Adanya Israiliyat dalam
kitab-kitab tafsir Al-Quran merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri.
Sejak periode tadwin[1]
sampai sekarang berpuluh-puluh macam kitab tafsir telah dihasilkan oleh
para pengabdi Al-Quran. Namun, sebagian besar di dalamnya ada yang dikenal
dengan istilah “Israiliyat”, yang dianggap sebagai unsur-unsur Yahudi
dan Kristen dalam penafsiran Al-Quran. Harus diakui bahwa intensitas pemuatan Israiliyat
dalam kitab-kitab tafsir tersebut tidaklah sama sesuai dengan sikap atau
pandangan penulisnya terhadap masalah itu. Dalam tafsir Al-Manar misalnya,
penulisnya sangat getol menghantam keberadaan Israiliyat dalam kitab-kitab
tafsir terdahulu, ternyata di dalamnya terdapat pula sumber-sumber Israiliyat
dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran.[2]
Kenyataan ini mengandung suatu pertanyaan pokok yang mendasar, apa sebenarnya
pengertian (definisi) Israiliyat sebagai suatu terminologi dalam ilmu tafsir
Al-Quran.
Seiring dengan
pertanyaan pokok tersebut, tersirat pula pertanyaan lain yang memiliki hubungan
sangat erat, yaitu, bagaimana sikap yang sebenarnya terhadap Israiliyat
tersebut dalam kerangka penafsiran Al-Quran. Sebenarnya Rasulullah SAW. telah
memberikan semacam pegangan dalam menjawab pertanyaan terakhir ini. Antara
lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang
bersumber dan Abu Hurairah r.a. berkaitan dengan tafsir ayat 136 surat
Al-Baqarah. Ketika itu, sahabat tersebut memberitahukan kepada Rasulullah bahwa
Ahli Kitab membaca kitab Taurat yang berbahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan
bahasa Arab untuk konsumsi umat Islam. Menanggapi berita ini, Rasulullah SAW.
lalu bersabda :[3]
لاتصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم وقولوا امنا بالله وماأنزل
الينا
Sikap tidak
membenarkan dan tidak mendustakan terhadap apa saja yang diterima dan para Ahli
Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebagaimana yang ditegaskan oleh hadis tersebut di
atas ternyata mengundang beberapa pertanyaan. Antara lain, apakah sikap itu
berlaku untuk semua berita atau hanya untuk berita-berita tertentu saja?
Bagaimana berita-berita dan mereka yang ada konfirmasinya dari sumber islami?
Apakah harus bersikap “tawaqquf’ seperti itu? Atau, bagaimana
mengaplikasikan isi dari hadis tersebut, dalam menafsirkan Al-Quran yang ada
sumbernya dari Ahli Kitab.
A. Rumusan
masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Israiliyat dan apa yang melatar
belakangi masuknya Israiliyat?
2. Bagaimana
hukum meriwayatkan Israiliyat ?
3. Bagaimana
pendapat ulama tentang israilliyat dalam tafsir ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
israiliyat
Kata Israiliyat
secara terminologi merupakan bentuk jamak dari kata israilliyah, yaitu
merupakan suatu nama yang di nisbahkan kepada israil yang artinya hamba tuhan.
Kata tersebut berasal dari bahasa ibrani. Kaitannya dengan israilliyat, maka
yang di maksud dengan israil adalah Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim as. Hal
ini berdasarkan sebuah hadis riwayat Abu Daud At-Tayasili dari Abdullah bin
Abbas ra. Yang artinya: “sekelompok orang yahudi telah datang kepada nabi , lalu nabi bertanya kepada
mereka : tahuka anda sekalian bahwa sesungguhnya israil itu adalah nabi ya’kub
? mereka menjawab, benar ! lalu nabi berdoa: Ya Tuhanku ! saksikanlah pengakuan
mereka ini”.[4]
Sedangkan secara etimologi
israiliyat, menurut Az-Zahabi ada dua pengertian :
1. Kisah
dan dongeng kuno yang menyusup ke dalam tafsir dan hadis, yang sumber
periwayatannya kembali kepada sumber yahudi, nasrani atau yang lain.
2. Sebagian
ahli tafsir hadis memperluas memperluas lagi pengertian israiliyat ini sehingga
meliputi cerita–cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh islam
kedalam tafsir dan hadis, yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam
sumber-sumber lama.[5]
Israiliyat pada mulanya yang dimaksud dengan israiliyat
hanyalah menunjukkan riwayat yang bersumber dari kaum yahudi, namun pada
akhirnya ulama’ ilmu tafsir dan ahli hadis menggunakan istilah tersebut dalam
arti yang lebi luas. Yaitu, israiliyat adalah seluruh riwayat yang bersumber
dari orang yahudi dan nasrani serta selain dari keduanya yang masuk dalam
tafsir dan hadis. Ada pula ulama tafsir dan hadis yg memberi makna israiliyat
sebagai cerita yang bersumber dari musuh-musuh islam baik yahudi, nasrani,
ataupun lainnya. muhammad Husain Az-Zahabi membagi israiliyat kepada dua bagian
.pertama, israiliyat sebagai kisah dan dongeng kuno yang menyusuf kedalam
tafsir dan hadis yang asal periwayatannya kembali kepada sumber nasrani ,yahudi,
atau yang selainnya. Kedua, kisah dan dongeng yang sengaja yang diselundupkan
oleh musuh-musuh islam kedalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak dijumpai
dasarnya dalam sumber lama. Kisah ini sengaja diselundupkan dengan tujuan
merusak aqidah kaum muslimin.[6]
B. Masuknya
Israiliyat dalam tafsir al-quran
Term israiliyat dalam tafsir
Al-Quran erat sekali hubungannya dengan masyarakat Arab jahiliyah. Di antara
penduduk arab itu terdapat masyarakat yahudi yang pertama kali memasuki jazirah
Arabia karena adanya desakan dan siksaan dari Titus, seorang panglima Romawi,
sekitar tahun 70 masehi.
Disamping itu, pedagang arab
jahiliyah banyak melakukan perjalanan dagang (ar-rihlah ) pada musim dingin (ke
negeri yaman ) dan pada musim panas (ke negeri syam. Di kedua tempat tersebut
banyak penduduk yang terdiri dari ahli kitab. Pertemuan antara pedangang arab jahiliyah
dengan Ahli kitab ini menjadikan pendorong masuknya kisah-kisah yahudi kedalam
bangsa arab.
Selanjutnya pada waktu nabi
hijrah dari mekah ke madinah, didapatinya kontak dagang mereka masih berjalan
lancar, bahkan dimadina itu sendiri banyak kelompok yahudi yang tinggal disana,
seperti kelompok Bani Nadhir, Bani Qoinuqa’,dan Bani quraizhah. Dari
kelompok-kelompok mereka ini ada yang masuk islam, bahkan termasuk dari
kalangan pemimpin mereka yang pandai.
Pada periode ini ada dua
kemungkinan berkembangnya bibit israiliyat, yaitu kontak langsung kaum muslimin
dengan orang-orang yahudi ahli kitab, dan dari kalangnan pimpinan yahudi
sendiri yang masuk islam. Indikasi bakal masuknya israilliyat ini di tandai
dengna adanya suatu majlis pengajian kitab-kitab agama serta ulasan-ulasannya
yang di sebut dengan midras. Pengajian-pengajian ini diadakan oleh
pendeta-pendeta yahudi. Dan bahkan ada suatu riwayat yang menyatakan bahwa nabi
perna melihat umar bin khattab yang baru saja keluar dari midras, lalu nabi menegurnya,
“apakah engkau ragu terhadap ajaran islam, wahai Ibnu Khattab ?Lalu Umar
menjawab “demi Allah yang berkuasa atas diriku, aku benar-benar telah datang
ajaran itu dalam keadaan putih bersih.[7]
Kisah-kisah israiliyat, ini
sebagian besar diriwayatkan dari empat orang; Abdullah bin Salam, Ka’ab
Al-Akhbar, Wahab bin Munabbih danAbdul Malik bin Abdul Azis bin Juraij. Para
ulama berbeda pendapat dalam mengakui dan mempercayai Ahli Kitab tersebut. Ada
yang menolak, Ada pula yang menerimanya. Perbedaan pendapat paling sengit ialah
tentang pribadi Ka’ab bin Al-Ahbar. Sedangkan Abdullahbin Salam adalah orang
yang paling pandai dan paling tinggi kedudukannya. Bukhari dan ahli hadis
lainnya mempercayai dan mengambilnya, disamping itu Disamping itu dia bersi
dari tuduhan mengenai hal-hal yang buruk seperti yang di tuduhkan kepada Ka’ab
Al-Ahbar dan wahhab bin Munabbih.[8]
Dari uraian di atas, dapat
dipahami bahwa masuknya israilliyat ke dalam tafsir Alquran sudah ada semenjak
zaman sahabat. Hal ini dimungkinkan, karena adanya sepuluh sahabat terkemukah
dalam bidang tafsir, sebagaiman yang dikemukakan oleh As-Suyuthi dalam
Al-Itqan yang diikuti oleh Hasby As-
Shiddiki.[9]
Dan dianatar sepuluh orang sahabat tersebut adalah Umar bin Khattab, yang perna
mengunjungi midras sebagaimana riwayat di atas. Namun demikian para sahabat
tidak cepat (gegabah) dalam menerimah kisah-kisah israilliyat ini, karena
mereka senantiasa ingat terhadap pesan Rasulullah: “jangnalah kamu benarkan
orang-orang Ahli Kitab, dan janganlah kamu dustakan mereka. Katakanlah olehmu,
kami beriman kepada Allah dan apa-apa yang diturunkan kepada kami, dan juga
apa-apa yang diturunkan kepada kamu”
C. Pandangan
ulama tentang Israilliyat
Ada beberapa ulama memberikan
pendapat tentang pengambilan atau periwayatan israilliyat dalam tafsir Alquran,
di antaranya:
1. Ibnu
Taimiyah
Ibnu Taimiyah, dalam kitabnya “ Muqaddimah fil
Ushuli At-Tafsir” yang dikutip oleh Dr.Husain Al-Zahabi, membagi cerita-cerita
israiliyat kepada tiga bagian, yaitu, cerita-cerita yang dibrnarkan oleh islam,
cerita yang bertentangan dengan islam, cerita-cerita yang islam tidak
membenarkannya, tetapi tidak juga menyalahkannya.[10]
2. Ibnu
Katsir
Ibnu
kasir membagi israilliyat kepada tiga bagian :
Pertama, cerita-cerita yang
sesuai kebenarannya dengan Al-Quran, berarti cerita-cerita ini benar. Dalam hal
ini cukuplah Al-Quran menjadi pegangan. Kalaupun di ambil cerita tersebut
hanyalah bukti adanya saja, bukan untuk dijadikan pegangan dan hujjah.
Kedua, cerita yang
terang-terangan dusta, karena menyalahi ajaran islam. Cerita serupa ini harus
di tinggalkan, karena menurutnya, merusak aqidah kaum muslimin.
Cerita yang
didiamkan, yaitu cerita yang tidak ada keterangan kebenarannya dalam Al-quran,
akan tetapi juga tidak benar bertentangan dengan Al-Quran. Cerita serupa ini
tidak boleh dipercaya dan tidak boleh pula ummat islam mendustakannya. Misalnya
nama-nama Ashabul Kahfi dan jumlahnya. Namun cerita tersebut boleh diriwayatkan
dengan hikayat.[11]
Alasan
ibnu Taimiyah dan ibnu katsir sama yaitu hadis Nabi yang diriwayatkan oleh
Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash yang berbunyi ;
حدثنا أبو عاصم الضحاك بن
مخلد أخبرنا الأوزاعي حدثنا حسان بن عطية عن أبي كبشة عن عبد الله بن عمرو : أن النبي صلى الله عليه و سلم قال
بلغوا عني ولو آية وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج ومن
كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار[12]
Sampaikan
dari ajaranku walaupun satu ayat, dan ceritakanlah hal bani isra’il dan tidak
berdosa, siapa saja yang berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah
menyediakan tempatnya di dalam neraka.
3.
Al-Baqa’i
Pandangan Al-Baqa’i mengenai cerita-cerita israiliyat juga senada dengan
pandangan sebelumnya. Dia membolehkan cerita-cerita tersebut di muat dalam tafsir
Al-quran selama tidak bertentangan dengan ajaran islam. Dan dia mengingatkan
bahwa cerita itu hanya sebagai isti’nas saja, bukan untuk dijadikan dasar
aqidah dan bukan pula di jadikan dasar hukum.
4.
Ibnu Al-‘Arabi
Menurutnya bahwa riwayat bani israil yang boleh
untuk diriwayatkan dan dimuat dalam tafsir Al-quran adalah hanya terbatas pada
cerita mereka yang menyangkut keadaan diri mereka sendiri. Sedangkan riwayat
mereka yang yang menyangkut orang lain masih sangat perlu dipertanyakan dan
membutuhkan penelitian yang lebih cermat.[13]
Dari
pendapat ini dapat dipahami bahwa Ibnu
‘Arabi lebi berhati-hati lagi untuk memasukkan israiliyat dalam tafsir
Al-Quran.
5.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas
Kedua tokoh ini mengatakan bahwa meriwayatkan kisah–kisah
israiliyat boleh. Ternyata keduanya banyak meriwayatkan aqwal ahli kitab 56
dari empat orang yang sudah masuk islam yaitu Ka’ab al Akhbari, Wahab bin
Munabah, Abdullah bin Salam, dan Tamim Al-Dar.[14] Empat
orang ini terkenal tidak membuat cerita–cerita palsu, cerita yang disampaikan
kepada muslim itu benar. Ibnu Mas’un dan Ibnu ‘Abbas mengatakan boleh mengambil
cerita israiliyat, meriwayatkan, serta memuatnya dalam Al-Qur’an berdasarkan
hadis rasul : “Janganlah kalian benarkan orang – orang ahli kitab dan
janganlah kalian (keburu) mendustakannya. Dan hendaklah kalian katakan “kami
beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami serta kami
beriman kepada apa yang diturunkan kepada kalian”.
6.
Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash
Dalam perang Yamruk beliau menemukan beberapa kitab
Yahudi dan Nasrani lalu dipelajari. Setelah
dipahaminya dari kitab-kitab tersebut kemudian diceritakan kepada saudara–saudara
muslim
dengan berdasarkan hadis diatas. Tujuan beliau menceritakan tersebut bukan untuk dasar
i’tiqad dan bukan dasar hukum tetapi hanya
sekedar istisyad.
Dari enam kelompok orang tersebut hanya Ibnu al ‘Arabi
yang sangat berhati-hati dalam mengambil dan memasukkan israiliyat dalam
tafsir al qur’an.
D. Tokoh–Tokoh Israiliyat
Kisah-kisah
Israiliyat dalam tafsir Alqur’an,berkembangnya tidak terlepas dari adanya tokoh-tokoh Yahudi
dan Nashrani yang sudah masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Akhbari,
Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Al-Aziz bin
Juraij ( Ibnu Juraij) Untuk lebih jelasnya tentang para tokoh
tersebut dapat dilihat pada urain berikut ini:
a.
Abdullah Ibnu Salam
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf
Abdulah Ibn Salam Ibn Harits Al-Israil Al-Anshari. Semula ia bernama “Al
Hashin” yang diubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah ketika ia menyatakan
keislamannya sesaat sesudah Rasulullah tiba di Madinah dalam peristiwa hijrah.
Statusnya cukup tinggi di mata
Rasulullah. Ada dua ayat AlQuran yang diturunkan berkenaan dengan dirinya.[15]
Dia termasuk di antara para sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga oleh
Rasulullah. Dalam perjuangan menegakkan Islam, dia termasuk mujahid di Perang
Badar dan ikut menyaksikan penyerahan Bait Al-Maqdis ke tangan kaum
Muslimin bersama Umar ibn Khathab. Pada waktu Khalifah Utsman Ibn Affan
dikepung oleh kaum pemberontak, dia ke luar menemui mereka atas izin Khalifah
untuk membubarkannya, tetapi nasihat-nasihatnya tidak didengar mereka, malah
dia diancam mau dibunuh. Dia meninggal di Madinah pada tahun 43 H.
Sebagai seorang sahabat Rasulullah,
Abdullah Ibn Salam juga banyak meriwayatkan hadis dari beliau. Hadis-hadis
tersebut diriwayatkan darinya oleh kedua putranya yaitu Yusuf dan Muhammad,
‘Auf Ibn Malik, Abu Hurairah, Abu Bardah Ibn Musa, ‘Atha Ibnu Yasar, dan
lain-lain. Imam Al-Bukhari juga memasukkan beberapa buah hadis yang
diriwayatkannya dan Rasulullah dalam Jami’ Shahih-nya.
Dan segi ‘adalah-nya, kalangan
ahli hadis dan tafsir tidak ada yang meragukan. Ketinggian ilmu pengetahuannya
diakui sebagai seorang yang paling ‘alim di kalangan bangsa Yahudi pada
masa sebelum masuk Islam dan sesudah masuk Islam. Dalam pandangan Mu’adz Ibn
Jabal, ia termasuk salah seorang dan empat orang sahabat yang mempunyai
otoritas di bidang ilmu dan iman. Kitab-kitab tafsir banyak memuat
riwayat-riwayat yang disandarkan kepadanya; di antaranya Tafsir Ath Thabari.
Meskipun demikian, dimungkinkan pula bahwa di antara riwayat tersebut ada
yang tidak mempunyai sanad yang benar kepadanya.Oleh sebab itu, menurut Al-Zahabi,
dapat saja ada di antara riwayat-riwayat itu yang tidak bisa diterima.
b.
Ka’ab Al-Akhbar
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’ab
Ibn Mani Al-Himyari. Kemudian beliau terkenal dengan gelar Ka’ab Al Akhbar,
karena kedalaman ilmu pengetahuannya. Dia berasal dan Yahudi Yaman, dan
keluarga Zi Ra’in, dan ada yang mengatakan dari Zi Kila’. Sejarah masuk
Islarnnya ada beberapa versi. Menurut Ibn Hajar, dia masuk Islam pada masa
pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khathab, lalu berpindah ke Madinah, ikut dalam
penyerbuan Islam ke Syam, dan akhirnya pindah ke sana pada masa pemerintahan
Khalifah Utsman Ibnu Affan, sampai meninggal pada tahun 32 H di Horns dalam
usia 140 tahun.
Ibn Sa’ad memasukkan Ka’ab Al-Akhbar
dalam tingkatan pertama dan tabi’in di Syam. Sebagai seorang tabi’in, ia banyak
meriwayatkan hadis-hadis dan Rasulullah secara mursal, dan Umar,
Shuhaib, dan Aisyah. Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan oleh Mu’awiyah, Abu
Hurairah, Ibnu Abbas, Atha bin Rabah, dan lain-lain.
Dan segi kedalaman ilmunya, beberapa
orang sahabat seperti Abu Darda dan Mu’awiyah mengakuinya. Malah menurut
Abdullah Ibn Zubair, dia mempunyai semacam prediksi yang tepat. Di samping itu,
sekalipun telah masuk Islam, beliau masih tetap membaca dan mempelajari Taurat
dan sumber-sumber Ahli Kitab lainnya.
Adapun dan segi’ adalah, tokoh
ini termasuk seorang yang kontroversi. Namun, Al-Zahabi tidak sependapat, malah
menolak segala alasan sebagian orang yang menuduh Ka’ab sebagai pendusta, malah
meragukan keislamannya. Dia beralasan, antara lain bahwa para sahabat seperti
Ibn Abbas dan Abu Hurairah, mustahil mereka mengambil riwayat dan seorang Ka’ab
yang pendusta. Malah para muhadditsin seperti Imam Muslim juga
memasukkan beberapa hadis dan Ka’ab ke dalam kitab Shahih-nya. Begitu
pula yang lainnya seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai juga melakukan hal
yang sama dalam kitab Sunan mereka. Sehingga menurut Al-Zahabi, tentu
saja mereka menganggap Ka’ab sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah. Di
lain pihak, Ahmad Amin dan Rasyid Ridha menuduh Ka’ab sebagai seorang pendusta,
tidak dapat diterima riwayatnya, malah berbahaya bagi Islam. Mereka beralasan,
karena ada sementara muhadditsin yang sama sekali tidak menerima riwayatnya
seperti lbn Qutaibah dan An-Nawawi, sedangkan Ath-Thabari hanya sedikit
meriwayatkan darinya, malah dia dituduh terlibat dalam pembunuhan Khalifah
beberapa han sebelum terbunuh. Akan tetapi, alasan Amin dan Rasyid Ridha yang
memperkuat pendapat Ibnu Taimiyah sebelumnya, dibantah tegas oleh Adz-Dzahabi
yang tetap beranggapan bahwa Ka’ab A1-Akhbar adalah seorang yang cukup ‘adil
dan tsiqah. Meskipun demikian, tokoh Ka’ab Al-Akhbar tetap dianggap
sebagai tokoh Israiliyat yang kontroversial.
c.
Wahab Ibn Munabbih
Nama lengkapnya adalah Abu Abdilah
Wahab Ibn Munabbih Ibn Sij Ibn Zinas Al-Yamani Al-Sha’ani. Lahir pada tahun 34
H dari keluarga keturunan Persia yang migrasi ke negeri Yaman, dan meninggal
pada tahun 110 H. Ayahnya, Munabbih Ibn Sij masuk Islam pada masa Rasulullah
SAW.
Wahab termasuk di antara tokoh ulama
pada masa tabi’in. Sebagai seorang muhaddits, dia banyak meriwayatkan
hadis-hadis dan Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Hudry, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn ‘Amr
Ibn Al-’Ash, Jabir, Anas dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan
kembali oleh kedua orang anaknya yaitu Abdullah dan Abd Al-Rahman, ‘Amr Ibn
Dinar dan lain-lain. Imam Bukhari, Muslim, Nasal, Tirmidzi, dan Abu Dawud
memasukkan hadis-hadis yang diriwayatkan Wahab ke dalam kitab kumpulan hadis
mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka menilainya sebagai seorang yang ‘adil
dan tsiqah.
Sebagaimana Ka’ab, Wahab juga mendapat
sorotan tajam dan sementara ahli yang menuduhnya sebagai seorang pendusta dan
berbahaya bagi Islam dengan cerita-cerita Israiliyat yang banyak
dikemukakannya. Akan tetapi, Al-Zahabi juga membela Wahab, meskipun dia juga
mengakui ketokohan Wahab di bidang cerita-cerita Israiliyat. Namun, dia
menganggap pribadi Wahab sebagai sosok yang ‘adil dan tsiqah sebagaimana
penilaian mayoritas (jumhur) muhaddis|in, seperti disebut di atas. Di
samping itu, diakui pula kealiman dan kesufian hidupnya. Dengan mikian, dia
juga seorang tokoh yang kontroversial.
d.
Abd Al-Malik Ibn A1d Al-’Aziz Ibn
Juraij
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid
(Abu A1-Khalid) Abd Al-Malik Ibn Abd Aziz Ibn Juraiz Al-Amawi. Dia berasal dan
bangsa Romawi yang beragama Kristen. Lahir pada tahun 80 H di Mekah dan
meninggal pada tahun 150 H. Dia terbilang salah satu tokoh di Mekah dan sebagai
pelopor penulisan kitab di daerah Hijaz. Sebagai seorang Muhaddis, dia banyak
meriwayatkan hadis dan ayahnya, Atha Ibn Abi Rabah Zaid Abi Aslam, Az-Zuhri,
dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan kembali oleh kedua orang
anaknya yakni, Abd Al-Aziz dan Muhammad, Al-Auzai’ Al-Laits, Yahya Ibn Hanbal
yang menilai hadis-hadisnya banyak yang maudhu’. Kelemahannya, menurut
penilaian Imam Malik, dia tidak kritis dalam mengambil riwayatnya dari
seseorang, sehingga Al-Dzahabi memperingatkan para mufasirin supaya
menghindari masuknya riwayat Ibn Juraij ke dalam karyanya, karena dianggap
sebagai suatu karya yang lemah dan tidak mu’tamad.
Demikian, telah diungkapkan identitas
beberapa tokoh Israiliyat yang terbesar. Meskipun ada di antara mereka yang
dapat dianggap ‘adil dan s|iqah, untuk dapat menerima riwayat
yang disandarkan kepadanya, minimal ada dua pengkajian yang harus didahulukan. Pertama,
dan segi sanad; dan kedua segi matan. Kajian pertama lebih
diutamakan oleh mufasirin. Dalam hal ini, mereka yang disebut terakhir berbeda
sikap penilaian terhadap Israiliyat, seperti akan diuraikan berikut ini
.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian
terdahulu dapat disimpulkan bahwa pengertian Israiliyat di kalangan para
ahli tafsir tidak sama, karena adanya perbedaan tekanan pengertian pada sumber,
materi dan dampak dan Israiliyat itu sendiri. Dan segi sejarah, masuknya
Israiliyat ke dalam kerangka penafsiran Al-Quran adalah dilatar belakangi oleh
situasi dan kondisi pada masa sahabat, baik kultural maupun struktural.
Sedangkan beberapa tokoh terkemuka Israiliyat, jika dilihat dan segi keadilan
dan ke-s|iqah-an mereka, ada di antaranya yang tidak diragukan, ada yang
sangat diragukan di samping ada yang bersifat kontroversial. Berdasarkan
konstelasi di atas, para ahli tafsir tidak sepakat tentang sikap dan
penilaian mereka terhadap Israiliyat. Di antaranya ada yang menolak sama
sekali, dan lebih banyak yang menerima secara selektif.
Keberadaan Israiliyat
dalam kitab-kitab tafsir Al-Quran, sangat menurunkan derajat Al-Quran, karena
di dalamnya bercampur baur yang hak dengan yang batil, yang benar dengan yang
bohong, yang ilmiah dengan dongeng semata. Bahkan kenyataan itu dapat
membahayakan Islam sendiri, dan merugikan dakwah Islam di abad modern ini, di
saat kemajuan ilmu dan teknologi makin pesat. Dengan demikian, perlu diidentifikasi
penelitian ilmiah terhadap segala macam Israiliyat yang ada dalam kitab-kitab
tafsir, dengan mempergunakan kriteria yang disepakati bersama, sehingga AlQuran
dengan tafsirnya dapat dibersihkan dan noda Israiliyat yang ditinggalkannya
selama ini.
[1]
Moch. AdzDzahabi At-Tafsir
Wa Al-Mufassiru>n, Jilid I, (Kairo: Dar Al-Kutub Al Haditsah,
1961), h. 140-141.
[2]
Rasyid Ridha, Tafsir
AlQuran Al-Hakim, Juz II, (cet: IV, Mesir: Dar Al-Manar, 1373),h.
482-83.
[3]
Ibnu Hajar Al
Asqalany, Fath al-Bary, Juz VIII (Kairo: Mathba’ah Ai-Khairiyah,
1325 H.), h. 120.
[4] Ahmad Muhammad Syakir, ‘umdah
Al-Tafsir ‘an al Hafiz Ibnu Al-Kas|ir, jilid 1 (mesir: dar al-ma’arif,1956)
,hlm. 138.
[5] Husain Al-Zahabi, Israiliyat fi
At-tafsi>r wa Al-hadis|, (kairo: majma’ Al-buhuts Al-islamiyah, 1971),hlm.
22
[6]W. Al-Hafidz Ahsin, kamus
ilmu al-quran, ,(cet: 3,pekanbaru, amzah, 2008) hal.125-126
[7] Ahmad bin Hambal, musnad,
jilid III ( Beirut: al-maktab Al-I”lam), hlm. 1987
[8] Manna>’uAl-Qat}a>n, maba>h{is
fi| ulu>m Al-Qur’a>n, terj. Aunur Rafiq El-Mazni: pengantar studi
ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: pustaka Al-kautsar, 2010)h.445
[9] T.M.Hasbi Ash-Shiddieqi,
sejarah dan pengantar ilmu al-quran dan tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang,
1980), h. 227
[10] Al-Zahabi, op.cit. ,h.
68.
[11] Abu Al-Fida’ ismail bin Katsir,
tafsir ibn Al-Katsir (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986),h.5.
[12] Muhammad bin isma>il Abu
Abdulla>hi Al-bkha>ri Al-ja’fi>, Al-ja>mi’ Al-S}ahi>h
Al-Mukhtasar, juz III,(Beirut: AL-yamama, Dar ibnu Al-kas|ir),h.1257.
[13] Ibnu Al-‘Arabi, Ahka>m
Al-Qur’a>n, jilid I (Mesir: Al-Halabi, 1967),h. 123.
[15]
Manna’ Al-Qattan, Mahabis
Fi ‘Lilumi Al Qu’ran (cet: 2, Mesir: Mansyurat Ai’Ashari Al-Hadis, 1973), h. 355.
makasih
BalasHapus