dakwah beliau.
Dakwah secara umum dan pembinaan kader secara khusus adalah jalan satu-satunya
menuju terbentuknya khairu ummah yang kita idam-idamkan. Rasulullah saw
melakukan tarbiyah mencetak kader-kader dakwah di kalangan para sahabat beliau
di rumah Arqam bin Abil Arqam ra, beliau juga mengutus Mush’ab bin Umair ra ke
Madinah untuk membentuk basis dan cikal bakal masyarakat terbaik di Madinah (Anshar).
C.
Hikmah Dakwah
1. Tersebarnya
islam kepenjuruh pelosok dunia
Di kehidupan sekarang
ini hampir seluruh Negara yang ada di dunia ini terdapat oraang-orang yang
beragama islam ini disebabkan dakwah
yang menyebar keseluruh dunia melalui berbagai cara positif
Yaitu mulai dari
muballig, media baik media cetak maupun media elektronik, perdagangan, sampai
kepada pernikahan.
2. Terjaganya
keaslian islam
Sekarang ini kita
telah diserang oleh berbagai macam aliran yang dibuat pihak kaum kafir yang membenci
islam untuk menghancurkan islam, melalui dakwah kita dapat menjagah atau
melawan aliran sesat yang menyebar di kalangan islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dakwah
merupakan kewajiban, namun ulama berbedah pendapat tentang hukum dakwah, sebagian
ulama berpendapat bahwah dakwah merupakan farduh kifayah dimana dakwah hanya
diwajibkan kepada orang tertentu saja yaitu yang ahli ilmu dan ahli dibidang
dakwah, sebagian ulama berpendapat bahwa dakwah merupakan fardu ain dimana
dakwah diwajibkan kepada tiap orang. Dalam alquran dan hadis rasulullah banyak
dalil yang menjelaskan wajibnya dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Tafsir,
al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h 31
Muhammad
Jamaluddin al-Qasimi, Tafsir al-Qasimi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h.
104
M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 73
Al Iman
Muhammad ar_Razi, Tafsir Fakhrur ar-Razi, op.cit. 174
Mustafa Dieb
Al-Bugha Muhyidin Mistu, Syarah Kitab Arba’in An-Nawawiyah, (Jakarta:
1998), h. 289
http://www.dakwatuna.com/2009/03/2026/fadhail-keutamaan-dakwah
http://www.wikipedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar