Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Jumat, 20 Desember 2013

ujian bagi orang beriman berdasarkan ayat Q.S. al-Baqarah /2: 155



PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Disadari atau tidak, ternyata tidak sedikit orang yang hancur luluh keimanannya hanya karena ketidakmampuannya menghadapi ujian dalam hidup. Salah satu penyebabnya karena salah dalam memahami makna ujian dan salah pula dalam menyikapinya. Kesalahan seseorang dalam memaknai dan menyikapi ujian akibatnya bisa sangat fatal terhadap keimanannya.
Bagi seorang mu’min tentu meyakini bahwa, segala sesuatu hanya akan terjadi di dunia ini karena Allah, sehingga segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini terutama yang tidak kita inginkan harusnya menjadi bahan “muhasabah” (introspeksi) atau “tazkirah” (peringatan) apa yang sebenarnya sedang Allah rencanakan untuk kita.
Ujian adalah sesuatu yang mutlak akan dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupannya, baik seseorang itu yang kafir maupun mu'min. Jika hal ini datang kepada orang kafir maka tidak lagi disebut ujian,tetapi pasti itu adalah azab. Allah SWT berfirman: (QS. As Sajdah, 32 : 21).
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ÇËÊÈ  
terjemah:
“dan Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Namun, jika menimpa orang yang mu'min, itu adalah bentuk kasih-sayang Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw pernah menyatakan, "Jika Allah sudah mencintai suatu kaum maka Allah SWT akan memberikan bala, ujian atau cobaan".
B.   Rumusan Masalah
Dengan merujuk pada latar belakang di atas, pemakalah dapat meyusun rumusan masalah sebagaimana berikut.
1.      bagaimana penjelasan makna ayat Q.S. al-Baqarah//2: 155 ?
2.      Bagaimana pandangan Mufassir dalam memahami ayat Q.S. al-Baqarah//2: 155 ?
3.      apakah tujuan ujian bagi orang beriman ?







BAB II
PEMBAHASAN
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَÇÊÎÎÈ  
Terjemahnya:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.         
A.  Makna Kosakata
1.      وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ Berasal dari kata بلا ,يبلو berarti ujian atau cobaan. kata ini digunakan untuk beberapa makna, antara lain: mengetahui, membongkar, dan menguji. ketiganya bila dikorelasikan bermakna bahwa ujian adalah membongkar sikap atau apa yang dikandung oleh seseorang (misalnya, pengetahuan ), guna mengetahui kualitas yang dibongkar itu.[1] pengertian yang lain ia berasal dari huruf ب,  ل,  و(بَلو menjadi بلا yang berarti اختَبره , امتحنة  yakni “menguji, mencoba, atau mentest.”[2]  .term-term al-bala>’ dengan segala bentuk derivasinya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 38 kali.[3]
2.      الْخَوْفِ
3.      وَالْجُوعِ
4.      وَنَقْصٍ
5.      مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
6.      الْخَوْف adalah isim mas}dar  yang bentuk Fi’il Ma>dhi>-nya  خافَ . dalam kamus Al-Muhit} secara jelas disebutkan makna kata khauf  yaitu pembunuhan dengan mengambil contoh ayat Q.S. al-Baqarah//2: 155
7.      بَشِّر fi’il amar yang berasal dari بشر dimana didalam kitab Maqa>yis Al-Lugah disebut [4]ظاهِرُ جِلْد الإنسان jelasnya kulit manusia maksudnya karena kulitnya yang terlihat jelas tanpa terhalang oleh rambut, berbeda dengan hewan yang tertutup oleh rambut ataupun bulu. Maka tidak mengherankan pula ketika menjelaskan makna kata kerja absyara dan basy-syara, yang menjadi muasal kata basyīr, penulis memaknainya dengan “memberikan kabar gembira yang membuat kulit muka menjadi berseri-seri. Pendapat sedikit berbeda dikemukakan oleh Ibn Jarīr al-Thabariy; pemberitahuan kepada seseorang tentang berita  yang belum pernah diketahuinya dan dapat membuatnya gembira, sebelum dia mendengarnya dari orang lain atau mengetahuinya dari orang lain.[5]
8.      الصَّابِرِينَ berbentuk jamak Muzakkar yang berasal dari kata صَبَر tersusun dari huruf ص, بَ, رia adalah bentuk masdar dari fi'il ma>dhi> yakni sabara. arti asal kata tersebut adalah “menahan,” seperti mengurung binatang, menahan diri, dan mengendalikan jiwa.[6]dari makna “menahan” lahir makna konsisten atau bertahan”, karena yang bersabar bertahan menahan diri dari satu sikap. seseorang yang menahan gejolak hatinya, dinamai bersabar. selain itu Ahmad bin Fa>ris menyebut dua arti lain dari sabr,  yaitu أعالي الشيء (ketinggian sesuatu) dan جنسٌ من الحجارة (sejenis batu).[7] keduanya masih memiliki kaitan dengan pengertian asal, yakni sabar sebagai kemampuan mengendalikan diri dipandang sebagai sikap yang mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekokohan jiwa orang yang memilikinya. seseorang yang bersabar akan menahan diri, dan untuk itu, ia memerlukan kekukuhan jiwa dan mental baja, agar dapat mencapai ketinggian yang diharapkannya. sabar adalah “menahan gejolak nafsu demi mencapai yang baik, atau yang terbaik.”[8]
B.   Makna ayat
Beberapa mufassir berbedah dalam menafsirkan ayat ini, menurut Sayyid Quthb; Telah menjadi suatu keniscayaan seorang mu’min di uji dengan berbagai bencana dan musibah  yaitu dengan ketakutan dan kelaparan, kesengsaraan, serta hilangnya harta, nyawa, dan makanan. hal ini merupakan ketentuan Allah SWT untuk meneguhkan keyakinan orang  beriman pada tugas dan kewajiban yang harus di tunaikannya. sehingga, akhirnya mereka setelah mengalami ujian, tentu akan terbukti tangguh dan merasa berat untuk berkhianat kepada islam, Karena mengingat pengorbanan yang dilakukannya.
Aqidah yang diperoleh dengan gampang tanpa ujian, akan muda pulah bagi penganutnya untuk meninggalkannya, bila satu ketika terkena ujian. semakin berat ujian dan pengorbanan akan semakin meninggikan nilai akidah keyakinan dalam hati dan jiwa penganutnya. Bahkan, makin besar penderitaan dan pengorbanan yang diminta oleh suatu aqidah, bertambah berat juga seseorang untuk berkhianat atau meninggalkannya.[9]
Adapun M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa hakikat kehidupan dunia, antara lain di tandai oleh keniscayaan adanya cobaan yang beraneka ragam. kemudian bahwa ujian atau cobaan yang dihadapi pada hakikatnya sedikit karena betapapun besarnya, ia tetap sedikit bila dibandingkan dengan imbalan dan ganjaran yang diterima. Informasi Allah tentang “ujian” ini adalah nikmat besar tersendiri karena, dengan mengetahuinya, kita dapat mempersiapkan diri menghadapi aneka ragam ujian itu. ujian diperlukan untuk kenaikan tingkat. ujian itu sendiri baik. yang bruk adalah kegagalan menghadapinya.[10]
Hal ini juga sependapat dengan Abu> al-Sa‘u>d dan Ibn Muhammad al-‘Uma>di> menurutnya bahwa pesan intinya ayat ini yaitu ujian Allah yang beragam terhadap manusia adalah suatu keniscayaan dan berkesinambungan dengan maksud untuk melihat siapa yang sabar dan rela menerima qada>’ dan qadar Allah atau sebaliknya.[11]
Sedangkan Ahmad Mushthafa Al-Maraghi menafsirkan ayat tersebut berdasarkan kondisi islam pada saat itu atau pada masa sebelum Ahmad Mushthafa dimana beliau menafsirkan bahwa diantara musibah terbesar adalah apa yang menimpa orang-orang yang berpihak kepada kebenaran, yakni berbagai serangan yang dilakukan orang-orang batil. misalnya peristiwa perstiwa yang terjadi ketika kaum muslimin dalam keadaan minoritas dan masih terbatas dalam hal persenjataan. mereka juga mendapat serangan yang sangat gencar dari berbagai umat. Kaum Musyrikin secara terus menerus menyerang dan mengusir umat islam sehingga meninggalkan kediaman dan harta benda yang mereka miliki. karena masalah tersebut. Allah memerintahkan kepada hamba-hambanya yang beriman agar minta pertolongan kepada Allah dengan cara bersabar. sebab, dengan kesabaran ini berarti telah mendidik diri sendiri di dalam bertahan untuk menanggulangi berbagai derita, sekaligus membiasakan diri dalam menghadapi berbagai cobaan.[12]
Berdasarkan penafsiran di atas pemakalah mencoba mengeksplorasi  beberapa hal  tentang ayat di atas mengenai ujian bagi orang yang beriman.
Bahwa umat manusia hendaknya mempercayai sekaligus meyakini bahwa mereka diciptakan untuk menjalani masa ujian selama hidup di dunia karena hidup itu sendiri adalah ujian sebagaimana dalam Firman Allah (QS. al-Mulk [67]: 2),
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ ÇËÈ  
yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,
 Baik yang beriman maupun yang tidak beriman Allah pasti akan mnguji mereka. dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa orang yang paling hebat ujiannya, yang dikenakan oleh Allah kepadanya adalah para Nabi dan Rasul-nya, kemudian orang yang lebih utama dan dibawahnya lagi hal ini. Berdasarkan hadis Nabi saw

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يُوعَكُ فَمَسِسْتُهُ بِيَدِى فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ لَتُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَجَلْ إِنِّى أُوعَكُ كَمَا يُوعَكُ رَجُلاَنِ مِنْكُمْ ». قَالَ فَقُلْتُ ذَلِكَ أَنَّ لَكَ أَجْرَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَجَلْ ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلاَّ حَطَّ اللَّهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
           
Hadis riwayat dari ‘Abdillah, katanya: “ Saya menjenguk Rasulullah saw. sedangkan ia sedang menderita”, lalu saya berkata: “Wahai Rasulullah, engkau amat menderita jawabnya ,“memang saya menderita penyakit seperti penyakit yang diderita oleh dua orang lelaki diantara kalian.” kemudian saya berkata lagi, “apakah hal demikian,karena engkau mendapatkan 2kali lipat?” Nabi menjawab: ya benar demikian. tidak seorang muslim pun yang di timpa musibah, atau ditusuk duri, atau yang lebi besar dari itu, kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya, sebagaimana halnya pepohonan menggugurkan daunnya.[13]
            Berdasarkan hadis di atas kita menemukan beberapa hal :
1.      Allah menguji orang beriman berdasarkan kadar keimanannya
2.      besarnya kadar ujian akan memberikan pahala 2 kali lebi besar dari ujian tersebut
3.      ujian bagi orang yang beriman merupakan sarana penghapus dosa
C.   Tujuan ujian bagi orang yang beriman
berdasarkan al-Qur’an ada beberapa tujuan Allah menguji orang beriman diantaranya:
1.      untuk mengetahui kadar keimanan, untuk mengangkat sebagai syuhada’ Allah dan untuk membersihkan hati dari segala noda. (QS Ali ‘Imra>n [3]:154).
وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ
Terjemah:
Dan Allah berbuat demikian untuk menguji apa yang ada dalam dadamu (QS Ali ‘Imra>n [3]:154).
Untuk mengetahui kadar keimanan seorang mukmin menurut al-Qur’an, antara lain perlu adanya ujian. karena itu, salah satu tujuan diturunkannya al-Bala>’ dalam kehidupan umat manusia adalah untuk menampakkan dalam realitas kadar keimanan mereka.
2.      Untuk mengetahui para muja>hid dan para penyabar. QS. Muhammad (47): 31
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ
dan sesungguhnya kami bersumpah akan menguji kamu agar kami mengetahui para pejuang dan para penyabar di antara kamu QS. Muhammad (47): 31

tujuan di turunkannya al-Bala>’ kepada orang beriman untuk mengetahui dalam realitas siapa saja para muja>hid dan siapa pula para penyabar yang sebenarnya.
3.      untuk mengetahui yang terbaik amal-amalnya. (QS. Hu>d [11]:7.).
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Agar kami menguji kamu siapakah di antara kamu yang lebi baik amalnya (QS. Hu>d [11]:7.)
dengan ujian yang diturunkan kepada orang yang beriman untuk mengetahui kualitas keikhlasan seseorang atau yang paling sesuai dengan tuntutan kitab suci al-Qur’an.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      uijan bagi orang yang beriman secara sederhana merupakan tantangan yang diperhadapkan oleh Allah kepada manusia agar tercapai suatu kehidupan yang baik, bahkan yang terbaik, dengan menempuh suatu proses pengujian.
2.      berdasarkan pendapat para mufassir kita mengetahui bahwa:
a)      Telah menjadi suatu keniscayaan seorang mu’min di uji dengan berbagai bencana dan musibah dengan maksud untuk melihat siapa yang sabar dan rela menerima qada>’ dan qadar Allah atau sebaliknya
b)      ujian atau cobaan yang dihadapi pada hakikatnya sedikit karena betapapun besarnya, ia tetap sedikit bila dibandingkan dengan imbalan dan ganjaran yang diterima.
c)      dengan kesabaran ini berarti telah mendidik diri sendiri di dalam bertahan untuk menanggulangi berbagai derita, sekaligus membiasakan diri dalam menghadapi berbagai cobaan
3.      tujuan Allah menguji orang Beriman
a)      untuk mengetahui kadar keimanan, untuk mengangkat sebagai syuhada’ Allah dan untuk membersihkan hati dari segala noda.
b)      Untuk mengetahui para muja>hid dan para penyabar.
c)      untuk mengetahui yang terbaik amal-amalnya.




DAFTAR PUSTAKA
Abu> al-Sa‘u>d, Muhammad bin Muhammad al-‘Uma>di>, Irsya>d al-‘Aql al-Sali>m Ila> Maza>ya> al-Qur’an al-Kari>m, Juz I, al-Qa>hirah: Da>r al-Mushaf, 1998.
Ah}mad bin Fa>ris, Abu H{usain. Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, juz III (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979.
Al-Afri>qiy, Muh}ammad bin Mukrim bin Manz}u>r. Lisa>n al-‘Arab. Cet. I; Beirut: Da>r S{a>dir, t. th.
al-Amily Muhamad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Katsīr bin Ghālib, Abū Jafar al-Thabary, Jāmi al-Bayān fī Tawīl Al-Qurān, Juz. II Beirut, Muassasah al-Risālah, 2000.
Al-Bukha>riy, Muh}ammad bin ‘Isma>‘i>l. S{ah}i>h} al-Bukha>riy. Beirut: Da>r ibni Kas\i>r, 1987.
al-Busta>ni Butros >, Qut}r al-Muh}i>t}, Juz I, Beiru>t-Libna>n: Maktabah al-Libna>n, t.th
Al-Mara>giy, Ahmad Must}a>fa. Terjemah tafsir al-Mara>giy.  Cet. II; Semarang: PT.Karya Toha Putra, 1992.
Departemen Agama RI. Bandung: Syaamil Cipta Media, 1426 H/2005 M.
Sayyid Quthb, Dibawah Naungan Al-Qur’an (TerjemahTafsir Fi Zhilalil Qur’an), jilid.1 Jakarta: Gema Insani 2008.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-misbah; Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an. Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati, 2002.



[1]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan keserasian Al-Qur’an, juz XV, (cet. I; Jakarta: PenerbitLentera Hati, 2003), h. 184. 
[2]Butros al-Busta>ni>, Qut}r al-Muh}i>t}, Juz I, (Beiru>t-Libna>n: Maktabah al-Libna>n, t.th), h. 141.
[3]Muhammad Fu’a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahra>s li Alfa>z{ al-Qur’a>n al-Kari>m, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), h. 135-136
[4]Abu> H{usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariya>, Mu‘jam Maqa>yi>s fi> al-Lugah, juz III (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979), hal. 237
[5]Muhamad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Katsīr bin Ghālib al-Amily, Abū Jafar al-Thabary, Jāmi al-Bayān fī Tawīl Al-Qurān, (Beirut, Muassasah al-Risālah, 2000), Juz. II, h. 393
[6]Abu> al-Fadl Jama>l al-Di>n Muh}ammad bin Mukrim bin Manz}u>r al-Afri>qiy, Lisa>n al-‘Arab, juz VIII (Cet. I; Beirut: Da>r S{a>dir, 1968/1396),h. 355
[7]Abu> H{usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariya>, Mu‘jam Maqa>yi>s fi> al-Lugah, juz III (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979), h.584
[8]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah; Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an juz XI (Jakarta: cet. I; Lentera Hati, 2003), h.138.
[9]Sayyid Quthb, Dibawah Naungan Al-Qur’an (TerjemahTafsir Fi Zhilalil Qur’an), jilid.1 (Jakarta: Gema Insani) 2008, h. 174
[10]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah; Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an juz I(Jakarta:cet. I; Lentera Hati, 2003), h.435-436
[11]Abu> al-Sa‘u>d, Muhammad bin Muhammad al-‘Uma>di>, Irsya>d al-‘Aql al-Sali>m Ila> Maza>ya> al-Qur’an al-Kari>m, Juz I, (al-Qa>hirah: Da>r al-Mushaf, 1998), h. 180.
[12]Ahmad Must}a>fa al-Mara>gi, Terjemah tafsir al-Mara>gi Juz I(Cet. II; Semarang: PT.Karya Toha Putra, 1992), h.34-35.
[13]al-Ima>m Muhammad bin Isma>’il al-Bukha>ri>, Sahi>h al-Bukha>ri>, juz IV (al-Qa>hirah: al-Maktabah al-Salafiyah,1400 H), h. 3.

1 komentar: