BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan
sehari-hari,umat muslim sering mendengar istilah ilmu hadis. Apalagi dikalangan
para ulama dan umat muslim pastinya sudah tidak asing lagi dengan istilah
ini,tapi yang dipertanyakan sekarang ini apakah ulama dan umat muslim yang sering mendengar bahkan
menjadikannya landasan dalam berargumen itu paham akan kandungan dan pengertian
dari ilmu hadis serta cabang-cabangnya? Jika diteliti, pastinya seorang ulama
sudah tau tentang ilmu hadis itu sendiri,tapi apakah ulama itu tau akan
cabang-cabangnya dan pengertian dari cabang-cabang ilmu hadis sendiri. Banyak
sekali jumlah cabang ilmu hadis, para ulama menghitungnya beragam. Ibnu
al-S}ala>h menghitungnya 65 cabang, bahkan ada yang menghitungnya 10 hingga
6 cabang. Muhammad Ajja>j al-Khat}i>b sendiri membaginya kedalam 52
cabang akan tetapi yang dibahas hanyalah 6 didalam kitabnya. Pada makalah ini
akan dibahas apa saja cabang ilmu hadis itu menurut Muhammad Ajja>j al-Khat}i>b
itu sendiri. Adanya yang membagi 65,10,dan 6 adalah perbedaan pendapat ulam
yang mana membaginya menurut kepentingan masing-masing dan ada yang
menghitungya secara terperinci dan juga secara global.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja
pembagian cabang-cabang ilmu hadis yang 6 itu?
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun pembagian
cabang-cabang ilmu hadis yang 6 itu adalah sebagai berikut:
1.
‘Ilmu
Rija>l al-Hadis}
2.
‘Ilmu
al-Jarh wa al-Ta’di>l
3.
‘Ilmu
Ghari>bu al-Hadis}
4.
‘Ilmu
Mukhtalif al-Hadis} wa Musykila>tuhu
5.
‘Ilmu
Na>sikh Mansu>kh
6.
‘Ilmu
‘Ilal al-Hadis}
Adapun pengertian dari cabang-cabang ilmu hadis diatas
adalah sebagai berikut:
1.
ILMU RIJAL
AL-HADIS
Kata Rija>l al-Hadis berarti orang-orang di sekitar hadis atau
orang-orang yang meriwayatkan hadis serta berkecimpung dengan hadis Nabi.
Secara terminologis, ilmu ini adalah ilmu yang membahas tentang keadaan para
periwayat hadis baik dari kalangan sahabat, s}ahi>h, maupun generasi-generasi
berikutnya.[1] Di
dalamnya membahas sejarah ringkas tentang riwayat hidup para periwayat,
guru-guru dan murid mereka, tahun lahir dan wafat, dan keadaan-keadaan serta
sifat-sifat mereka.
Jelasnya, ilmu ini membahas tentang biografi para periwayat, nama-nama,
laqab dan sebagainya. Diantara kitab yang membahas tentang ilmu ini adalah: al-Bida>yah
wa al-Niha>yah karya Syekh ‘Imad al-Di>n Ibnu Katsi>r,
al-Muntazham karya Ibn al-Jawzi, al-Rawdhatayn oleh Ibn Syamaah dan Ta>rich
al-Baghda>di> karya Abu Bakar al-Khat}i>b al-Baghda>di>.[2]
Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadis karena
objeknya mencakup sanad dan matan.[3] Adapun pembagian dari ilmu
ini terbagi menjadi 2 yaitu ‘Ilmu Ta>ri>kh al-Ruwa>t} Dan Ilmu
Jarh wa Ta’di>l
1.
ILMU TARIKH AR-RUWAH
Ilmu
tarikh ar-ruwah ialah :
العلم الذيعرف برواة الحديث من
الناحيةالتي تتعلق بروايتهم للحديث فهو يتناول بالبيان أحوال الرواة, وبذكر تاريخ
ولادة الراوي, ووفاته, وشيوخه, وبلادهم ومواطنهم.[4]
Artinya
:
Ilmu yang mencoba mengenal para perawi hadis dari
aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadis tersebut yang
menerangkan tentang keadaan perawi, dengan menyebutkan tanggal kelahiran
perawi, wafatnya, guru-gurunya dan tempat tinggal perawi.
Sebagai bagian dari Ilmu Rijal
al-Hadis, ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada sudut
kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan. Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung (Muttashil)
atau tidaknya sanad suatu hadis. Maksud persambungan sanad adalah
pertemuan langsung apakah perawi berita itu bertemu langsung dengan gurunya
atau pembawa berita ataukah tidak atau hanya pengakuan saja. Semua itu dapat
dideteksi melalui ilmu ini. Muttashil nya sanad ini nanti dijadikan
salah satu syarat keshahihan suatu hadis dari segi sanad.[5]
Ilmu ini tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. Ulama memberikan
perhatian yang sangat serius terhadapnya agar mereka dapat mengetahui
tokoh-tokoh yang ada dalam sanad. Ulama akan menanyakan umur perawi, tempat
mereka, sejarah mendengar mereka dari para guru, disamping bertanya tentang
para perawi itu sendiri.
Hal itu mereka lakukan
tidak lain demi mengetahui keshahihan sima’ yang dikatakan oleh perawi dan demi
mengetahui sanad-sanad yang muttashil dari yang terputus, yang mursal dari yang
marfu’ dan lain-lain. Sejarah itu merupakan senjata yang terbaik yang digunakan
oleh ulama dalam menghadapi para pendusta. Sufyan al-Tsauriy mengatakan:
“Sewaktu para perawi menggunakan kedustaan, maka kami menggunakan sejarah untuk
melawan mereka.[6]
Ilmu ini sangat penting dipelajari karena hadis terdiri atas sanad dan matan.
Mengetahui keadaan para periwayat yang terdapat dalam sanad yang pada akhirnya
untuk mengetahui keshahihan hadis-hadis yang mereka riwayatkan merupakan suatu
keharusan.[7]
Metode yang digunakan para
penyusun dalam menyusun karya-karya tentang sejarah para perawi sangat beragam.
Ada yang menyusunnya berdasarkan tingkatan-tingkatan(Thabaqa>t).
Sehingga mereka akan membahas keadaan para perawi tingkat demi tingkat, atau
generasi demi generasi. Satu tingkatannya mencerminkan sejumlah perawi yang
hidup dalam masa yang hamper bersamaan. Kitab thabaqat yang terkemuka adalah al-Thabaqa>t
ar-Ruwa>t} al-Kubra karya Muhammad Ibn sa’d( 168-230 H) dan Thabaqa>t}
al-Ruwa>t} karya Khalifah Ibn al-‘Ushfury. Ada yang menyusun berdasarkan
tahun. Mereka menyebut tahun wafat seorang perawi, lalu menyebut biografinya
dan berita-berita lain tentang perawi itu, seperti dikitab Ta>rikh
al-Islam karya al-Z}aha>by. Ada juga yang menyusun sejarah para perwai
secara alfabetis. Jenis semacam ini memberikan kemudahan penelitian. Dari jenis
ini, yang mula-mula sampai ke tagan kita adalah al-Ta>rikh al-Kabi>r karya
Imam Muhammad Ibn Isma>’il al-Bukhari(194-256 H). Karya terlengkap tentang
perawi hadis adalah kitab Tahz}i>b al-Tahz}i>b karya al-Hafidz
Syihabuddin Abu al-Fadhl Ahmad Ibn Ali(Ibn Hajar) al-‘Asqala>ny(773-852).
Kitab ini telah dicetak di India pada tahun (1325-1327 H) dalam dua belas
jilid.[8]
Di samping itu, ulama juga
menyusun karya berdasarkan nama-nama negeri tempat para perawi. Penyusun akan
menyebutkan nama-nama ulama suatu negeri dan ahli-ahli yang masuk kedalamnya.
Kadang-kadang orang yang meriwayatkan dari ulama-ulama itu juga akan
disebutkan. Biasanya, penyusun mengawalinya dengan menyebutkan
keutamaan-keutamaan negeri yang bersangkutan, lalu menyebutkan sahabat-sahabat
yang tinggal disana atau pernah singgah atau pernah lewat, kemudian menyebut
ulama-ulama lain secara alfabetis. Yang tertua adalah Ta>rikh Naisabur karya
Imam Muhammad Ibn Abdillah al-Hakim al-Naisabury(321-405) yang merupakan karya
terbaik dan paling sering digunakan ulama, dan Ta>rikh Baghda>d karya
Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Baghdadiy yang lebih dikenal dengan nama
al-Khati>b al-Baghdadiy(392-463) yang merupakan kitab paling agung dan
paling bermanfaat. Juga Ta>rikh Dimasyqi yang terdiri dari delapan
jilid atau bahkan lebih, karya al-Ha>fidz al-Mu’arrrikh Ali Ibn al-Hasan(Ibn
‘Askari) ad-Dimasyqiy(499-571), yang merupakan karya besar dan lengkap.[9]
Tidak hanya itu saja,
mereka juga menyusun karya tentang nama-nama asli para perawi, nama
laqab(julukan) nama nisbat mereka, nama-nama asli dan nama-nama julukan
“mu’talif dan mukhtalif”, nama- nama kun-yah dan nama-nama nisbat dan
karya-karya lain yang mengindisikan perhatian sserius mereka terhadap ilmu ini,
di samping menunjukkan kehandalan mereka dalam bidang ini. Karya tentang
nama-nama asli dan nama-nama kun-yah terkemuka antara lain al-Asamiy
Wa al-Kuna karya Ali ibn al-Madiniy(161-234 H). Karya tentang nama-nama
julukan para perawi adalah kitab”Nuzhah al-Alqa>b” karya
al-Ha>fidz Ahmad ibn Ali(Ibn Hajar)al-Asqala>niy(773-852 H).[10] Perhatian ulama tidak
hanya berkenaan dengan sejarah tentang para perwai hadis saja, tetapi juga
menyusun sejarah tentang wanita-wanita periwayat yang mengenal jalan yang
terang menuju kehidupan ilmiah yang mulia. Dengan metode pengajaran Islam yang
membuka lebar-lebar bagi kaum wanita, muncullah wanita-wanita percontohan yang
diabadikan oleh tinta sejarah. Mereka bukanlah orang-orang pertama, mereka
memiliki Umm al-Mukmini>n, A’isyah dan lain-lain serta wanita sahabat yang
sebagai teladan.
Menyaksikan karya-karya
tentang sejarah para perawi dan hal-hal lain yang berkaitan dengan mereka
mengukuhkan bahwa ulama benar-benar memberikan pengabdian yang besar terhadap
sunnah, disamping pengabdian dari ulama-ulama selain mereka. Mereka menyumbangkan
corak baru bagi warisan intelektual manusia, yangmemerlukan ketekunan dan
kecermatan berkenaan denga ilmu-ilmu naqli, yang masih bisa disaksikan sampai
saat ini dan akan tetap abadi sampai kiamat kelak.
2.
ILMU
JARH WA TA’DIL
Ilmu jarh wa
ta’dil yang dari segi bahasa berarti membuat luka pada tubuh orang lain yang
ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.[11] Dan al-Jarh secara
terminologis adalah munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat
adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan
gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.[12] Disamping al-Jarh dikenal
pula al-Tajri>h yaitu menyifati periwayat hadis dengan sifat yang
menetapkan ke-dha’if-an atau tidak diterima periwayatannya.[13]
Para ahli mendefinisikan al-Jarh sebagai berikut
الطعن فى الراوى الحديث بما يسلب أو يخلَ تعدالته أو ضبطه
Artinya
: Kecacatan pada perawi hadis karena
sesuatu yang dapat merusak keadilan dan kedhabitannya.
Sedangkan
al-A’dl secara etimologis adalah diambil dari kata عدل yang berarti menunjukkan kesamarataan.[14] Sedangkan al-Ta’di>l
adalah berartikan pelurusan atau penyesuaian.[15]
Adapun
at-ta’dil secara terminologis berarti menyifati para periwayat dengan sifat-sifat yang membersihkannya,
sehingga tampak keadilan, dan diterima perkataannya. Dengan kata lain:
عكسه هو تزكية الراوى و ألحكم عليه بأنه عدل أو ضابط
Artinya : Lawan dari Al-Jarh, yaitu pembersihan atau penyucian perawi dan ketetapan bahwa dia adil atau dhabit.[16]
Ulama lain yaitu Shubhi
al-Sha>lih
mendefinisikan al-jarh dan at-ta;dil dalam satu definisi yaitu
علم يبحث عن
الرواة من حيث ما ورد فى شأنهم مما يشنيهم أو يزكيهم بالفظ مخصوصة
Artinya
: Ilmu yang membahas tentang perawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan
keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafal tertentu.[17]
Sedangkan Muhammad Ajja>j al-Khat{i>b
mendefinisikan al-Jarh Wa al-Ta’di>l itu:
هو العلم الذي يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أو ردها
Artinya: Ilmu yang membahas hal ihwal para perawi
dari segi diteriman atau ditolak riwayat mereka.[18]
Contoh lafal tertentu :
فلان أوثق الناس (
Fulan orang yang paling dipercaya)
فلان لا يسأل عنه
( Fulan tidak dipertanyakan)
ثقة حافظ ( terpercaya
)
Adapun cara untuk mengetahui
kecacatan perawi, antara lain :
فلان أكذب الناس ( Fulan adalah orang yang paling pendusta )
فلان متهم بالكذب ( Fulan tertuduh dusta )
فلان لا محجة ( Fulan bukan hujjah )
Dalam melakukan al-Jarh Wa al-Ta’di>l para
ulama menempuh beberapa metode berikut:
1.
Bersikap
amanah dan menjelaskan para periwayat apa adanya.
2.
Bersifat
mendetail dalam mengkaji dan menghukumi keberadaan periwayat.
3.
Menerapkan
etika dalam melakukan penilaian negatif.
4.
Dalam
men-ta’di>l dilakukan secara global dan dalam men-tarji>h
dilakukan secara terperinci.
Adapun cara-cara mengetahui keadilan seseorang adalah keadilan seorang
perawi bisa diketahui melalui satu diantara dua hal berikut:
1.
Kepopuleran
keadilannya dikalangan ahli ilmu seperti, Malik ibn Anas, Sufya>n
al-Tsauriy, Syu’bah ibn al-Hajja>j, dan lain-lain. Sehingga tidak abash
mempertanyakan mereka karena yang diketahui berdasarkan kepopuleran semacam itu
lebih tinggi dibanding yang diketahui berdasarkan Tazkiyah(penilaian positif).
2.
Adakalanya
dengan Tazkiyah, yaitu penta’dilan orang yang telah terbukti adil terhadap
orang yang belum dikenal keadilannya. Tazkiyah sudah cukup dilakukan dengan
satu orang yang berstatus adil. Karena jumlah tidak disyaratkan dalam
penerimaan khabar, sehingga tidak disyaratkan pula dalam jarh dan ta’dil
perawinya.
Dalam
melakukan al-Jarh wa al-Ta’di>l, para ulama membuat
persyaratan-persyaratan bagi kritikus periwayat yaitu al- Jarh dan Mu’addi>l,
kaidah-kaidah al-Jarh Wa al-Ta’di>l, redaksi al-Jarh Wa
al-Ta’di>l, dan sebagainya sebagaimana akan dijelaskan di bab penelitian
kritik hadis. Para ulama telah menuliskan kitab-kitab yang membahas
tentangmasalh ini. Diantaranya adalah kitab al-Jarh Wa al-Ta’di>l karya
Abu al-Hasan Ahmad ibn ‘Abdillah al-Ilji al-Kuf>I yang wafat pada tahun 261
H dan masih banyak lagi kitab yang lain yang membahas masalh ini yang tidak
dapat pemakalah sebutkan satu-satu.
3. ILMU
‘ILAL AL-HADIS
Kata
‘ilal adalah bentuk jamak dari kata Al-‘ilah yang menurut bahasa berarti
al-marad (penyakit atau sakit). Menurut ulama muhaddisin, istilah ‘illah
berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang dapat mencemarkan status
keshahihan hadis, sehingga pada hadis tersebut tidak terlihat adanya kecacatan.
Adapun
yang dimaksud dengan ilmu ‘ilal al-hadis, menurut ulama muhaddisin adalah:
علم يبحث عن الأسباب الخفية الغامضة من حيث أنهم تقدح فى
صحة الحديث كوصل منقطع مرفوع موقوف وإدخال الحديث فى حديث وما شبه ذالك
Artinya: “Ilmu
yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan
hadis, misalnya mengatakan muttasil terhadap hadis yang munqati, menyebut
marfu’ terhadap hadis mauquf, memasukkan hadis ke dalam hadis lain, dan hal-hal
yang seperti ini”.
Abu
Abdullah Al-Hakim An Naisaburi dalam kitabnya ma’rifah ulum al-hadis
menyebutkan bahwa ilmu ‘ilal al-hadis ialah ilmu yang berdiri sendiri, selain
dari ilmu sahih dan dhaif, Jarh, dan ta’dil. Ia menerangkan, illat hadis tidak
termasuk dalam bahasan jarh, sebab hadis yang majrub adalah hadis yang gugur
dan tidak dipakai. Illat hadis yang banyak terdapat pada hadis yang
diriwayatkan oleh orang- orang kepercayaan, yaitu orang-orang yang menceritakan
suatu hadis yang mengandung illat tersembunyi. Karena illat tersebut maka
hadisnya disebut hadis ma’lul. Lebih jauh lagi, al-hakim menyebutkan bahwa
dasar penetapan illat hadis adalah hapalan yang sempurna, pemahaman yang
mendalam, dan pengetahuan yang cukup.
Adapun cara mengetahui ‘illat hadis
adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan
hadis dan mencermati perbedaan perawinya dan kedhabitan mereka, yang
dilakukan oleh orang yang ahli dalam ilmu ini.Dengan cara ini akan dapat
diketahui apakah hadis itu mu’tal (ada ‘illatnya ) atau tidak.
Jika menurut dugaan penelitinya ada
‘illat pada hadis tersebut maka dihukuminya sebagai hadis tidak shahih.
Pembicaraan tentang ‘illat hadis dapat di jumpai
pada beberapa buku, antara lain:
1. Nashbu
Ar-Rayah fi Takhriji Ahadis al-hidayah, karya al--Hafiz
Az- Zaila’i.
2. alt-Talkhis
al-Habir, karya
ibnu Hajar.Fathu al-Bari Syarh Shahih Bukhari,karya ibnu hajar juga.
3. Nailul
Authar, karya
Asy-Syaukani.Al-Muhalla, Karya Ibnu Hazm Ad-Zhahiri.
Buku
yang terkenal dalam ‘ilal hadis
Sebagian Ulama telah
mengkhususkan i’lal hadis dalam satu buku karangan, ada sebagian yang tersusun
berdasarkan urutan bab fiqih, dan sebagian lagi berdasarkan sistematika
musnad.Namun pada umumnya,metode penyusunan karya tentang ‘ilal adalah seorang
syaikh menanyakan sebuah hadis dari jalan tertentu,lalu menyebutkan kesalahan
pada sanadnya atau matanya atau pada keduanya. Kadang pula menyebutkan sebagian
jalan yang shahih sebagai pedoman dalam menjelaskan ‘illat hadis yang
ditanyakan.Kadang mengenalkan pada sebagian perawi dan menjelaskan keadaan
mereka baik dari segi kuat dan lemahnya, dan hafalan serta kedhabitannya.
Oleh karenanya sebagian penyusun menamakan buku mereka dengan “Al-Tharikh wa
al-‘ilal “ atau al-Rijal wa al-‘ilal.
Diantara karya-karya tersebut adalah:
1.
Kitab
“at-Tarikh wa al-‘ilal”, karya al-Hafizh Yahya bin Ma’in (w. 233 H ),di terbitkan dengan judul buku : ‘ilal
al-Hadis wa ma’rifat ar-Rijal”.
2.
Kitab ‘ilal
al-Hadis” Karya Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H ).
3.
Kitab “al-‘ilal
“al-Musnad al-Mu’allal” karya Al-Hafizh Ya’qub bin Syaibah As-Sadusi Al-Bashri
(w.262 H ).
4.
Kitab “al-‘ilal
“ Karya Imam Muhammad bin Isa At-Tirmidzi (w. 279 H ).
5.
Kitab “i’lal
al-Hadis” Karya Imam Al-Hafizh Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (w.327 H )
diterbitkan atas biaya Syekh Muhammad An-Nashif,Pustaka Salafiyah.
6.
Kitab al-‘ilal
al-Waridah fi al-Hadis An-Nabawiyah” Karya Imam Al-Hafizh Ali bin Umar
Ad-Daruquthni (w.385 H )
4.
ILMU AN-NASIKH
WA AL-MANSUKH
Menurut Ulama
ushul fiqih, Na>sakh adalah:
رفع
الشارع حكما شرعيا بد ليل شرعيي متراخ عنه
Pembatalan
hukum syara oleh sya>ri (pembuat syariat) dengan dalil syara’ yang datang
kemudian.
Sedangkan menurut Ulama ahli hadis tentang Ilmu Nasikh wa Mansu>kh
adalah Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang menasakh dan yang
dinasakh.
‘Ilmu Na>sikh wa Mansu>kh membahas
hadis_hadis yang kontradiktif yang tidak mungkin dikompromikan, maka salah
satunya yang datangnya belakangan sebagai na>sikh dan yang lain
datangnya duluan sebagai mansu>kh. Misalnya transaksi nikah kontrak (mut’ah
) pernah diperbolehkan dalam suatatu pertempuran berbulan-bulan, kemudian
belakangan dilarang Rasulullah saw.Demikian juga masalah ziara kubur dan
membekam.
Pengertian
An-Nasakh menurut bahasa, dapat dijumpai dalam al-qur’an, antara lain dalam
firman Allah SWT. Surat Al- Baqarah ayat 106:
*
$tB
ô|¡YtR
ô`ÏB
>pt#uä
÷rr&
$ygÅ¡YçR
ÏNù'tR
9ös¿2
!$pk÷]ÏiB
÷rr&
!$ygÎ=÷WÏB
3
öNs9r&
öNn=÷ès?
¨br&
©!$#
4n?tã
Èe@ä.
&äóÓx«
íÏs%
ÇÊÉÏÈ
Artinya
: “Ayat mana saja yang kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.’’(QS. Al-Baqarah:106)
Hal
menasakh (menghilangkan/mengganti ) hokum tersebut, adakalanya hadis
diganti/dinasakh oleh hadis lagi atau hadis di nasak oleh suatu ayat
Al-quran,dengan syarat-syarat,bahwa nasikh (yang menghapus ) datangnya kemudian
(mutakhir) dari pada mansukh.
·
Hadis
dinasakh oleh hadis seperti:
Hadis Syajjad bin ‘Aus Marfu’: Nabi saw mendatangi seorang laki-laki di
baqi’,sedang laki-laki tersebut sedang berbekam,lalu Nabi saw bersabda:
اْفترالحاجم
والمحجوم.روه ابودا
Artinya:Orang yang membekam dan dibekam
batallah puasanya. (HR.Abu Daud),dan lain-lain.
Hadis ini mansukh (disalin hukumnya),dengan hadis Bukhari dari Ibnu
Abbas.
إنه
صم ..احتجم وهو محرم وحتجم وهو صاءم (رواه البخارى)
"Artinya: Sesungguhnya Nabi saw berbekam pada hal ia
sedang ihram dan berbekam pula,pada hal ia sedang berpuasa.).HR.Bukhari.
Kata Imam Muslim:Ibnu Abbas menyertai Rasulullah berihram pada tahun 10
H waktu menunaikan ibadah haji wada’.Hadis Bukhari Dan Ibnu Abbas ini Nasikh
hokum yang lalu,yang diterangkan dalam hadis pertama yang diriwayatkan Sajjad
bin Aus itu.
Karena Ibnu Abbas
menyertai Nabi saw beribadat haji wada’ pada tahun 10 H.Sedangkan Sajjad menunaikan haji ketika menaklukkan kota mekah
pada tahun 8 hijriah.Jadi hadis Ibnu Abbas kemudian riwayat dari pada Sajjad bin
Aus.
·
Hadis di
Nasakh oleh ayat Al-quran seperti hadis riwayat Al-Bukhari dari Al-Barro.
إن
النبي ص م..صلى قبل بيت المقدس ستة عشر شهراز (روه البخارى)
(“Sesungguhnya
Nabi saw telah sembahyang menghadap kiblat kea rah Bitul Maqdis selama enam
belas bulan”)
Hadis ini mansukh (disalin) oleh
Ayat Al-quran.
قد
نرى تقلب وجهك ف السماء فلنء لينك قبلة ترضاها فول وجهك شترالمسجدالحرام وحيث ما
كنتم فولوا وجو هكم شطرز.البقرة َ
Artinya: Sungguh kami melihat kamu mengangkat
mukamu ke langit dengan berulang kali/menunggu wahyu.Maka sesungguhnya kami
akan menghadapkan kamu kepada arah yang kamu sukai.Maka arahkanlah mukamu ke Al
Masjidil Haram dan dimana saja kamu berada,hadapkanlah mukamu kearahnya)>.
(Al-Baqarah 144 ),
Adapun yang para pertama kali menulis tentang Nas>ikh
Al-H{adi>s wa Al-Mansu>kh adalah:
Ahmad bin Ishak Ad-Dinari ( w.318 H ),Muhammad
bin Bahr Ashbahani (w.322),Hibatullah bin Salamah (w.410),Muhammad
bin Musa al-Hazimi (w.584 )dan Ibnu al-Jauzi (w.597 ).[20]
5. GHARIB
AL-HADIS
Menurut Ibnu Shala>h, yang
dimaksud dengan Ghari>b al-h{adi>ts ialah:
Artinya: “ilmu untuk mengetahui dan menerangkan
makna yang terdapat pada lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit dipahami karena
(lafal-lafal tersebut) jarang digunakan.”
Ilmu
ini menerangkan makna-makna dari lafadz-lafadz hadis yang tidak diketahui. Ibnu
Atsir telah menerangkan bahwa Rasulullah saw. adalah orang yang paling fasih
lidahnya, yang paling terang uraiannya, dan paling mengetahui cara menyusun
kata-kata sesuai dengan keadaan. Beliau menghadapi Bahasa Arab yang
bermacam-macam kabilahnya dan berbeda-beda lahjanya. Dan menyesuaikan bahasa
dengan kondisi masayarakat yang dihadapinya. Demikian keadaanya hingga Nabi
wafat.[22]
Dengan
itulah para sahabat meneruskan perjalannya. Bahasa Arab pada masa itu belum
dimasuki oleh bahasa-bahasa Ajam, karena mereka belum menggauli bahasa-bahasa
lain. Setelah bendera Islam dapat ditancapkan di luar tanah Arab, barulah
bahasa Arab itu dicampuri oleh bahsa lain dan timbullah golongan yang harus
mempelajari bahasa Arab untuk menjadi bahasa perantara. Mereka meninggalkan
bahasanya. Dan hal ini berjalan hingga berakhir masa sahabat (abad pertama
Hijrah).
Para
tabi’in, masih tetap berbahasa baik walaupun telah mulai menurun. Ketika
berakhirnya masa tabi’in, yaitu tahun 150 H mulailah bahasa Arab menjadi bahasa
Ajam setelah orang-orang yang benar-benar masih murni bahasanya dan mulai rusak
susunan bahasa Arab. Maka, oleh karena itu gharib ini menerangkan makna-makna
yang tidak mudah diketahui dan berusahalah para ulama Islam menyusun
kitab-kitab yang khusus menerangkan bagaimana lafadz-lafadz itu disebutkan dan
menentukan makna-makna yang dimaksudkan.[23]
Memahami
makna kosakata matan hadis merupakan langkah pertama dalam memahami suatu hadis
untuk diistimbath hukumnya. Olehkarena itu, ilmu ini banyak menolong untuk
menuju ke pemahaman tersebut.[24]
Para
muhaddisin ketika menghadapi lafadz-lafadz yang gharib dan sulit untuk
menjelaskannya, juga menyerahkan kepada ahli bahasa (Ghari>b al-h{adi>ts).
Mereka juga menghindari penafsiran yang didasarkan pada pemikiran semata,
karena hal itu diharamkan.[25]
Ada
beberapa cara untuk menafsirkan hadis-hadis yang mengandung lafadzh yang gharib
ini, diantaranya:
1.
Dengan hadis
yang sanadnya yang berlainan dengan matan yang mengandung lafadz-yang gharib
tersebut.
2.
Dengan
penjelasan dari para sahabat yang meriwayatkan hadis atau sahabat yang tidak
meriwayatkannya, tapi paham akan makna gharib tersebut.
3.
Penjelasan dari
rawi selain sahabat.
Pada perkembangan selanjutnya, para ulama berusaha
menperjelas apa yang dikandung oleh kata-kata ghari>b itu dengan memberikan
syarah{ atasnya. Bahakan ada yang berusaha mensyarah secara khusus hadis-hadis
yang mengandung kata-kata yang gharib.[26] Diantara para ulama yang
pertama kali menyusun hadis-hadis gharib ialah Abu> ‘Ubaidah Ma’mar bin
Masna> At-Tarmi>mi> Al-Bisri> (wafat 210 H) dan Abu> al-H\{asan
bin Isma’i>l al-Madi>ni> an-Naha>wi> (wafat 204 H). Salah satu
kitab terbaik yang ada sekarang ini ialah kitab Niha>yah Ghari>b Al-H{adits,
karya Ibnu al-Atsi>r. [27]
6. ILMU
MUKHTALIF AL-HADIS
Ilmu Mukhtalif
al-hadi>ts ialah:
العلم الذى
يبحث فى ا لأحاديث الذى ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها أو يوفق بينها كما يبثح فى
الأحاديث التى يشكل فهمها أو تصورها فيدفع اشكالها و يوضح حقيقتها[28]
Artinya: “ilmu yang membahas tentang hadis-hadis
yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar pertentangan
tersebut dapat dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya sebagaimana
membahas hadis-hadis yang sulit dipahami isi atau kandungannya, dengan
menghilangkan kemusykilan atau kesulitannya atau serta menjelaskan hakikatnya.”
Dari
pengertian ini dapat dipahami bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadis,
maka hadis- hadis yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan
pertentangan itu sendiri. Begitu juga kemusykilan yang terlihat dalam suatu
hadis dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadis tersebut.
علم يبحث عن الأحاديث التى ظاهرها
التنلقض من حيث امكان الجامع بينها اما بتقييد مطلقها أو بتخصيص عامها أو حملهل
على تعدد الحادثة أو غير ذالك
Artinya: “ilmu yang membahas tentang hadis-hadis
yang menurut lahirnya saling bertentangan karena adanya kemungkinan dapat
dikompromikan, baik dengan cara men-yaqyid terhadap hadis yang mutlak atau
men-taksis terhadap yang umum atau dengan cara membawanya pada beberapa
kejadian yang relevan dengan hadis dan lain-lain.”
Meskipun
Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadis dengan ilmu musykil
al-hadis, ilmu takwil al-hadis, ilmu talfiq al-hadis, dan ilmu ikhtilaf
al-hadis. Akan tetapi, yang dimaksudkan oleh istilah-istilah diatas memiliki
arti yang sama.
Jadi
ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-h{adi>ts)dua atau lebih
hadis yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromosikan hadis
tersebut adakalanya dengan men-tasyi>d kemutlakan hadis, mentakhshish
keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih
banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadis, ulama fiqh, dan
lain-lain.[29]
Sebagai
contoh adalah dua hadis shahih dibawah ini:
لاعدوى ولا طيرة ولا
هامة....
Artinya : tidak ada penularan, ramalan jelek,
reinkarnasi roh yang telah meninggal ke burung hantu
Secara
lahirnya bertentangan dengan hadis :
فر من المجذوم كما تفر من الاسد
Artinya : larilah
dari orang yang sakit lepra, sebahgaimana kamu lari dari singa...
Para ulama mencoba mengkompromikan
dua hadis ini, antara lain :
1.
Ibnu
al-Shala>h menta’wilkan bahwa penyakit itu tidaak dapat menular dengan
sendirinya. Tetapi Allah lah yang menularkannya dengan perantaraan (misalnya)
ada ada pencampuran dengan orang yang sakit, melalui sebab yang berbeda-beda.
2.
al-Qadhi
al-Baqillani berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam penyait lepra
dan semisalnya itu adalah, merupakan kekhususan bagi ketiadaan penularan.
Dengan demikian arti rangkaian kalimat “la ‘adwa” itu, selain penyakit
lepra dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasul saw. mengatakan : “tidak ada
penyakit yang menular, melainkan apa yang telah kami terangkan apa saja yang
dapat menular”.
Adapun ulama yang pertama kali menghimpun ilmu
Mukhalatif al-Hadits ini imam al-Syafi’i. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa
sebenarnya Imam al-Syafi’i tidak berniat untuk menyusun ilmu ini, karena
penyusun tersebut pada mulanya dimaksudkan untuk menjelaskan
permasalahan-permasalahanyang ada dalam kitab “al-Umm”. Akan tetapi pendapat
ini tidak kuat sebab Imam al-Syafi’i juga menyusun dalam kitab tertentu dengan
nama Mukhalatif al-Hadits yang dicetak di bagian pinggiran juz ke 7 dari kitab
“al-Umm” tersebut.[30]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun
kesimpulan yang pemakalah simpulkan dari pembahasan cabang-cabang ilmu hadis
diatas adalah sebagai berikut:
1.
Adanya
perbedaan pendapat mengenai jumlah cabang-cabang ilmu hadis disebabkan adanya
kepentingan dari para ulama itu sendiri. Namun pemakalah menjelaskan
cabang-cabang ilmu hadis ini dengan enam penjelasan, yaitu:‘Ilmu Rija>l
al-Hadis},‘Ilmu al-Jarh wa al-Ta’di>l,‘Ilmu Ghari>bu al-Hadis},‘Ilmu
Mukhtalif al-Hadis} wa Musykila>tuhu,‘Ilmu Na>sikh Mansu>kh,‘Ilmu
‘Ilal al-Hadis}.
2.
Ilmu
Rijal al-Hadis adalah ilmu yang membahas
tentang keadaan para periwayat hadis baik dari kalangan sahabat, s}ahi>h,
maupun generasi-generasi berikutnya.
3.
Ilmu
Rijal al-Hadis menurut Muhammad Ajja>j al-Khat}i>b terbagi menjadi dua,
yaitu: Ilmu Ta>rikh al-Ruwa>t, dan Ilmu al-Jarh Wa Ta’di>l.
4.
Ilmu
Ta>rikh al-Ruwa>t adalah Ilmu yang mencoba mengenal para perawi hadis
dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadis tersebut
yang menerangkan tentang keadaan perawi, dengan menyebutkan tanggal kelahiran
perawi, wafatnya, guru-gurunya dan tempat tinggal perawi.
5.
Ilmu al-Jarh
Wa Ta’di>l adalah ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi
diterima atau ditolak riwayat dari para perawi.
6.
Ilmu
‘Ilal hadis adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang
dapat mencacatkan kesahihan hadis, misalnya mengatakan muttasil terhadap hadis
yang munqati, menyebut marfu’ terhadap hadis mauquf, memasukkan hadis ke dalam
hadis lain.
7.
Yang
dimaksud dengan ilmu Na>sikh Wa al-Mansu>kh dalam ilmu hadis adalah ilmu
yang membahas tentang hadis-hadis yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan
dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang
kemudian dinamakan nasikh.
8.
Ilmu Ghari>bu
al-Hadis adalah ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang
terdapat pada lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit dipahami karena (lafal-lafal
tersebut) jarang digunakan. Dan pada masa itu bahasa
yang digunakan adalah bahasa Ajam, Karena bahasa Arab belum dimasuki dengan
bahasa Ajam.
9.
Ilmu Mukhtalif
al-Hadis adalah ilmu yang membahas tentang hadis-hadis
yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar pertentangan
tersebut dapat dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya sebagaimana
membahas hadis-hadis yang sulit dipahami isi atau kandungannya, dengan
menghilangkan kemusykilan atau kesulitannya atau serta menjelaskan hakikatnya.
Daftar
Pustaka
Abidin, Zainal.
Mustalah Hadis, Cet. II; Bandung: Fa.Setia Karya,1984.
Ibnu Katsi>r
al-H{a>fidz, al-Basis al-Hadi>ts; Syarh{ Ihtisha>r ‘Ulum
al-H{adi>ts, Beirut: Da>r al-Tsaqafa>t
al-Isla>miyah, t.th.
Idri, Studi
Ilmu Hadis. Cet I; Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2010.
Khon, Abdul Majid. Ulumul
Hadis . Cet IV; Jakarta: Amzah, 2010.
Munawwir,
Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Edisi
II, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Shala>h,
Ibnu. ‘Ulum al-Hadi>ts, Cet. 1; Makkah: Maktabat al-Tijariyah, 1993.
Sulaiman
M.Noor, Antologi Ilmu Hadits , Cet II;
Jakarta: GP Press, 2009.
Suparta
Munzier, Ilmu Hadis, Cet VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Zakariyya,
Abu al-Husain Ahmad bin Faris Ibnu >.
Maqa>yis Al-Lughah, juz IV
Ittiha>d al-kita>b al-’Arab, 2007.
al-Khat}i>b,
Ajjaj. Ushu>l al-Hadi>s Ulu>muhu wa Must}alahuhu (Ushul
al-Hadis Pokok-Pokok Ilmu Hadis), terj. Qadiran Nur dan Ahmad Musyafiq, Cet.IV;
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
al-Khat}i>b, Ajjaj. Ushu>l
al-Hadi>s Ulu>muhu wa Must}alahuhu. Beirut; Dar al-Fikri, 1989.
al-Misri,
Muhammad bin Mukrim bin Manzu>r al-Afri>qi>. Lisa>n al-‘Arab, Cet.III;
Beirut: Dar S}ha>dir, t.th.
al-Qaththan,
Syeikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadis, Cet.I; Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar,2005.
al-Tah{a>wii>,
Kasyf Isthila>h{ al-Funu>n, Jilid III, t.t: al-Hai’ah al-A<mmah
li al-Kutta>b, t.th.
ash-Shiddieqy, M.Hasbi.
Pokok-Pokok Dirayah Hadis , Cet
VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
as-Salih, Subhi. Ulum
Al-Hadis Wa Musthalahuh, t.t: Dar Al-Ilm Al-Malayin, 1977.
[6] Ajjaj
al-Khat}i>b, Ushu>l al-Hadi>s Ulu>muhu wa Must}alahuhu (Ushul
al-Hadis Pokok-Pokok Ilmu Hadis) , terj. Qadiran Nur dan Ahmad Musyafiq,
(Cet.IV; Jakarta: Gaya Media Pratama 2007), h.227
[11] Muhammad bin Mukrim bin
Manzu>r al-Afri>qi> al-Misri>, Lisa>n al-‘Arab, (cet.III: Beirut: Dar
S}ha>dir), h.246
[14] Abu al-Husain Ahmad bin Faris Ibnu Zakariyyah, Maqa>yis
Al-Lughah, juz IV
(Ittiha>d al-kita>b al-’Arab 2007 ),h.200
[15] Ahmad Warson Munawwir, Kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia( Edisi II, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.906
[19] Syeikh Manna’ al-Qaththan,Pengantar
Studi Ilmu Hadis,(Cet.I;Jakarta Timur;Pustaka Al-Kautsar,2005),h. 100.
[21] Ibnu Shala>h, ‘Ulum
al-Hadi>ts, (Cet. 1; Makkah: Maktabat al-Tijariyah, 1993), h. 258
[22] M.Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok
Dirayah Hadis (Cet VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 309
[23] Ibid.
[24] Munzier Suparta, Ilmu
Hadis, (Cet VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 41
[25] Ibid.
[26] M.Noor Sulaiman, Antologi
Ilmu Hadits (Cet II; Jakarta: GP Press, 2009), h. 82
[27] al-Tah{a>wii>, Kasyf
Isthila>h{ al-Funu>n, Jilid III, (t.t: al-Hai’ah al-A<mmah li
al-Kutta>b, t.th.), h. 127
[28] al-H{a>fidz Ibnu
Katsi>r, al-Basis al-Hadi>ts; Syarh{ Ihtisha>r ‘Ulum al-H{adi>ts
(Beirut: Da>r al-Tsaqafa>t al-Isla>miyah, t.th.), h. 166
Tidak ada komentar:
Posting Komentar