Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Rabu, 24 Oktober 2012

Aliran kalam Asy’ariyyah



BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika pemikiran islam pada golongan Muktazilah bercorak rasionalisme murni, maka pada masa sesudahnya berubah coraknya sedemikian rupa, sehingga bisa diterima sebagai alat memperkuat ajaran-ajaran agama dan tali penghubung taklid buta yang memegangi teks-teks atau nash penakwilan nash sebagai jalan untuk menundukkan agama kepada akal pikiran semata-mata tali penghubung tersebut diadakan oleh seseorang yang mula-mula terdidik atas paham kemuktazilahan dan memeluk ajaran-ajarannya dan pada akhirnya ia meninggalkan ajaran tersebut dan membentuk ajaran sendiri yang terkenal dengan nama Asy’ariyyah. Ahli pikir tersebut ialah Abu Hasan al-Asy’ari
Kemudian jika dilihat juga dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berpikir.Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi.
Dari berbagai macam aliran tersebut,semuanya berkomitmen bahwa alirannyalah yang paling benar,sehingga sikap saling menjatuhkan atau saling menyesatkan tidak terelakkan lagi dari mereka. Maka dari itu agar tidak terjebak dalam kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya. Dengan semangat itulah, pemakalah mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Asy,ariyyah dalam makalah ini.
B.Rumusan Masalah
1.         Bagaimana sejarah munculnya Asy’ariyyah ?
2.         Bagaimana dealektika pemikiran Asy’ariyyah ?
3.         Jelaskan metodologi pemikiran Asy’ariyyah ?













BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Munculnya Aliran Asy’ariyyah
Aliran Asy’ariyyah yang dibangun pertama kali oleh Abu Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ari (260-324 H). Ia adalah seorang pemikir yang muncul pada masa Islam mencapai puncak kemajuan pemikiran. Dia termasuk mutakallim terbesar yang pernah dimiliki dunia Islam. Kebesaran tokoh ini terbukti dari mayoritas umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia dan Malaysia, adalah penganut paham al-Asy’arriyyah, terutama yang bermazhab Syafi’i. Al-Asy’ari mulanya adalah seorang tokoh penting di kalangan Muktazilah.
Ia memperoleh latihan intelektual di bawah gemblengan seorang tokoh Muktazilah di zamannya, yaitu Abu Ali al-Jubbai. Bahkan prestasinya sebagai kader Muktazilah telah teruji antara lain dengan kepercayaan yang dilimpahkan oleh al-Jubbai kepadanya untuk mewakili sang guru beradu argumen dengan lawan-lawan debatnya.[1]
Sebutan “al-Asy’ari”, dinisbatkan kepada salah seorang sahabat Nabi, yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Nama dan nashab yang lengkap dari pendiri aliran ini ialah: Abu Hasan ‘Ali ibn Ismail ibn Abi Bishr Ishaq ibn Salim ibn Isma’il ibn Abdillah bin Musa ibn Bilal ibn Abi Burdah ‘Amir ibn Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lahir di Basrah pada tahun 260 H/873 M, dan wafat di Bagdad pada tahun 324 H/935 M.[2]
Aliran ini muncul setelah Abu Hasan al-Asy’ari mendeklarasikan dirinya keluar dari Muktazilah sebagai aliran yang pernah dianutnya hingga usia 40 tahun. Beliau meninggalkan Muktazilah karena dia tidak mendapatkan sesuatu yang bisa menentramkan jiwa dan pikirannya meskipun baliau telah lama mendalami mazhab tersebut, bahkan dalam penilaian Asy’ari, aliran Muktazilah telah terlampau jauh dalam memberikan batas kewenangan bagi akal sehingga agama tidak lebih dari sekedar isu-isu falsafah dan argumen logika, teks-teks al-Qur’an dan Hadis tidak lagi menjadi acuan dan pedoman, tetapi justru sebaliknya agama hanyalah menjadi perbudakan akal.[3]

2. Dialektika Pemikiran Al-Asy’ariyyah
Teologi sebagai ilmu yang membincangkan tentang ketuhanan dan kewajiban-kewajiban menusia terhadap Tuhan, memakai argumen naqli dan rasional untuk memperoleh pengetahuan mengenai kedua persoalan tersebut. Argumen rasional sebagai daya berfikir yang ada di dalam diri manusia berusaha untuk sampai kepada diri Tuhan, dan argumen tekstual (wahyu) yang berfungsi sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada menusia dengan keterangan-keterangan tentang Allah dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah.
Untuk melacak sejauh mana fungsi argumen rasional dan tekstual didalam aliran-aliran teologi islam, biasanya diskusi difokuskan kepada dua persoalan pokok dalam agama yaitu: apakah dengan akal yang mempunyai daya pikir, manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui perbuatan baik dan perbuatan buruk? Sejauh manakah fungsi wahyu dalam membimbing perbuatan manusia? apakah akal pula mempunyai kemampuan pula untuk mengetahui Tuhan?
Menurut Asy’ariyyah akal tidak dapat mengetahui apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk dan hal itu hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk itu wajib bagi manusia. Akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan, tetapi yang mewajibkan manusia untuk mengetahui Tuhan serta berterima kasih kepada-Nya hanyalah wahyu. Juga melalui wahyu pulalah dapat diketahui bahwa orang yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh ganjaran dan yang tidak patuh kepada-Nya akan memperoleh hukuman. Dengan kata lain, menurut Asy’ariyyah wahyulah yang pertama-tama mentukan baik dan buruk. Akal tidak mempunyai kuasa dalam hal ini. Kalau sekiranya wahyu menyatakan dusta itu baik, tentulah ia menjadi baik. Sebaliknya, kalau wahyu melarang kejujuran, tentulah ia menjadi buruk.
Selanjutnya, kalau perbuatan baik dan buruk itu berdiri sesuai dengan esensinya, tentu norma-norma tentang itu tidak berubah-ubah. Sedangkan dalam realitasnya ternyata norma-norma itu dapat berubah sesuai keadaan. Apa yang dipandang hari ini oleh akal baik, belum tentu baik pula untuk hari esok. Lagi pula membunuh dalam pandangan akal adalah buruk, boleh menjadi baik dan bahkan wajib dalam masalah qishas. Karena itu norma baik dan buruk yang ditetapkan oleh akal manusia, tidak dapat dijadikan ukuran sebab ia bersifat relatif dan dapat berubah sesuai dengan keadaan lingkungan, pengalaman, dan lain-lain.
Penjelasan mengenai persoalan diatas lebih lanjut dapat dilihat dalam karangan-karangan yang diungkap oleh tokoh-tokoh al-Asy’ariyyah. Menurut al-Baghdadi, akal dapat mengetahui Tuhan tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu.
Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu, tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi manusia. Jika seseorang sebelum wahyu turun sekiranya dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifat-Nya dan kemudian percaya kepada-Nya maka orang demikian adalah mukmin, tetapi tidak berhak untuk mendapatkan upah atau ganjaran dari Tuhan. Jika orang demikian dimasukkan ke dalam surga, maka itu adalah kemurahan hati Tuhan. Dan  sebaliknya jika seseorang sebelum adanya wahyu tidak percaya pada Tuhan ia adalah kafir dan ateis tetapi tidak mesti mendapat hukuman. Kalau sekiranya Tuhan memasukkannya kedalam neraka untuk selama-lamanya itu bukan merupakan hukuman.
Adapun soal mengetahui Tuhan, al-Ghazali mengetakan bahwa wujud Tuhan dapat diketahui melalui pemikiran tentang alam yang bersifat diciptakan. Mengandung arti bahwa permasalahan tersebut dapat diketahui melalui akal. Hal ini diperkuat oleh keterangan al-Ghazali selanjutnya bahwa objek pengetahuan terbagi kepada tiga. Pertama, yang dapat diketahui dengan akal saja; kedua, yang dapat diketahui hanya dengan wahyu saja; dan yang ketiga, yang dapat diketahui dengan akal dan wahyu. Wujud Allah dimasukkan oleh al-Ghazali kedalam kategori pertama, yaitu kategori yang dapat diketahui dengan akal tanpa bantuan wahyu.
Dari uraian diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dapat diketahui oleh akal menurut Asy’ari dan tokoh-tokoh Asy’ari lainnya, hanyalah wujud Allah, sedangkan perbuatan baik dan buruk ditentukan oleh Allah, bukanlah oleh akal manusia. Oleh karena itu baik dan buruk tidak dapat diketahui oleh akal. Wahyulah yang menjelaskan baik dan buruk kepada manusia. Dengan demikian bagi kaum Asy’ariyyah wahyu mempunyai kedudukan yang amat penting karena akal hanya dapat mengetahui tentang adanya Allah saja. Manusia mengetahui baik dan buruk serta mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu.[4]

3. Metodologi Pemikiran Asy’ariyyah
Metodologi pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dapat dilihat dari beberapa aspek tinjauan,yaitu aspek dasar pijakan (sumbernya),aspek dualisme (mendua) dan aspek kemoderatan (posisi menengah) diantara beberapa metodologi yang ekstrim.
a.      Dasar Pijakan (sumber) Metodologi al-Asy’ari.
Sebelum muncul aliran ini,kancah pemikiran teologi saat itu dikuasai oleh dua aliran yang berseteru dalam memahami akidah Islam.Dua aliran yang dimaksud adalah aliran Muktazilah dan aliran Hanabilah.Muktazilah adalah sebuah aliran yang menjunjung tinggi akal,sementara Hanabilah adalah aliran yang menjunjung tinggi nash.Berdasarkan evaluasi Imam al-Asy’ari,kedua aliran ini sama bahayanya bagi umat Islam yang bisa menjadi bibit perpecahan.Muktazilah akan menggiring ajaran Islam kepada kajian-kajian filosofis yang jauh dari kejernihan  akidah Islam.Sementara Hanabilah akan menggiring ajaran Islam kepada kemujudan.
Dari kondisi inilah memberikan inspirasi dan motivasi kepada Abu Hasan al-Asy’ari.Ia kemudian meyakini bahwa sebuah kemestian bagi kalangan rasional dan kalangan tekstual bersatu dan bertemu dalam sebuah aliran baru yang dapat mengapresiasi kedua sumber akidah secara proporsional yaitu akal dan nash secara bersamaan.
Imam Asy’ari kemudian menggagas akidahnya tersebut dengan konstruk pemikiran yang baru dengan berupaya menyelaraskan akal dan nash dalam memahami hukum.
Selanjutnya al-Ghazali berpendapat bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian, kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.

b.      Dualisme (mendua) Metodologi al-Asy’ari.
Beberapa pengkaji teologi menilai bahwa, oleh karena tidak mampu bertahan pada metodologi Salaf, Imam al-Asy’ari beralih pada metodologi baru yang berbeda dengan metodologi yang ia kembangkan sebelumnya. Dengan demikian ia telah menempuh dua metodologi pemikiran, yaitu metodologi pemikiran yang mendekati Salaf dan metodologi pemikiran yang mendekati Muktazilah.
Adapun metodologi pemikiran yang dianggap mendekati metodologi salaf, ia tempuh sebagai konsekuensi logis dari kondisi objektif yang ia alami ketika ia sangat membenci aliran Muktazilah karena terlalu melampaui dalam menggunakan akal. Metodologi ini dituangkan dalam karyanya “al-Ibanah”. Menurut sejarah, karyanya ini ditulisnya tidak lama setelah ia beralih dari aliran Muktazilah. Al-Ibanah memuat sikap dan pandangan al-Asy’ari yang jelas mengenai posisi nash yang lebih tinggi dibanding dengan posisi akal.
Adapun metodologinya yang dianggap mendekati metodologi berfikir Muktazilah adalah sebagai konsekuensi dari perkembangan pemikirannya setelah ia mampu mengendalikan keseimbangan dan setelah apa yang ia khawatirkan dari aliran Muktazilah sirna dari alam fikirannya. Metodologi seperti ini dirumuskan dalam karyanya “al-Luma’ ”, karya yang ia tulis setelah “al-Ibanah”.
Dalam buku “al-Luma’ ”, Asy’ari memposisikan akal setara dengan nash, berbeda dengan sikapnya pada “al-Ibanah” sebelumnya ia menjadikan posisi nash diatas akal. Bahkan dalam buku “al-Luma’ ”, ketika ia mendiskusikan masalah-masalah teologi, ia memposisikan akal sedikit lebih tinggi dari posisi nash.

c.       Al-Asy’ari dan Metodologi Moderat
Banyak dari kalangan pengkaji mengatakan bahwa metodologi al-Asy’ari adalah metodologi pertengahan (moderat) di antara metodologi aliran-aliran yang ada dan berkembang masa itu. Faktor pendorong atas moderasi metodologi Asy’ari adalah kondisi aliran-aliran yang ada di masa itu selalu konflik antara satu aliran dengan yang lainnya dan oleh al-Asy’ari menganggapnya sebagai suatu kondisi yang sangat berbahaya.
Salah satu isu-isu teologi yang diangkat oleh Asy’ari misalnya menurut Murjiah, pelaku dosa besar akan disiksa hanya untuk sementara waktu saja selepas itu ia adalah ahli surga. Sementara Muktazilah mengatakan bahwa ia berada di antara dua posisi, antara keimanan dan kekafiran, ia bukan beriman bukan juga orang kafir. Akibatnya jika ia meninggal sebelum bertaubat, maka ia masuk neraka selamanya. Asy’ari mengambil jalan tengah dan mengatakan: “sesungguhnya pelaku dosa besar adalah orang mukmin yang berdosa, bila ia meninggal sebelum bertaubat, maka statusnya akan diserahkan kepada Allah, bila Allah memaafkannya maka ia akan bebas, dan apabila Allah menghendakai maka ia akan disiksa”.[5]
Mengenai sifat-sifat Allah swt. Asy’ari berkata “tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah dan Allah tidak tidak menyerupai sesuatu apapun. Sebab jika Allah menyerupai sesuatu maka ada kemungkinan keserupaan itu  dalam semua segi atau pun hanya sebagiannya saja. Dalam kedua hal tersebut Allah akan menjadi sesuatu yang baru. Hal ini tidaklah benar, karena Allah adalah Dzat yang qadim (terdahulu) dan Esa”. Asy’ari membantah pernyataan Muktazilah yang mewajibkan kepada Allah untuk berbuat yang terbaik. Menurut Asy’ari, Allah swt. memiliki kehendak yang bebas dan tidak terikat. Oleh karena itu bisa saja Allah swt menyiksa anak-anak yang mati sebelum baligh di akhirat nanti. Asy’ari juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan iman adalah membenarkan adanya Alla swt. karenanya orang muslim yang fasiq masih dikategorikan sebagai mukmin karena dia masih memiliki iman, hanya dianggap fasiq lebih dikarenakan pebuatan yang dilakukannya.[6]









BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Ø Firqah Al-Asy’ariyyah merupakan firqah yang dibangun diatas pondasi Al-Qur’an dan Hadist, sehingga ajarannya tidak bersebrangan dengan kedua pondasi tersebut.
Ø Asy’ariyyah yang sebelumnya adalah orang Mu’tazilah, pada akhirnya kluar dari firqah itu, maka secara mudah ia mematahkan argumen-argumen dari mu’tazilah untuk mendongkrak firqah barunya itu.
Ø Adalah hal wajar jika firqah Al-Asy’ariyyah bisa diterima oleh banyak kalangan, karena manhaj al-fikrnya tidak serumit yang ditawarkan oleh golongan mu’tazilah.

B.   Kritik dan Saran
Makalah ini disusun dengan kerja keras, meskipun dengan keterbatasan ilmu dan masih dalam proses pembelajaran.Tentunya masih banyak kekurangan di dalamnya maka dari itu kritik serta saran dari teman-teman dan khususnya dosen pembimbing, sangat pemakalah harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.


                                 


DAFTAR PUSTAKA
Kamba, Nursamad. Konstruksi Islam Moderat. Yogyakarta: Ladang Kata, t. th.
al-Hafini, Abdul Mun’im. Mausu’ah al-Harakat wal Mazahib al-Islamiya fil ‘Alam. Terj. Muhtarom.Lc, ENSIKLOPEDIA Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam Seluruh Dunia.  Jakarta Selatan: Grafindo Khazanah Ilmu, t. th.
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia(UI Press), 1986.
al-Rasyid, Hamzah Harun. al-Asy’ariyyah. Makassar: Alauddin University Press, t. th.


[1] Tim Penulis Alumni Timur Tengah, Konstruksi Islam Moderat “Menguak Prinsip Rasionalitas, Humanitas, Universalitas Islam” (Makassar: ICATT Press, 2012), h. 14.
[2] Harun Nasution, Teologi Islam (Cet V; Jakarta: Universitas Indonesia(UI-Press), 1986), h. 66
[3] Ibid., h. 16.
[4] Hamzah Harun Al-Rasyid, Al-Asy’ariyah, sejarah, metodologi, dan kontribusinya bagi peningkatan produktivitas kerja (Makassar: Alauddin Press, t. th.), h. 20.
[5] Ibid., h. 49.
[6] Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni, Mausu’ah al-Harakat wal Mazahib al-Islamiya fil ‘Alam. Terj. Muhtarom.Lc, ENSIKLOPEDIA Golongan, kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam Seluruh Dunia (Cet 2; Jakarta Selatan: Grafindo Khazanah Ilmu), h. 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar