Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Kamis, 31 Mei 2012

Dakwah bil hak


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang mengajak dan memerintahkan umatnya untuk selalu menyebarkan dan menyiarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. Keharusan tetap berlangsungnya dakwah Islamiyah di tengah-tengah masyarakat itu sendiri merupakan realisasi dari salah satu fungsi hidup setiap manusia Muslim, yaitu sebagai penerus risalah Nabi Muhammad saw, secara umum, kaum muslimin mengira bahwa dakwah tugas alim ulama. Hal ini tidak benar. setiap orang yang mengetahui kemungkaran yang terjadi di hadapannya, atau ia mampu mencegahnya, atau ia mampu memunculkan satu hal yang dapat menghentikannya maka ia wajib berusaha menghentikan kemungkaran itu. Jika tugas dakwah ini hanya dibebankan kepada alim ulama. Lalu disebabkan suatu kelemahan keadaan darurat mereka tidak dapat melaksanakan tugasnya, atau mereka belum berusaha memenuhi kewajiban itu, tentu kewajiban itu akan kembali ke pundak setiap muslim untuk menyeru dan mengajak manusia menuju jalan Allah, jalan keselamatan dunia akherat. Disamping fungsi hidup sebagai khalifah di muka bumi ini.  Keharusan tetap berlangsungnya dakwah Islamiyah yang merupakan tugas sebagai manusia Muslim sudah tercantum dalam kitab suci al-Qur’an, surat al- Imron ayat 104 :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung
B. Rumusan Masalah
·        Pengertian dan Hukum Dakwah
·        Keutamaan Dakwah
·        Hikmah Dakwah


                        









BAB 2
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Hukum Dakwah
      Dakwah menurut bahasa adalah masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan Sedangkan menurut makna syar’i, dakwah adalah seruan kepada orang agar melakukan kebaikan, melakukan kema’rufan dan mencegah kemunkaran. Atau juga dapat didefinisikan yaitu upaya untuk merubah manusia baik perasaan, pemikiran, maupun tingkah lakunyadari jahiliyah ke jalan Islam, atau dari yang sudah Islam menjadi lebih kuat lagi Islamnya.
 Hukum dakwah dalam alquran
      Berdasarkan ayat al-Qur'an, ulama sepakat bahwa hukum dakwah itu secara umum adalah wajib, sedangkan yang menjadi perdebatan adalah apakah kewajiban itu dibebankan kepada individu muslim atau hanya dibebankan kepada kelompok orang saja dari secara keseluruhan, perbedaan pendapat mengenai hukum berdakwah disebabkan perbedaan cara pemahaman ulama terhadap dalil-dalil nakli disamping kenyataan kondisi setiap muslim yang berbeda pengetahuan dan kemampuan. Ayat yang menjadi pokok pangkal pendapat itu adalah surat Ali-Imran ayat 104.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون(آل عمران: ١٠٤)َ  
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar . merekalah orang-orang yang beruntung”.
Pada ayat tersebut terdapat tiga kewajiban yang dihadapi. Yang dua berpusat kepada yang satu. Yang satu ialah mengajak kepada kebaikan. Dan menimbulkan dua tugas. Pertama menyuruh berbuat ma’ruf dan kedua melarang berbuat munkar. Yang baik dua kata kerja yang disuruh oleh Allah kepada manusia yaitu berbuat ma’ruf dan mencegah yang munkar. Di dalam tafsir Jamaluddin al-Qasimi dinyatakan pada surat Ali-Imran ayat 104 memberikan alasan tentang wajib untuk menyeru kepada makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan mewajibkan kepadamu sebagaimana ditetapkan dalam al-Qur'an dan sunnah.
Ahmad Mustafa Al- Maraghi –dalam menafsirkan surat Ali Imran: 104—memebedakan antara الخير dan الْمَعْرُوف. Kataالخير adalah sesuatu yang di dalamnya terkandung kebaikan bagi umat manusia dalam masalah agama (prinsip ajaran agama) dan duniawi. Kata الْمَعْرُوف adalah apa yang dianggap baik oleh oleh syari’at dah akal. Disini Allah SWT., memerintahkan agar melakukan penyempurnaan terhadap selain mereka, yaitu anggota-anggota masyarakatdan menghimbau agar mengikuti perintah-perintah syari’at serta meninggalkan larangan-larangan-Nya, sebagai pengukuhan terhadap mereka untuk memelihara hukum-hukum syari’at dalam rangka memlihara syari;at dan undang-undang. Jadi hendaklah didalam jiwa manusia itu tertanam cinta kepada kebaikan dan berpegang teguh kepada syari’at.
Menurut Imam Khazin sebagaimana yang dikutib oleh Moh. Ali Azis menyatakan bahwa arti mim dalam surat Ali-Imran ayat 104 adalah berfungsi sebagai penjelas (Iil bayan) bukan menunjukkan arti sebagai (littab'iidh), sebab Allah telah mewajibkan dakwah kepada umat Islam sebagaimana firman-Nya ("Kamu sebagian adalah sebaik-baik umat (Ali-Imran: 110), dan karena itu arti yang tepat untuk ayat 104 ayat Ali-Imran di atas adalah hendaklah kamu semua menjadi umat yang selau mengajak kepada kebaikan memerintah yang makruf dan mencegah yang mungkar. Penjelasan Imam Khazin yang menyatakan, bahwa arti mim yang mempunyai fungsi sebagai penjelas, yaitu dakwah adalah kewajiban dan tanggung jawab setiap muslim dan dikhususkan kepada seorang kaum muslim saja, namun siapa yang merasa muslim adalah yang wajib melaksanakan dakwah tergantung atas kemampuannya sendiri.
Menurut M. Quraish Sihab, kata minkum pada ayat 104 surat Ali-Imran menyatakan bahwa ada ulama yang memahami dalam artian sebagian dengan demikian perintah dakwah yang dipesankan oleh ayat itu tidak tertuju kepada setiap orang. Bagi yang memahaminya demikian, maka ayat ini buat mereka yang mengandung dua macam perintah. Perintah pertama kepada seluruh umat Islam untuk membentuk dan menyiapkan suatu kelompok khusus yang bertugas melaksanakan dakwah kepada kebaikan dan makruf serta mencegah kemungkaran. Perintah pertama dalam hal ini bisa jadi suatu lembaga kemasyarakatan yang tugasnya adalah untuk melaksanakan dakwah dan ada kegiatan-kegiatan khusus olehnya untuk melancarkan dakwah. Perintah kedua adalah dakwah yang dilancarkan ini menyangkut kepada dakwah kepada kebaikan dan makruf nahi mungkar.
Keterangan minkum yang menyebabkan dua kewajiban ini hanya memposisikan hukum dakwah wajib hanya mempunyai cakupan yang kecil, yaitu kelompok. Kalau kita kembali kepada persoalan sebelumnya, yang menyatakan bahwa huruf mim dan dalam kata minkum merupakan kewajiban bagi setiap orang muslim yang merupakan penjelas, menurut Quraish Shihab adalah ini merupakan perintah kepada muslim untuk melaksanakan tugas dakwah yang masing-masing sesuai dengan kemampuannya, memang dakwah yang dimaksud adalah dakwah yang sempurna, maka tentu saja tidak semua orang dapat melaksanakannya. Disisi lain, kebutuhan masyarakat dewasa ini, bahkan perang informasi yang demikian pesat dengan sajian nilai-nilai baru sering kali membingungkan, semua itu menuntut adanya kelompok khusus yang menangani dakwah dan membendung informasi yang menyesatkan, karena itu adalah lebih tepat memahami kata minkum pada ayat di atas dalam artian sebagian dari kamu tanpa menuntut kewajiban setiap muslim untuk saling ingat mengingatkan, bukan berdasarkan firman Allah pada surat aI-Ashar yang menilai semua muslim kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh, serta saling mengingatkan tentang kebenaran dan ketabahan.
Dari semua keterangan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa para ahli tafsir menyatakan bahwa kata minkum adalah sebagai penjelas (lil bayan) dan ada yang mengatakan bahwa kata minkum adalah sebagian (littab'iidh), namun sebenarnya keduanya bisa dipakai dalam status hukum dakwah dan tergantung kemana posisi hukum ini diletakkan. Kalau seandainya lil bayan, maka dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim tanpa kecuali sesuai dengan kemampuan mereka, namun kalau berada dalam posisi littab'idah atau sebagian adalah ada kelompok yang bertugas untuk melaksanaka dakwah, maka kedua makna antara lil bayan dan littab 'idah adalah penempatan hukum dakwah sesuai dengan kemampuan umat muslim dalam menegakkan kebenaran, bisa jadi Iil bayan adalah umat muslim yang mempunyai otoritas (kekuasaan).

Menurut Ar-Razi, perkataan minkum mengatakan "seseorang diantara kamu" sesungguhnya (min) menurut Dalalain adalah (pertama) sesungguhnya Allah Ta'ala mewajibkan kepada sekalian seperti yang dikatakan "engkau adalah sebagian ummat. .... ", sedangkan yang kedua adalah dia sesungguhnya tidak berarti tanggung jawab melainkan kewajiban keduanya, menyeru "kepada yang makruf dan mencegah keapada yang mungkar, ada kalanya dengan tangan, atau lisan atau dengan hati - maka ayat ini suatu yang ada pada umat yang menyeru kepada kebaikan memerintahkan yang makruf mencegah yang mungkar.
Fuad Mohm. Facruddin dan Ali al-Syamsi al Nasyar, sebagaimana yang dikutip oleh Salmadanis mengatakan bahwa melaksanakan amar makruj nahi mungkar adalah suatu kewajiban bukan oleh golongan tertentu saja, tetapi juga oleh semua golongan tertentu saja, juga oleh semua golongan umat Islam lainnya. Maka siapapun manusia yang tidak melakukannya hendaklah diluruskan jalan hidupnya dengan melakukan jihad terhadap dirinya yang sifatnya sarna dengan melakukan jihad terhadap orang kafir atau fasik. Kewajiban al-amr bi al-makruf wa al-hahy an al-munkar adalah bagi setiap mukmin sesuai dengan kemampuan mereka, apakah dengan mengangkat senjata atau cara lain.
Dikatakan demikian sangat kuat bahwa kewajiban amar makruf nahi mungkar adalah sebuah tanggung jawab penuh bagi semua umat muslim kepada kepada seorang muslim lainnya, dan dengan melaksanakan kegiatan amar makruf nahi mungkar akan menyebabkan semua lapisan masyarakat akan mampu mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan penuh dengan redha Allah SWT, dengan demikian palaksanaannya juga harus sesuai dengan kapasitas kemampuanya, dan tidak menuntut para individu dalam malaksanakan dakwah diluar kemampuan mereka.
Sedangkan mengenai dakwah, ada dua kata yang berada dalam rangka perintah melaksanakan dakwah yaitu yad'una yakni mengajak dan yang kedua yaitu ya'muru yakni memerintahkan, Menurut Sayyid Qhutub sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab "Perbedaan itu menunjukkan keharusan adanya dua kelompok masyarakat Islam, kelompok pertama yang bertugas mangajak, dan kelompok kedua yang bertugas memerintah dan melarang, maka kedua kelompok itulah yang memilkiki kekuasaan di muka bumi, ajaran illahi bukanlah nasehat, pertunjuk dan penjelasan. Sedangkan kekuasaan memerintah dan melarang agar makruf dapat terwujud dan kemungkaran dapat sirna.
Lebih lanjut M. Natsir mengatakan bahwa kewajiban dakwah merupakan tanggungjawab kaum muslimin dan muslimat. Dan tidak boleh seorang muslim/muslimah pun dapat menghindarkan diri dari padanya. Kemudian Toha Jahya Omar mengungkapkan bahwa hukum dakwah adalah wajib sesuai dengan surat an-Nahl: 125.
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk
Kewajiban dakwah menurut Toha Jahya Omar pada ayat di atas, di dasarkan pada kata-kata ud’u yang diterjemahkan dengan ajaklah adalah fi’il amar. Menurut aturan Ushul Fiqh amar menjadi perintah wajib yang harus dipatuhi selama tidak ada dalil-dalil lain yang memalingkannya dari wajib itu kepada sunat dan lain-lainnya.

2. Hukum Dakwah Dalam Hadis
Selain al-Quran, di dalam hadits juga terdapat perintah atau suruhan untuk melakukan dakwah. Hukum dakwah ini nampaknya juga akan berbeda pada setiap orang tergantung situasi dan kondisi yang dialami orang tersebut dalam pandangan hukum.
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
[رواه مسلم]

 Abu Sa’id Al-Khudry ra. Berkata, Aku Mendengar Rasulullah SAW., bersabda “Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mencegah dengan tangan (kekerasan atau kekuasaan), jika ia tidak sanggup dengan demikian (sebab tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan), maka dengan lidahnya, dan jika tidak mampu (dengan lidahnya) yang demikian itu adalah selemah-lemah iman”. (HR. Muslim).
Dengan demikian berdasarkan hadits tersebut menurut penulis ada dua macam hukum dakwah yaitu hukum secara umum dan hukum secara khusus. Hukum secara umum adalah bahwa pelaksanaan kegiatan dakwah ditetapkan sebagai kewajiban yang hukumnya fardu kifayah. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin semua orang memiliki potensi sebagai muballigh dan dapat melaksanakan dakwah dengan baik. Sedangkan hukum secara khusus adalah ketetapan hukum yang dijatuhkan kepada seseorang yang keluar dari hukum fardu kifayah, disebabkan oleh tingkatan kemampuan dan ketidakmampuan seseorang.
Ada tiga cara dakwah pada hadits tersebut. Pertama mencegah dengan tangan atau dengan kekuasaan atau jabatan yang dimiliki seseorang, yang dengan jabatan atau wewenang yang dimilikinya dia akan didengarkan orang atau orang akan menyeganinya. Kedua dengan cara lisan yaitu berbicara dengan kebenaran yang dilontarkan kepada mereka yang melakukan kemungkaran dan orang ini harus mempunyai mental yang cukup kuat dan dalam melakukan tindakan pencegahan kemungkaran. Ketiga dengan hati, ini merupakan jalan terakhir untuk menasehati orang lain yaitu merupakan selemah-lemah keadaan seseorang, setidak-tidaknya ia masih tetap berkewajiban menolak kemungkaran dengan hatinya kalau ia masih dianggap Allah sebagai orang yang memiliki iman, walaupun iman yang paling lemah, yakni mentalnya tidak sanggup untuk mencegah kemungkaran. Penolakan kemungkaran dengan hati merupakan batas minimal dan benteng tempat penghabisan dari upaya pencegahan kemungkaran.
Menurut penulis pada cara pertama ketika seseorang memiliki power dan kemampuan untuk mengendalikan orang lain pada jalan yang benar maka jatuh hukum wajib baginya yang dilakukan secara konsep kifayah untuk mencegah kemungkaran dengan kekuatannya. Hal ini juga memberi pengertian bahwa wajib bagi orang yang memiliki power untuk berdakwah mencegah kemungkaran dengan kekuatan maupun dengan menggunakan lisan. Akan tetapi jika dia memiliki kekuasaan tetapi tidak dapat mampu mengendalikan kekuasaan tersebut, atau dengan kata lain dia berada dalam kendali orang lain, maka hukum dakwah secara pribadi dan khusus menjadi tidak wajib baginya akan tetapi dapat berubah fungsi menjadi hukum yang lain.
Kemudian pada keadaan yang kedua di mana seseorang dengan keberaniannya mampu mencegah kemungkaran dengan cara lisannya, dengan siap mental menanggung resiko apapun yang akan terjadi karena tindakannya. Maka menurut penulis jatuh hukum sunat padanya untuk mencegah kemungkaran. Artinya, hal ini dapat dipahami bahwa jika seseorang yang tidak mempunyai power tetapi dia memiliki kemampuan mental untuk berdakwah dan dia mengetahui bahwa resiko akan terjadi sebagai akibat dari tindakannya maka sunat baginya berdakwah.
Selanjutnya pada keadaan yang ketiga di mana seseorang tidak memiliki kemampuan, dan juga tidak siap secara mental untuk mencegah kemungkaran maka jatuh hukum mubah baginya untuk tidak mencegah kemungkaran asalkan di dalam jiwanya berkata bahwa dia tidak setuju dengan kemungkaran yang dilihatnya. Dengan demikian hal ini juga dipahami bahwa ketiak seseorang tidak memiliki kekuasaan, kemampuan secara lisan dan tidak memiliki kesiapan mental maka jatuhlah hukum mubah untuk tidak berdakwah baginya. Meskipun para ulama berpendapat bahwa pada dasarnya hukum dakwah secara umum adalah fardu kifayah, namun demikian menurut penulis hukum dakwah seperti yang diuraikan di atas mestilah dikembalikan pada hukum fardu ’ain agar setiap orang berbuat dan menyampaikan kebenaran.
Hadis di atas juga ditegaskan oleh hadis lain bahwa Khuzaifah ra. Nabi SAW. Bersabda "Demi zat yang menguasai diriku, haruslah kamu menegakkan kepada kebaikan dan haruslah kamu mencegah perbuatan yang mungkar, atau Allah akan menurunkan siksa kepadamu, kemudian kamu berdo'a kepada-Nya dimana Allah tidak akan mengabulkan permohonanmu (HR. Turmudzi).
Hadits di atas tidak menjelaskan hukum dakwah secara jelas, akan tetapi perintah untuk mengerjakan dakwah jelas dikatakan. Hal ini juga membuktikan bahwa menurut penulis hukum dakwah itu sangat berkaitan sekali dengan kondisi dan keadaan seseorang.
Disebutkan pulah Sebagaimana dalam sabda rasulullah
عن ابن جرير عن جرير قال  : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول " ما من رجل يكون في قوم يعمل فيهم بالمعاصي يقدرون على أن يغيروا عليه فلا يغيروا إلا أصابهم الله بعذاب من قبل أن يموتوا " . قال الشيخ الألباني : حسن
Dari jarir r.a ia berkata ”aku mendengar rasulullah SAW .bersabda,”tidaklah seseorang berada di suatu kaum dan ia berbuat maksiat, tetapi mereka tidak mengubahnya padahal mereka mampu,kecuali allah akan menimpakan bencana kepada mereka sebelum mereka mati”.(Hr Abu Dawud,Ibnu Majah,Ibnu hibban,al asbani-attargib).
Dari hadis ini tidaklah menyebutkan secara langsung perintah dan wajibnya berdakwah, namun jika kita teliti lebi dalam lagi maka kita menemukan sebuah akibat dari tidak terlaksananya dakwah dari hadis di atas, yang menunjukan wajibnya dakwah.
B.    Keutamaan Dakwah
1.     Dakwah menjadi utama karena ia adalah muhimmatur rusul (tugas para nabi dan rasul).
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah (Hai Muhammad): “Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah (mengajak kamu)  kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf (12): 108).

2.     Dakwah menjadi utama karena ia adalah ahsanul a’mal (sebaik-baik amal).
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushilat (41): 33).

3.     Dakwah menjadi utama karena dengan berdakwah seorang muslim meraih pahala yang teramat besar (al-hushul ‘alal ajri al-azhim).
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِعَلِيٍ فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
رواه البخاري ومسلم وأحمد
Sabda Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah, sesungguhnya Allah swt menunjuki seseorang dengan (dakwah)mu maka itu lebih bagimu dari unta merah.” (Bukhari, Muslim & Ahmad).
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani ketika menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa: “Unta merah adalah kendaraan yang sangat dibanggakan oleh orang Arab saat itu.”
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ ».

“Siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya dicontoh (orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya tanpa dikurangi sedikit pun pahala mereka yang mencontoh nya. Dan barangsiapa mencontohkan perbuatan buruk, lalu perbuatan itu dilakukan oleh orang lain, maka akan ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang menirunya tanpa mengurangi mereka yang menirunya. (HR. Muslim dari Jarir bin Abdillah ra).


4.     Dakwah menjadi utama karena dapat menyelamatkan da’i dari azab Allah swt dan pertanggungjawaban di akhirat.
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ
أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا
خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
)رواه البخاري)

Perumpamaan orang yang tegak di atas hukum-hukum Allah dengan orang yang melanggarnya seperti kaum yang menempati posisinya di atas bahtera, ada sebagian yang mendapatkan tempat di atas, dan ada sebagian yang mendapat tempat di bawah. Mereka yang berada di bawah jika akan mengambil air harus melewati orang yang berada di atas, lalu mereka berkata: “Jika kita melubangi bagian bawah milik kita dan tidak mengganggu mereka..” Kalau mereka membiarkan keinginan orang yang akan melubangi, mereka semua celaka, dan jika mereka menahan tangan mereka maka selamatlah semuanya. (HR. Bukhari). 

Dari Hudzaifah bin Yaman ra dari Nabi Muhammad Saw beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi, beliau berkata: hadits ini hasan).


5.     Dakwah menjadi utama karena ia adalah jalan menuju khairu ummah (terbentuknya umat yang terbaik).
 Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, dimana  Rasulullah saw berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik sepanjang zaman dengan dakwah beliau. Dakwah secara umum dan pembinaan kader secara khusus adalah jalan satu-satunya menuju terbentuknya khairu ummah yang kita idam-idamkan. Rasulullah saw melakukan tarbiyah mencetak kader-kader dakwah di kalangan para sahabat beliau di rumah Arqam bin Abil Arqam ra, beliau juga mengutus Mush’ab bin Umair ra ke Madinah untuk membentuk basis dan cikal bakal masyarakat terbaik di Madinah (Anshar).







C.     Hikmah Dakwah

1.     Tersebarnya islam kepenjuruh pelosok dunia
Di kehidupan sekarang ini hampir seluruh Negara yang ada di dunia ini terdapat oraang-orang yang beragama islam  ini disebabkan dakwah yang menyebar keseluruh dunia melalui berbagai cara positif
Yaitu mulai dari muballig, media baik media cetak maupun media elektronik, perdagangan, sampai kepada pernikahan.
2.     Terjaganya keaslian  islam
Sekarang ini kita telah diserang oleh berbagai macam aliran yang dibuat pihak kaum kafir yang membenci islam untuk menghancurkan islam, melalui dakwah kita dapat menjagah atau melawan aliran sesat yang menyebar di kalangan islam.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dakwah merupakan kewajiban, namun ulama berbedah pendapat tentang hukum dakwah, sebagian ulama berpendapat bahwah dakwah merupakan farduh kifayah dimana dakwah hanya diwajibkan kepada orang tertentu saja yaitu yang ahli ilmu dan ahli dibidang dakwah, sebagian ulama berpendapat bahwa dakwah merupakan fardu ain dimana dakwah diwajibkan kepada tiap orang. Dalam alquran dan hadis rasulullah banyak dalil yang menjelaskan wajibnya dakwah.











DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Tafsir, al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h 31
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Tafsir al-Qasimi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h. 104
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 73
Al Iman Muhammad ar_Razi, Tafsir Fakhrur ar-Razi, op.cit. 174
Mustafa Dieb Al-Bugha Muhyidin Mistu, Syarah Kitab Arba’in An-Nawawiyah, (Jakarta: 1998), h. 289
http://www.dakwatuna.com/2009/03/2026/fadhail-keutamaan-dakwah
http://www.wikipedia.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar