PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Disadari atau tidak, ternyata tidak sedikit orang yang hancur luluh
keimanannya hanya karena ketidakmampuannya menghadapi ujian dalam hidup. Salah
satu penyebabnya karena salah dalam memahami makna ujian dan salah pula dalam
menyikapinya. Kesalahan seseorang dalam memaknai dan menyikapi ujian akibatnya
bisa sangat fatal terhadap keimanannya.
Bagi seorang mu’min tentu meyakini bahwa, segala sesuatu hanya akan terjadi
di dunia ini karena Allah, sehingga segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan
ini terutama yang tidak kita inginkan harusnya menjadi bahan “muhasabah”
(introspeksi) atau “tazkirah” (peringatan) apa yang sebenarnya sedang Allah
rencanakan untuk kita.
Ujian adalah sesuatu yang mutlak akan dialami oleh manusia dalam
menjalani kehidupannya, baik seseorang itu yang kafir maupun mu'min. Jika hal
ini datang kepada orang kafir maka tidak lagi disebut ujian,tetapi pasti itu
adalah azab. Allah SWT berfirman: (QS. As Sajdah, 32 : 21).
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ
مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
ÇËÊÈ
terjemah:
“dan Sesungguhnya Kami
merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang
lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Namun, jika menimpa
orang yang mu'min, itu adalah bentuk kasih-sayang Allah SWT. Dalam sebuah
hadits Rasulullah Saw pernah menyatakan, "Jika Allah sudah mencintai suatu
kaum maka Allah SWT akan memberikan bala, ujian atau cobaan".
B. Rumusan Masalah
Dengan
merujuk pada latar belakang di atas, pemakalah dapat meyusun rumusan masalah sebagaimana
berikut.
1.
bagaimana penjelasan makna ayat Q.S. al-Baqarah//2: 155 ?
2.
Bagaimana pandangan Mufassir dalam memahami ayat Q.S. al-Baqarah//2: 155 ?
3.
apakah tujuan ujian bagi orang beriman ?
BAB II
PEMBAHASAN
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَÇÊÎÎÈ
Terjemahnya:
Dan sungguh akan Kami berikan
cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
A. Makna Kosakata
1. وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ Berasal dari kata بلا ,يبلو berarti ujian atau cobaan. kata ini digunakan
untuk beberapa makna, antara lain: mengetahui, membongkar, dan menguji.
ketiganya bila dikorelasikan bermakna bahwa ujian adalah membongkar sikap atau
apa yang dikandung oleh seseorang (misalnya, pengetahuan ), guna mengetahui
kualitas yang dibongkar itu.[1]
pengertian yang lain ia berasal dari huruf ب, ل, و(بَلو
menjadi بلا yang berarti اختَبره , امتحنة
yakni “menguji, mencoba, atau mentest.”[2] .term-term al-bala>’ dengan segala bentuk
derivasinya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 38 kali.[3]
2. الْخَوْفِ
3. وَالْجُوعِ
4. وَنَقْصٍ
5. مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ
6. الْخَوْف adalah isim mas}dar yang bentuk Fi’il Ma>dhi>-nya خافَ . dalam kamus
Al-Muhit} secara jelas disebutkan makna kata khauf yaitu pembunuhan dengan mengambil contoh ayat Q.S. al-Baqarah//2: 155
7. بَشِّر fi’il
amar yang berasal dari بشر dimana didalam kitab Maqa>yis
Al-Lugah disebut [4]ظاهِرُ جِلْد الإنسان jelasnya kulit manusia maksudnya
karena kulitnya yang terlihat
jelas tanpa terhalang oleh rambut, berbeda dengan hewan yang tertutup oleh
rambut ataupun bulu. Maka tidak mengherankan pula ketika menjelaskan makna kata
kerja absyara dan basy-syara,
yang menjadi muasal kata basyīr,
penulis memaknainya dengan “memberikan kabar gembira yang membuat kulit muka
menjadi berseri-seri. Pendapat sedikit
berbeda dikemukakan oleh Ibn Jarīr
al-Thabariy; pemberitahuan kepada seseorang tentang berita yang belum
pernah diketahuinya dan dapat membuatnya gembira, sebelum dia mendengarnya dari
orang lain atau mengetahuinya dari orang lain.[5]
8.
الصَّابِرِينَ berbentuk jamak Muzakkar yang berasal dari kata صَبَر tersusun dari huruf ص,
بَ, رia adalah
bentuk masdar dari fi'il ma>dhi> yakni sabara.
arti asal kata tersebut adalah “menahan,” seperti mengurung binatang, menahan
diri, dan mengendalikan jiwa.[6]dari
makna “menahan” lahir makna konsisten atau bertahan”, karena yang bersabar
bertahan menahan diri dari satu sikap. seseorang yang menahan gejolak hatinya,
dinamai bersabar. selain itu Ahmad bin Fa>ris menyebut dua arti lain dari sabr, yaitu أعالي
الشيء (ketinggian sesuatu) dan جنسٌ
من الحجارة (sejenis batu).[7]
keduanya masih memiliki kaitan dengan pengertian asal, yakni sabar sebagai
kemampuan mengendalikan diri dipandang sebagai sikap yang mempunyai nilai
tinggi dan mencerminkan kekokohan jiwa orang yang memilikinya. seseorang yang
bersabar akan menahan diri, dan untuk itu, ia memerlukan kekukuhan jiwa dan
mental baja, agar dapat mencapai ketinggian yang diharapkannya. sabar adalah
“menahan gejolak nafsu demi mencapai yang baik, atau yang terbaik.”[8]
B.
Makna ayat
Beberapa
mufassir berbedah dalam menafsirkan ayat ini, menurut Sayyid Quthb; Telah
menjadi suatu keniscayaan seorang mu’min di uji dengan berbagai bencana dan
musibah yaitu dengan ketakutan dan
kelaparan, kesengsaraan, serta hilangnya harta, nyawa, dan makanan. hal ini
merupakan ketentuan Allah SWT untuk meneguhkan keyakinan orang beriman pada tugas dan kewajiban yang harus
di tunaikannya. sehingga, akhirnya mereka setelah mengalami ujian, tentu akan
terbukti tangguh dan merasa berat untuk berkhianat kepada islam, Karena
mengingat pengorbanan yang dilakukannya.
Aqidah yang
diperoleh dengan gampang tanpa ujian, akan muda pulah bagi penganutnya untuk
meninggalkannya, bila satu ketika terkena ujian. semakin berat ujian dan
pengorbanan akan semakin meninggikan nilai akidah keyakinan dalam hati dan jiwa
penganutnya. Bahkan, makin besar
penderitaan dan pengorbanan yang diminta oleh suatu aqidah, bertambah berat
juga seseorang untuk berkhianat atau
meninggalkannya.[9]
Adapun
M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa hakikat kehidupan dunia, antara lain di
tandai oleh keniscayaan adanya cobaan yang beraneka ragam. kemudian bahwa ujian
atau cobaan yang dihadapi pada hakikatnya sedikit karena betapapun besarnya, ia
tetap sedikit bila dibandingkan dengan imbalan dan ganjaran yang diterima.
Informasi Allah tentang “ujian” ini adalah nikmat besar tersendiri karena,
dengan mengetahuinya, kita dapat mempersiapkan diri menghadapi aneka ragam
ujian itu. ujian diperlukan untuk kenaikan tingkat. ujian itu sendiri baik.
yang bruk adalah kegagalan menghadapinya.[10]
Hal ini juga sependapat dengan Abu> al-Sa‘u>d
dan Ibn Muhammad al-‘Uma>di> menurutnya bahwa pesan intinya ayat ini
yaitu ujian Allah yang beragam terhadap manusia adalah suatu keniscayaan dan
berkesinambungan dengan maksud untuk melihat siapa yang sabar dan rela menerima
qada>’ dan qadar Allah atau sebaliknya.[11]
Sedangkan Ahmad Mushthafa Al-Maraghi
menafsirkan ayat tersebut berdasarkan kondisi islam pada saat itu atau pada
masa sebelum Ahmad Mushthafa dimana beliau menafsirkan bahwa diantara musibah
terbesar adalah apa yang menimpa orang-orang yang berpihak kepada kebenaran,
yakni berbagai serangan yang dilakukan orang-orang batil. misalnya peristiwa
perstiwa yang terjadi ketika kaum muslimin dalam keadaan minoritas dan masih terbatas
dalam hal persenjataan. mereka juga mendapat serangan yang sangat gencar dari
berbagai umat. Kaum Musyrikin secara terus menerus menyerang dan mengusir umat
islam sehingga meninggalkan kediaman dan harta benda yang mereka miliki. karena
masalah tersebut. Allah memerintahkan kepada hamba-hambanya yang beriman agar
minta pertolongan kepada Allah dengan cara bersabar. sebab, dengan kesabaran
ini berarti telah mendidik diri sendiri di dalam bertahan untuk menanggulangi
berbagai derita, sekaligus membiasakan diri dalam menghadapi berbagai cobaan.[12]
Berdasarkan penafsiran di atas pemakalah
mencoba mengeksplorasi beberapa hal tentang ayat di atas mengenai ujian bagi
orang yang beriman.
Bahwa umat manusia hendaknya mempercayai
sekaligus meyakini bahwa mereka diciptakan untuk menjalani masa ujian selama
hidup di dunia karena hidup itu sendiri adalah ujian sebagaimana dalam Firman
Allah (QS. al-Mulk [67]: 2),
الَّذِي خَلَقَ
الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ
الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
ÇËÈ
yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun,
Baik
yang beriman maupun yang tidak beriman Allah pasti akan mnguji mereka. dalam
sebuah hadis dijelaskan bahwa orang yang paling hebat ujiannya, yang dikenakan
oleh Allah kepadanya adalah para Nabi dan Rasul-nya, kemudian orang yang lebih
utama dan dibawahnya lagi hal ini. Berdasarkan hadis Nabi saw
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يُوعَكُ فَمَسِسْتُهُ
بِيَدِى فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ لَتُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا.فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَجَلْ إِنِّى أُوعَكُ كَمَا يُوعَكُ
رَجُلاَنِ مِنْكُمْ ». قَالَ فَقُلْتُ ذَلِكَ أَنَّ لَكَ أَجْرَيْنِ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَجَلْ
». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يُصِيبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلاَّ حَطَّ اللَّهُ بِهِ
سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
Hadis riwayat dari ‘Abdillah, katanya: “ Saya
menjenguk Rasulullah saw. sedangkan ia sedang menderita”, lalu saya
berkata: “Wahai Rasulullah, engkau amat menderita jawabnya ,“memang saya
menderita penyakit seperti penyakit yang diderita oleh dua orang lelaki
diantara kalian.” kemudian saya berkata lagi, “apakah hal demikian,karena
engkau mendapatkan 2kali lipat?” Nabi menjawab: ya benar demikian. tidak
seorang muslim pun yang di timpa musibah, atau ditusuk duri, atau yang lebi
besar dari itu, kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya, sebagaimana halnya
pepohonan menggugurkan daunnya.[13]
Berdasarkan
hadis di atas kita menemukan beberapa hal :
1.
Allah menguji orang beriman berdasarkan kadar keimanannya
2.
besarnya kadar ujian akan memberikan pahala 2 kali lebi besar dari
ujian tersebut
3.
ujian bagi orang yang beriman merupakan sarana penghapus dosa
C.
Tujuan ujian bagi orang yang beriman
berdasarkan
al-Qur’an ada beberapa tujuan Allah menguji orang beriman diantaranya:
1.
untuk mengetahui kadar
keimanan, untuk mengangkat sebagai syuhada’ Allah dan untuk membersihkan hati
dari segala noda. (QS Ali ‘Imra>n [3]:154).
وَلِيَبْتَلِيَ
اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ
Terjemah:
Dan Allah berbuat demikian untuk menguji apa
yang ada dalam dadamu (QS Ali ‘Imra>n [3]:154).
Untuk
mengetahui kadar keimanan seorang mukmin menurut al-Qur’an, antara lain perlu
adanya ujian. karena itu, salah satu tujuan diturunkannya al-Bala>’
dalam kehidupan umat manusia adalah untuk menampakkan dalam realitas kadar
keimanan mereka.
2. Untuk mengetahui para
muja>hid dan para penyabar. QS. Muhammad (47): 31
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ
dan sesungguhnya kami bersumpah akan menguji
kamu agar kami mengetahui para pejuang dan para penyabar di antara kamu QS.
Muhammad (47): 31
tujuan di turunkannya al-Bala>’ kepada
orang beriman untuk mengetahui dalam realitas siapa saja para muja>hid dan
siapa pula para penyabar yang sebenarnya.
3. untuk mengetahui yang
terbaik amal-amalnya. (QS. Hu>d [11]:7.).
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ
أَحْسَنُ عَمَلًا
Agar kami menguji kamu siapakah di antara
kamu yang lebi baik amalnya (QS. Hu>d [11]:7.)
dengan ujian yang diturunkan kepada orang
yang beriman untuk mengetahui kualitas keikhlasan seseorang atau yang paling
sesuai dengan tuntutan kitab suci al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
uijan bagi orang yang beriman secara sederhana merupakan tantangan yang
diperhadapkan oleh Allah kepada manusia agar tercapai suatu kehidupan yang
baik, bahkan yang terbaik, dengan menempuh suatu proses pengujian.
2.
berdasarkan pendapat para mufassir kita mengetahui bahwa:
a)
Telah menjadi suatu
keniscayaan seorang mu’min di uji dengan berbagai bencana dan musibah dengan maksud
untuk melihat siapa yang sabar dan rela menerima qada>’ dan qadar Allah atau
sebaliknya
b)
ujian atau cobaan yang
dihadapi pada hakikatnya sedikit karena betapapun besarnya, ia tetap sedikit
bila dibandingkan dengan imbalan dan ganjaran yang diterima.
c)
dengan kesabaran ini berarti telah mendidik diri sendiri di dalam
bertahan untuk menanggulangi berbagai derita, sekaligus membiasakan diri dalam
menghadapi berbagai cobaan
3. tujuan Allah menguji
orang Beriman
a)
untuk mengetahui kadar
keimanan, untuk mengangkat sebagai syuhada’ Allah dan untuk membersihkan hati
dari segala noda.
b)
Untuk mengetahui para muja>hid dan para penyabar.
c)
untuk mengetahui yang terbaik amal-amalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu>
al-Sa‘u>d, Muhammad bin Muhammad al-‘Uma>di>, Irsya>d al-‘Aql
al-Sali>m Ila> Maza>ya> al-Qur’an al-Kari>m, Juz I,
al-Qa>hirah: Da>r al-Mushaf, 1998.
Ah}mad bin Fa>ris, Abu H{usain. Mu‘jam
Maqa>yi>s al-Lugah, juz III (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979.
Al-Afri>qiy, Muh}ammad bin Mukrim
bin Manz}u>r. Lisa>n al-‘Arab. Cet. I; Beirut: Da>r S{a>dir,
t. th.
al-Amily Muhamad ibn Jarīr ibn Yazīd
ibn Katsīr bin Ghālib,
Abū Ja’far al-Thabary, Jāmi’ al-Bayān
fī Ta’wīl Al-Qur’ān, Juz. II Beirut, Muassasah al-Risālah, 2000.
Al-Bukha>riy,
Muh}ammad bin ‘Isma>‘i>l. S{ah}i>h} al-Bukha>riy. Beirut:
Da>r ibni Kas\i>r, 1987.
al-Busta>ni Butros >, Qut}r
al-Muh}i>t}, Juz I, Beiru>t-Libna>n: Maktabah al-Libna>n, t.th
Al-Mara>giy, Ahmad Must}a>fa. Terjemah
tafsir al-Mara>giy. Cet. II;
Semarang: PT.Karya Toha Putra, 1992.
Departemen Agama RI. Bandung:
Syaamil
Cipta Media, 1426 H/2005 M.
Sayyid
Quthb, Dibawah Naungan Al-Qur’an (TerjemahTafsir Fi Zhilalil Qur’an),
jilid.1 Jakarta: Gema Insani 2008.
Shihab, M. Quraish. Tafsir
Al-misbah; Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an. Cet. IV; Jakarta: Lentera
Hati, 2002.
[1]M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan keserasian Al-Qur’an,
juz XV, (cet. I; Jakarta: PenerbitLentera Hati, 2003), h. 184.
[2]Butros
al-Busta>ni>, Qut}r al-Muh}i>t}, Juz I, (Beiru>t-Libna>n:
Maktabah al-Libna>n, t.th), h. 141.
[3]Muhammad
Fu’a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahra>s li Alfa>z{
al-Qur’a>n al-Kari>m, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1401 H/ 1981 M),
h. 135-136
[4]Abu> H{usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariya>, Mu‘jam
Maqa>yi>s fi>
al-Lugah, juz III (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979), hal. 237
[5]Muhamad
ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Katsīr bin Ghālib al-Amily, Abū Ja’far al-Thabary, Jāmi’
al-Bayān fī
Ta’wīl
Al-Qur’ān,
(Beirut, Muassasah al-Risālah,
2000), Juz. II, h. 393
[6]Abu> al-Fadl Jama>l al-Di>n Muh}ammad
bin Mukrim bin Manz}u>r al-Afri>qiy, Lisa>n al-‘Arab, juz VIII
(Cet. I; Beirut: Da>r S{a>dir, 1968/1396),h. 355
[7]Abu> H{usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariya>, Mu‘jam
Maqa>yi>s fi>
al-Lugah, juz III (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979), h.584
[8]M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah; Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an
juz XI (Jakarta: cet. I; Lentera Hati, 2003), h.138.
[9]Sayyid Quthb, Dibawah Naungan Al-Qur’an
(TerjemahTafsir Fi Zhilalil Qur’an), jilid.1 (Jakarta: Gema Insani) 2008,
h. 174
[10]M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah; Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an
juz I(Jakarta:cet. I;
Lentera Hati, 2003),
h.435-436
[11]Abu> al-Sa‘u>d, Muhammad bin
Muhammad al-‘Uma>di>, Irsya>d al-‘Aql al-Sali>m Ila>
Maza>ya> al-Qur’an al-Kari>m, Juz I, (al-Qa>hirah: Da>r
al-Mushaf, 1998), h. 180.
[12]Ahmad
Must}a>fa al-Mara>gi, Terjemah tafsir al-Mara>gi Juz I(Cet. II;
Semarang: PT.Karya Toha Putra, 1992), h.34-35.
[13]al-Ima>m
Muhammad bin Isma>’il al-Bukha>ri>, Sahi>h al-Bukha>ri>,
juz IV (al-Qa>hirah: al-Maktabah al-Salafiyah,1400 H), h. 3.
terima kasih atas makalahnya .
BalasHapus