Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Senin, 18 Juni 2012

Israiliyat


Adanya Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir Al-Quran merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Sejak periode tadwin[1] sampai sekarang berpuluh-puluh macam kitab tafsir telah dihasilkan oleh para pengabdi Al-Quran. Namun, sebagian besar di dalamnya ada yang dikenal dengan istilah “Israiliyat”, yang dianggap sebagai unsur-unsur Yahudi dan Kristen dalam penafsiran Al-Quran. Harus diakui bahwa intensitas pemuatan Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir tersebut tidaklah sama sesuai dengan sikap atau pandangan penulisnya terhadap masalah itu. Dalam tafsir Al-Manar misalnya, penulisnya sangat getol menghantam keberadaan Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir terdahulu, ternyata di dalamnya terdapat pula sumber-sumber Israiliyat dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran.[2] Kenyataan ini mengandung suatu pertanyaan pokok yang mendasar, apa sebenarnya pengertian (definisi) Israiliyat sebagai suatu terminologi dalam ilmu tafsir Al-Quran.
Seiring dengan pertanyaan pokok tersebut, tersirat pula pertanyaan lain yang memiliki hubungan sangat erat, yaitu, bagaimana sikap yang sebenarnya terhadap Israiliyat tersebut dalam kerangka penafsiran Al-Quran. Sebenarnya Rasulullah SAW. telah memberikan semacam pegangan dalam menjawab pertanyaan terakhir ini. Antara lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang bersumber dan Abu Hurairah r.a. berkaitan dengan tafsir ayat 136 surat Al-Baqarah. Ketika itu, sahabat tersebut memberitahukan kepada Rasulullah bahwa Ahli Kitab membaca kitab Taurat yang berbahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk konsumsi umat Islam. Menanggapi berita ini, Rasulullah SAW. lalu bersabda :[3]
لاتصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم وقولوا امنا بالله وماأنزل الينا
Sikap tidak membenarkan dan tidak mendustakan terhadap apa saja yang diterima dan para Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebagaimana yang ditegaskan oleh hadis tersebut di atas ternyata mengundang beberapa pertanyaan. Antara lain, apakah sikap itu berlaku untuk semua berita atau hanya untuk berita-berita tertentu saja? Bagaimana berita-berita dan mereka yang ada konfirmasinya dari sumber islami? Apakah harus bersikap “tawaqquf’ seperti itu? Atau, bagaimana mengaplikasikan isi dari hadis tersebut, dalam menafsirkan Al-Quran yang ada sumbernya dari Ahli Kitab.


A.  Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Israiliyat dan apa yang melatar belakangi masuknya Israiliyat?
2.      Bagaimana hukum meriwayatkan Israiliyat ?
3.      Bagaimana pendapat ulama tentang israilliyat dalam tafsir  ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian israiliyat
Kata Israiliyat secara terminologi merupakan bentuk jamak dari kata israilliyah, yaitu merupakan suatu nama yang di nisbahkan kepada israil yang artinya hamba tuhan. Kata tersebut berasal dari bahasa ibrani. Kaitannya dengan israilliyat, maka yang di maksud dengan israil adalah Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim as. Hal ini berdasarkan sebuah hadis riwayat Abu Daud At-Tayasili dari Abdullah bin Abbas ra. Yang artinya: “sekelompok orang yahudi telah datang  kepada nabi , lalu nabi bertanya kepada mereka : tahuka anda sekalian bahwa sesungguhnya israil itu adalah nabi ya’kub ? mereka menjawab, benar ! lalu nabi berdoa: Ya Tuhanku ! saksikanlah pengakuan mereka ini”.[4]
Sedangkan secara etimologi israiliyat, menurut Az-Zahabi ada dua pengertian :
1.      Kisah dan dongeng kuno yang menyusup ke dalam tafsir dan hadis, yang sumber periwayatannya kembali kepada sumber yahudi, nasrani atau yang lain.
2.      Sebagian ahli tafsir hadis memperluas memperluas lagi pengertian israiliyat ini sehingga meliputi cerita–cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh islam kedalam tafsir dan hadis, yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.[5]   
Israiliyat  pada mulanya yang dimaksud dengan israiliyat hanyalah menunjukkan riwayat yang bersumber dari kaum yahudi, namun pada akhirnya ulama’ ilmu tafsir dan ahli hadis menggunakan istilah tersebut dalam arti yang lebi luas. Yaitu, israiliyat adalah seluruh riwayat yang bersumber dari orang yahudi dan nasrani serta selain dari keduanya yang masuk dalam tafsir dan hadis. Ada pula ulama tafsir dan hadis yg memberi makna israiliyat sebagai cerita yang bersumber dari musuh-musuh islam baik yahudi, nasrani, ataupun lainnya. muhammad Husain Az-Zahabi membagi israiliyat kepada dua bagian .pertama, israiliyat sebagai kisah dan dongeng kuno yang menyusuf kedalam tafsir dan hadis yang asal periwayatannya kembali kepada sumber nasrani ,yahudi, atau yang selainnya. Kedua, kisah dan dongeng yang sengaja yang diselundupkan oleh musuh-musuh islam kedalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber lama. Kisah ini sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak aqidah kaum muslimin.[6]
B.   Masuknya Israiliyat dalam tafsir al-quran
Term israiliyat dalam tafsir Al-Quran erat sekali hubungannya dengan masyarakat Arab jahiliyah. Di antara penduduk arab itu terdapat masyarakat yahudi yang pertama kali memasuki jazirah Arabia karena adanya desakan dan siksaan dari Titus, seorang panglima Romawi, sekitar tahun 70 masehi.
Disamping itu, pedagang arab jahiliyah banyak melakukan perjalanan dagang (ar-rihlah ) pada musim dingin (ke negeri yaman ) dan pada musim panas (ke negeri syam. Di kedua tempat tersebut banyak penduduk yang terdiri dari ahli kitab. Pertemuan antara pedangang arab jahiliyah dengan Ahli kitab ini menjadikan pendorong masuknya kisah-kisah yahudi kedalam bangsa arab.
Selanjutnya pada waktu nabi hijrah dari mekah ke madinah, didapatinya kontak dagang mereka masih berjalan lancar, bahkan dimadina itu sendiri banyak kelompok yahudi yang tinggal disana, seperti kelompok Bani Nadhir, Bani Qoinuqa’,dan Bani quraizhah. Dari kelompok-kelompok mereka ini ada yang masuk islam, bahkan termasuk dari kalangan pemimpin mereka yang pandai.
Pada periode ini ada dua kemungkinan berkembangnya bibit israiliyat, yaitu kontak langsung kaum muslimin dengan orang-orang yahudi ahli kitab, dan dari kalangnan pimpinan yahudi sendiri yang masuk islam. Indikasi bakal masuknya israilliyat ini di tandai dengna adanya suatu majlis pengajian kitab-kitab agama serta ulasan-ulasannya yang di sebut dengan midras. Pengajian-pengajian ini diadakan oleh pendeta-pendeta yahudi. Dan bahkan ada suatu riwayat yang menyatakan bahwa nabi perna melihat umar bin khattab yang baru saja keluar dari midras, lalu nabi menegurnya, “apakah engkau ragu terhadap ajaran islam, wahai Ibnu Khattab ?Lalu Umar menjawab “demi Allah yang berkuasa atas diriku, aku benar-benar telah datang ajaran itu dalam keadaan putih bersih.[7]
Kisah-kisah israiliyat, ini sebagian besar diriwayatkan dari empat orang; Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Akhbar, Wahab bin Munabbih danAbdul Malik bin Abdul Azis bin Juraij. Para ulama berbeda pendapat dalam mengakui dan mempercayai Ahli Kitab tersebut. Ada yang menolak, Ada pula yang menerimanya. Perbedaan pendapat paling sengit ialah tentang pribadi Ka’ab bin Al-Ahbar. Sedangkan Abdullahbin Salam adalah orang yang paling pandai dan paling tinggi kedudukannya. Bukhari dan ahli hadis lainnya mempercayai dan mengambilnya, disamping itu Disamping itu dia bersi dari tuduhan mengenai hal-hal yang buruk seperti yang di tuduhkan kepada Ka’ab Al-Ahbar dan wahhab bin Munabbih.[8]  
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa masuknya israilliyat ke dalam tafsir Alquran sudah ada semenjak zaman sahabat. Hal ini dimungkinkan, karena adanya sepuluh sahabat terkemukah dalam bidang tafsir, sebagaiman yang dikemukakan oleh As-Suyuthi dalam Al-Itqan  yang diikuti oleh Hasby As- Shiddiki.[9] Dan dianatar sepuluh orang sahabat tersebut adalah Umar bin Khattab, yang perna mengunjungi midras sebagaimana riwayat di atas. Namun demikian para sahabat tidak cepat (gegabah) dalam menerimah kisah-kisah israilliyat ini, karena mereka senantiasa ingat terhadap pesan Rasulullah: “jangnalah kamu benarkan orang-orang Ahli Kitab, dan janganlah kamu dustakan mereka. Katakanlah olehmu, kami beriman kepada Allah dan apa-apa yang diturunkan kepada kami, dan juga apa-apa yang diturunkan kepada kamu”   
C.   Pandangan ulama tentang Israilliyat
Ada beberapa ulama memberikan pendapat tentang pengambilan atau periwayatan israilliyat dalam tafsir Alquran, di antaranya:
1.      Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah, dalam kitabnya “ Muqaddimah fil Ushuli At-Tafsir” yang dikutip oleh Dr.Husain Al-Zahabi, membagi cerita-cerita israiliyat kepada tiga bagian, yaitu, cerita-cerita yang dibrnarkan oleh islam, cerita yang bertentangan dengan islam, cerita-cerita yang islam tidak membenarkannya, tetapi tidak juga menyalahkannya.[10]
2.      Ibnu Katsir
Ibnu kasir membagi israilliyat kepada tiga bagian :
Pertama, cerita-cerita yang sesuai kebenarannya dengan Al-Quran, berarti cerita-cerita ini benar. Dalam hal ini cukuplah Al-Quran menjadi pegangan. Kalaupun di ambil cerita tersebut hanyalah bukti adanya saja, bukan untuk dijadikan pegangan dan hujjah.
Kedua, cerita yang terang-terangan dusta, karena menyalahi ajaran islam. Cerita serupa ini harus di tinggalkan, karena menurutnya, merusak aqidah kaum muslimin.
Cerita yang didiamkan, yaitu cerita yang tidak ada keterangan kebenarannya dalam Al-quran, akan tetapi juga tidak benar bertentangan dengan Al-Quran. Cerita serupa ini tidak boleh dipercaya dan tidak boleh pula ummat islam mendustakannya. Misalnya nama-nama Ashabul Kahfi dan jumlahnya. Namun cerita tersebut boleh diriwayatkan dengan hikayat.[11]
Alasan ibnu Taimiyah dan ibnu katsir sama yaitu hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash yang berbunyi ;
حدثنا أبو عاصم الضحاك بن مخلد أخبرنا الأوزاعي حدثنا حسان بن عطية عن أبي كبشة عن عبد الله بن عمرو  : أن النبي صلى الله عليه و سلم قال بلغوا عني ولو آية وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار[12]  
Sampaikan dari ajaranku walaupun satu ayat, dan ceritakanlah hal bani isra’il dan tidak berdosa, siapa saja yang berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah menyediakan tempatnya di dalam neraka.
3.      Al-Baqa’i
Pandangan Al-Baqa’i mengenai  cerita-cerita israiliyat juga senada dengan pandangan sebelumnya. Dia membolehkan cerita-cerita tersebut di muat dalam tafsir Al-quran selama tidak bertentangan dengan ajaran islam. Dan dia mengingatkan bahwa cerita itu hanya sebagai isti’nas saja, bukan untuk dijadikan dasar aqidah dan bukan pula di jadikan dasar hukum.
4.      Ibnu Al-‘Arabi
Menurutnya bahwa riwayat bani israil yang boleh untuk diriwayatkan dan dimuat dalam tafsir Al-quran adalah hanya terbatas pada cerita mereka yang menyangkut keadaan diri mereka sendiri. Sedangkan riwayat mereka yang yang menyangkut orang lain masih sangat perlu dipertanyakan dan membutuhkan penelitian yang lebih cermat.[13]
Dari pendapat ini  dapat dipahami bahwa Ibnu ‘Arabi lebi berhati-hati lagi untuk memasukkan israiliyat dalam tafsir Al-Quran.
5.      Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas
Kedua tokoh ini mengatakan bahwa meriwayatkan kisah–kisah israiliyat boleh. Ternyata keduanya banyak meriwayatkan aqwal ahli kitab 56 dari empat orang yang sudah masuk islam yaitu Ka’ab al Akhbari, Wahab bin Munabah, Abdullah bin Salam, dan Tamim Al-Dar.[14] Empat orang ini terkenal tidak membuat cerita–cerita palsu, cerita yang disampaikan kepada muslim itu benar. Ibnu Mas’un dan Ibnu ‘Abbas mengatakan boleh mengambil cerita israiliyat, meriwayatkan, serta memuatnya dalam Al-Qur’an berdasarkan hadis rasul :  “Janganlah kalian benarkan orang – orang ahli kitab dan janganlah kalian (keburu) mendustakannya. Dan hendaklah kalian katakan “kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami serta kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kalian”.
6.      Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash 
Dalam perang Yamruk beliau menemukan beberapa kitab Yahudi dan Nasrani lalu dipelajari. Setelah dipahaminya dari kitab-kitab tersebut kemudian diceritakan kepada saudara–saudara muslim dengan berdasarkan hadis diatas. Tujuan beliau menceritakan tersebut bukan untuk dasar i’tiqad dan bukan dasar hukum tetapi hanya sekedar istisyad.
Dari enam kelompok orang tersebut hanya Ibnu al ‘Arabi yang sangat berhati-hati dalam mengambil dan memasukkan israiliyat dalam tafsir al qur’an.
D.  Tokoh–Tokoh Israiliyat
Kisah-kisah Israiliyat dalam tafsir Alqur’an,berkembangnya tidak terlepas dari adanya tokoh-tokoh Yahudi dan Nashrani yang sudah masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Akhbari, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Al-Aziz bin Juraij ( Ibnu Juraij) Untuk lebih jelasnya tentang para tokoh tersebut dapat dilihat pada urain berikut ini:
a.       Abdullah Ibnu Salam
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Abdulah Ibn Salam Ibn Harits Al-Israil Al-Anshari. Semula ia bernama “Al Hashin” yang diubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah ketika ia menyatakan keislamannya sesaat sesudah Rasulullah tiba di Madinah dalam peristiwa hijrah.
Statusnya cukup tinggi di mata Rasulullah. Ada dua ayat AlQuran yang diturunkan berkenaan dengan dirinya.[15] Dia termasuk di antara para sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga oleh Rasulullah. Dalam perjuangan menegakkan Islam, dia termasuk mujahid di Perang Badar dan ikut menyaksikan penyerahan Bait Al-Maqdis ke tangan kaum Muslimin bersama Umar ibn Khathab. Pada waktu Khalifah Utsman Ibn Affan dikepung oleh kaum pemberontak, dia ke luar menemui mereka atas izin Khalifah untuk membubarkannya, tetapi nasihat-nasihatnya tidak didengar mereka, malah dia diancam mau dibunuh. Dia meninggal di Madinah pada tahun 43 H.
Sebagai seorang sahabat Rasulullah, Abdullah Ibn Salam juga banyak meriwayatkan hadis dari beliau. Hadis-hadis tersebut diriwayatkan darinya oleh kedua putranya yaitu Yusuf dan Muhammad, ‘Auf Ibn Malik, Abu Hurairah, Abu Bardah Ibn Musa, ‘Atha Ibnu Yasar, dan lain-lain. Imam Al-Bukhari juga memasukkan beberapa buah hadis yang diriwayatkannya dan Rasulullah dalam Jami’ Shahih-nya.
Dan segi ‘adalah-nya, kalangan ahli hadis dan tafsir tidak ada yang meragukan. Ketinggian ilmu pengetahuannya diakui sebagai seorang yang paling ‘alim di kalangan bangsa Yahudi pada masa sebelum masuk Islam dan sesudah masuk Islam. Dalam pandangan Mu’adz Ibn Jabal, ia termasuk salah seorang dan empat orang sahabat yang mempunyai otoritas di bidang ilmu dan iman. Kitab-kitab tafsir banyak memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepadanya; di antaranya Tafsir Ath Thabari. Meskipun demikian, dimungkinkan pula bahwa di antara riwayat tersebut ada yang tidak mempunyai sanad yang benar kepadanya.Oleh sebab itu, menurut Al-Zahabi, dapat saja ada di antara riwayat-riwayat itu yang tidak bisa diterima.

b.      Ka’ab Al-Akhbar
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’ab Ibn Mani Al-Himyari. Kemudian beliau terkenal dengan gelar Ka’ab Al Akhbar, karena kedalaman ilmu pengetahuannya. Dia berasal dan Yahudi Yaman, dan keluarga Zi Ra’in, dan ada yang mengatakan dari Zi Kila’. Sejarah masuk Islarnnya ada beberapa versi. Menurut Ibn Hajar, dia masuk Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khathab, lalu berpindah ke Madinah, ikut dalam penyerbuan Islam ke Syam, dan akhirnya pindah ke sana pada masa pemerintahan Khalifah Utsman Ibnu Affan, sampai meninggal pada tahun 32 H di Horns dalam usia 140 tahun.
Ibn Sa’ad memasukkan Ka’ab Al-Akhbar dalam tingkatan pertama dan tabi’in di Syam. Sebagai seorang tabi’in, ia banyak meriwayatkan hadis-hadis dan Rasulullah secara mursal, dan Umar, Shuhaib, dan Aisyah. Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan oleh Mu’awiyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Atha bin Rabah, dan lain-lain.
Dan segi kedalaman ilmunya, beberapa orang sahabat seperti Abu Darda dan Mu’awiyah mengakuinya. Malah menurut Abdullah Ibn Zubair, dia mempunyai semacam prediksi yang tepat. Di samping itu, sekalipun telah masuk Islam, beliau masih tetap membaca dan mempelajari Taurat dan sumber-sumber Ahli Kitab lainnya.
Adapun dan segi’ adalah, tokoh ini termasuk seorang yang kontroversi. Namun, Al-Zahabi tidak sependapat, malah menolak segala alasan sebagian orang yang menuduh Ka’ab sebagai pendusta, malah meragukan keislamannya. Dia beralasan, antara lain bahwa para sahabat seperti Ibn Abbas dan Abu Hurairah, mustahil mereka mengambil riwayat dan seorang Ka’ab yang pendusta. Malah para muhadditsin seperti Imam Muslim juga memasukkan beberapa hadis dan Ka’ab ke dalam kitab Shahih-nya. Begitu pula yang lainnya seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai juga melakukan hal yang sama dalam kitab Sunan mereka. Sehingga menurut Al-Zahabi, tentu saja mereka menganggap Ka’ab sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah. Di lain pihak, Ahmad Amin dan Rasyid Ridha menuduh Ka’ab sebagai seorang pendusta, tidak dapat diterima riwayatnya, malah berbahaya bagi Islam. Mereka beralasan, karena ada sementara muhadditsin yang sama sekali tidak menerima riwayatnya seperti lbn Qutaibah dan An-Nawawi, sedangkan Ath-Thabari hanya sedikit meriwayatkan darinya, malah dia dituduh terlibat dalam pembunuhan Khalifah beberapa han sebelum terbunuh. Akan tetapi, alasan Amin dan Rasyid Ridha yang memperkuat pendapat Ibnu Taimiyah sebelumnya, dibantah tegas oleh Adz-Dzahabi yang tetap beranggapan bahwa Ka’ab A1-Akhbar adalah seorang yang cukup ‘adil dan tsiqah. Meskipun demikian, tokoh Ka’ab Al-Akhbar tetap dianggap sebagai tokoh Israiliyat yang kontroversial.
c.       Wahab Ibn Munabbih
Nama lengkapnya adalah Abu Abdilah Wahab Ibn Munabbih Ibn Sij Ibn Zinas Al-Yamani Al-Sha’ani. Lahir pada tahun 34 H dari keluarga keturunan Persia yang migrasi ke negeri Yaman, dan meninggal pada tahun 110 H. Ayahnya, Munabbih Ibn Sij masuk Islam pada masa Rasulullah SAW.
Wahab termasuk di antara tokoh ulama pada masa tabi’in. Sebagai seorang muhaddits, dia banyak meriwayatkan hadis-hadis dan Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Hudry, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn ‘Amr Ibn Al-’Ash, Jabir, Anas dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan kembali oleh kedua orang anaknya yaitu Abdullah dan Abd Al-Rahman, ‘Amr Ibn Dinar dan lain-lain. Imam Bukhari, Muslim, Nasal, Tirmidzi, dan Abu Dawud memasukkan hadis-hadis yang diriwayatkan Wahab ke dalam kitab kumpulan hadis mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka menilainya sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah.
Sebagaimana Ka’ab, Wahab juga mendapat sorotan tajam dan sementara ahli yang menuduhnya sebagai seorang pendusta dan berbahaya bagi Islam dengan cerita-cerita Israiliyat yang banyak dikemukakannya. Akan tetapi, Al-Zahabi juga membela Wahab, meskipun dia juga mengakui ketokohan Wahab di bidang cerita-cerita Israiliyat. Namun, dia menganggap pribadi Wahab sebagai sosok yang ‘adil dan tsiqah sebagaimana penilaian mayoritas (jumhur) muhaddis|in, seperti disebut di atas. Di samping itu, diakui pula kealiman dan kesufian hidupnya. Dengan mikian, dia juga seorang tokoh yang kontroversial.
d.      Abd Al-Malik Ibn A1d Al-’Aziz Ibn Juraij
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid (Abu A1-Khalid) Abd Al-Malik Ibn Abd Aziz Ibn Juraiz Al-Amawi. Dia berasal dan bangsa Romawi yang beragama Kristen. Lahir pada tahun 80 H di Mekah dan meninggal pada tahun 150 H. Dia terbilang salah satu tokoh di Mekah dan sebagai pelopor penulisan kitab di daerah Hijaz. Sebagai seorang Muhaddis, dia banyak meriwayatkan hadis dan ayahnya, Atha Ibn Abi Rabah Zaid Abi Aslam, Az-Zuhri, dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan kembali oleh kedua orang anaknya yakni, Abd Al-Aziz dan Muhammad, Al-Auzai’ Al-Laits, Yahya Ibn Hanbal yang menilai hadis-hadisnya banyak yang maudhu’. Kelemahannya, menurut penilaian Imam Malik, dia tidak kritis dalam mengambil riwayatnya dari seseorang, sehingga Al-Dzahabi memperingatkan para mufasirin supaya menghindari masuknya riwayat Ibn Juraij ke dalam karyanya, karena dianggap sebagai suatu karya yang lemah dan tidak mu’tamad.
Demikian, telah diungkapkan identitas beberapa tokoh Israiliyat yang terbesar. Meskipun ada di antara mereka yang dapat dianggap ‘adil dan s|iqah, untuk dapat menerima riwayat yang disandarkan kepadanya, minimal ada dua pengkajian yang harus didahulukan. Pertama, dan segi sanad; dan kedua segi matan. Kajian pertama lebih diutamakan oleh mufasirin. Dalam hal ini, mereka yang disebut terakhir berbeda sikap penilaian terhadap Israiliyat, seperti akan diuraikan berikut ini



.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa pengertian Israiliyat di kalangan para ahli tafsir tidak sama, karena adanya perbedaan tekanan pengertian pada sumber, materi dan dampak dan Israiliyat itu sendiri. Dan segi sejarah, masuknya Israiliyat ke dalam kerangka penafsiran Al-Quran adalah dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi pada masa sahabat, baik kultural maupun struktural. Sedangkan beberapa tokoh terkemuka Israiliyat, jika dilihat dan segi keadilan dan ke-s|iqah-an mereka, ada di antaranya yang tidak diragukan, ada yang sangat diragukan di samping ada yang bersifat kontroversial. Berdasarkan konstelasi di atas, para ahli tafsir tidak sepakat tentang sikap dan penilaian mereka terhadap Israiliyat. Di antaranya ada yang menolak sama sekali, dan lebih banyak yang menerima secara selektif.
Keberadaan Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir Al-Quran, sangat menurunkan derajat Al-Quran, karena di dalamnya bercampur baur yang hak dengan yang batil, yang benar dengan yang bohong, yang ilmiah dengan dongeng semata. Bahkan kenyataan itu dapat membahayakan Islam sendiri, dan merugikan dakwah Islam di abad modern ini, di saat kemajuan ilmu dan teknologi makin pesat. Dengan demikian, perlu diidentifikasi penelitian ilmiah terhadap segala macam Israiliyat yang ada dalam kitab-kitab tafsir, dengan mempergunakan kriteria yang disepakati bersama, sehingga AlQuran dengan tafsirnya dapat dibersihkan dan noda Israiliyat yang ditinggalkannya selama ini.



[1] Moch. AdzDzahabi At-Tafsir Wa Al-Mufassiru>n, Jilid I, (Kairo: Dar Al-Kutub Al Haditsah, 1961), h. 140-141.
[2] Rasyid Ridha, Tafsir AlQuran Al-Hakim, Juz II, (cet: IV, Mesir: Dar Al-Manar, 1373),h. 482-83.
[3] Ibnu Hajar Al Asqalany, Fath al-Bary, Juz VIII (Kairo: Mathba’ah Ai-Khairiyah, 1325 H.), h. 120.
[4] Ahmad Muhammad Syakir, ‘umdah Al-Tafsir ‘an al Hafiz Ibnu Al-Kas|ir, jilid 1 (mesir: dar al-ma’arif,1956) ,hlm. 138. 
[5] Husain Al-Zahabi, Israiliyat fi At-tafsi>r wa Al-hadis|, (kairo: majma’ Al-buhuts Al-islamiyah, 1971),hlm. 22
[6]W. Al-Hafidz Ahsin, kamus ilmu al-quran, ,(cet: 3,pekanbaru, amzah, 2008) hal.125-126
[7] Ahmad bin Hambal, musnad, jilid III ( Beirut: al-maktab Al-I”lam), hlm. 1987
[8] Manna>’uAl-Qat}a>n, maba>h{is fi| ulu>m Al-Qur’a>n, terj. Aunur Rafiq El-Mazni: pengantar studi ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: pustaka Al-kautsar, 2010)h.445
[9] T.M.Hasbi Ash-Shiddieqi, sejarah dan pengantar ilmu al-quran dan tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 227
[10] Al-Zahabi, op.cit. ,h. 68.
[11] Abu Al-Fida’ ismail bin Katsir, tafsir ibn Al-Katsir (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986),h.5.
[12] Muhammad bin isma>il Abu Abdulla>hi Al-bkha>ri Al-ja’fi>, Al-ja>mi’ Al-S}ahi>h Al-Mukhtasar, juz III,(Beirut: AL-yamama, Dar ibnu Al-kas|ir),h.1257.
[13] Ibnu Al-‘Arabi, Ahka>m Al-Qur’a>n, jilid I (Mesir: Al-Halabi, 1967),h. 123.
[14] Syadali Ahmad ,Ulumul Qur’an, jilid. I., (Bandung:cetakan I., 1997), h.  111

[15] Manna’ Al-Qattan,  Mahabis Fi ‘Lilumi Al Qu’ran (cet: 2, Mesir:  Mansyurat Ai’Ashari Al-Hadis, 1973), h. 355.

1 komentar: