BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Banyak aliran dan mazhab yang
timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran
berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu
kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih,
Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika pemikiran
islam pada golongan Muktazilah bercorak rasionalisme murni, maka pada masa
sesudahnya berubah coraknya sedemikian rupa, sehingga bisa diterima sebagai
alat memperkuat ajaran-ajaran agama dan tali penghubung taklid buta yang
memegangi teks-teks atau nash penakwilan nash sebagai jalan untuk menundukkan
agama kepada akal pikiran semata-mata tali penghubung tersebut diadakan oleh
seseorang yang mula-mula terdidik atas paham kemuktazilahan dan memeluk
ajaran-ajarannya dan pada akhirnya ia meninggalkan ajaran tersebut dan
membentuk ajaran sendiri yang terkenal dengan nama Asy’ariyyah. Ahli
pikir tersebut ialah Abu Hasan al-Asy’ari
Kemudian jika dilihat juga
dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu
menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini
berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh
yang tidak pernah mau berpikir.Namun dari semua aliran yang mewarnai
perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya
konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau
berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi.
Dari berbagai macam aliran tersebut,semuanya berkomitmen
bahwa alirannyalah yang paling benar,sehingga sikap saling menjatuhkan atau
saling menyesatkan tidak terelakkan lagi dari mereka. Maka dari itu agar tidak terjebak dalam
kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji kelompok
ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap
sisinya. Dengan semangat itulah, pemakalah mencoba menguraikan beberapa hal
yang berkaitan tentang Asy,ariyyah dalam makalah ini.
B.Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah munculnya Asy’ariyyah ?
2.
Bagaimana dealektika pemikiran Asy’ariyyah ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah
Munculnya Aliran Asy’ariyyah
Aliran Asy’ariyyah yang dibangun
pertama kali oleh Abu Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ari (260-324 H). Ia adalah
seorang pemikir yang muncul pada masa Islam mencapai puncak kemajuan pemikiran.
Dia termasuk mutakallim terbesar yang pernah dimiliki dunia Islam. Kebesaran
tokoh ini terbukti dari mayoritas umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia
dan Malaysia, adalah penganut paham al-Asy’arriyyah, terutama yang bermazhab
Syafi’i. Al-Asy’ari mulanya adalah seorang tokoh penting di kalangan
Muktazilah.
Ia memperoleh latihan intelektual di
bawah gemblengan seorang tokoh Muktazilah di zamannya, yaitu Abu Ali al-Jubbai.
Bahkan prestasinya sebagai kader Muktazilah telah teruji antara lain dengan
kepercayaan yang dilimpahkan oleh al-Jubbai kepadanya untuk mewakili sang guru
beradu argumen dengan lawan-lawan debatnya.[1]
Sebutan “al-Asy’ari”, dinisbatkan
kepada salah seorang sahabat Nabi, yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Nama dan nashab
yang lengkap dari pendiri aliran ini ialah: Abu Hasan ‘Ali ibn Ismail ibn Abi
Bishr Ishaq ibn Salim ibn Isma’il ibn Abdillah bin Musa ibn Bilal ibn Abi
Burdah ‘Amir ibn Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lahir di Basrah pada tahun 260 H/873 M, dan wafat di
Bagdad pada tahun 324 H/935 M.[2]
Aliran ini muncul setelah Abu Hasan
al-Asy’ari mendeklarasikan dirinya keluar dari Muktazilah sebagai aliran yang
pernah dianutnya hingga usia 40 tahun. Beliau meninggalkan Muktazilah karena
dia tidak mendapatkan sesuatu yang bisa menentramkan jiwa dan pikirannya
meskipun baliau telah lama mendalami mazhab tersebut, bahkan dalam penilaian
Asy’ari, aliran Muktazilah telah terlampau jauh dalam memberikan batas
kewenangan bagi akal sehingga agama tidak lebih dari sekedar isu-isu falsafah
dan argumen logika, teks-teks al-Qur’an dan Hadis tidak lagi menjadi acuan dan
pedoman, tetapi justru sebaliknya agama hanyalah menjadi perbudakan akal.[3]
2. Dialektika
Pemikiran Al-Asy’ariyyah
Teologi sebagai ilmu yang
membincangkan tentang ketuhanan dan kewajiban-kewajiban menusia terhadap Tuhan,
memakai argumen naqli dan rasional untuk memperoleh pengetahuan mengenai kedua
persoalan tersebut. Argumen rasional sebagai daya berfikir yang ada di dalam
diri manusia berusaha untuk sampai kepada diri Tuhan, dan argumen tekstual
(wahyu) yang berfungsi sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada
menusia dengan keterangan-keterangan tentang Allah dan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap Allah.
Untuk melacak sejauh mana fungsi
argumen rasional dan tekstual didalam aliran-aliran teologi islam, biasanya
diskusi difokuskan kepada dua persoalan pokok dalam agama yaitu: apakah dengan
akal yang mempunyai daya pikir, manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui
perbuatan baik dan perbuatan buruk? Sejauh manakah fungsi wahyu dalam
membimbing perbuatan manusia? apakah akal pula mempunyai kemampuan pula untuk
mengetahui Tuhan?
Menurut Asy’ariyyah akal tidak dapat
mengetahui apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk dan hal itu hanya dapat
diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan
tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk itu
wajib bagi manusia. Akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan, tetapi yang
mewajibkan manusia untuk mengetahui Tuhan serta berterima kasih kepada-Nya
hanyalah wahyu. Juga melalui wahyu pulalah dapat diketahui bahwa orang yang
patuh kepada Tuhan akan memperoleh ganjaran dan yang tidak patuh kepada-Nya
akan memperoleh hukuman. Dengan kata lain, menurut Asy’ariyyah wahyulah yang
pertama-tama mentukan baik dan buruk. Akal tidak mempunyai kuasa dalam hal ini.
Kalau sekiranya wahyu menyatakan dusta itu baik, tentulah ia menjadi baik.
Sebaliknya, kalau wahyu melarang kejujuran, tentulah ia menjadi buruk.
Selanjutnya, kalau perbuatan baik dan
buruk itu berdiri sesuai dengan esensinya, tentu norma-norma tentang itu tidak
berubah-ubah. Sedangkan dalam realitasnya ternyata norma-norma itu dapat
berubah sesuai keadaan. Apa yang dipandang hari ini oleh akal baik, belum tentu
baik pula untuk hari esok. Lagi pula membunuh dalam pandangan akal adalah
buruk, boleh menjadi baik dan bahkan wajib dalam masalah qishas. Karena itu norma baik
dan buruk yang ditetapkan oleh akal manusia, tidak dapat dijadikan ukuran sebab
ia bersifat relatif dan dapat berubah sesuai dengan keadaan lingkungan, pengalaman,
dan lain-lain.
Penjelasan mengenai persoalan diatas
lebih lanjut dapat dilihat dalam karangan-karangan yang diungkap oleh
tokoh-tokoh al-Asy’ariyyah. Menurut al-Baghdadi, akal dapat mengetahui Tuhan
tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena
segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu.
Oleh karena itu, sebelum turunnya
wahyu, tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi
manusia. Jika seseorang sebelum wahyu turun sekiranya dapat mengetahui Tuhan
serta sifat-sifat-Nya dan kemudian percaya kepada-Nya maka orang demikian
adalah mukmin, tetapi tidak berhak untuk mendapatkan upah atau ganjaran dari
Tuhan. Jika orang demikian dimasukkan ke dalam surga, maka itu adalah kemurahan
hati Tuhan. Dan sebaliknya jika
seseorang sebelum adanya wahyu tidak percaya pada Tuhan ia adalah kafir dan
ateis tetapi tidak mesti mendapat hukuman. Kalau sekiranya Tuhan memasukkannya
kedalam neraka untuk selama-lamanya itu bukan merupakan hukuman.
Adapun soal mengetahui Tuhan,
al-Ghazali mengetakan bahwa wujud Tuhan dapat diketahui melalui pemikiran
tentang alam yang bersifat diciptakan. Mengandung arti bahwa permasalahan
tersebut dapat diketahui melalui akal. Hal ini diperkuat oleh keterangan
al-Ghazali selanjutnya bahwa objek pengetahuan terbagi kepada tiga. Pertama,
yang dapat diketahui dengan akal saja; kedua, yang dapat diketahui hanya dengan
wahyu saja; dan yang ketiga, yang dapat diketahui dengan akal dan wahyu. Wujud
Allah dimasukkan oleh al-Ghazali kedalam kategori pertama, yaitu kategori yang
dapat diketahui dengan akal tanpa bantuan wahyu.
Dari uraian diatas dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa yang dapat diketahui oleh akal menurut Asy’ari dan tokoh-tokoh
Asy’ari lainnya, hanyalah wujud Allah, sedangkan perbuatan baik dan buruk
ditentukan oleh Allah, bukanlah oleh akal manusia. Oleh karena itu baik dan
buruk tidak dapat diketahui oleh akal. Wahyulah yang menjelaskan baik dan buruk
kepada manusia. Dengan demikian bagi kaum Asy’ariyyah wahyu mempunyai kedudukan
yang amat penting karena akal hanya dapat mengetahui tentang adanya Allah saja.
Manusia mengetahui baik dan buruk serta mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya
karena turunnya wahyu.[4]
3. Metodologi Pemikiran Asy’ariyyah
Metodologi pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari
dapat dilihat dari beberapa aspek tinjauan,yaitu aspek dasar pijakan (sumbernya),aspek
dualisme (mendua) dan aspek kemoderatan (posisi menengah) diantara beberapa
metodologi yang ekstrim.
a. Dasar Pijakan (sumber) Metodologi
al-Asy’ari.
Sebelum muncul
aliran ini,kancah pemikiran teologi saat itu dikuasai oleh dua aliran yang
berseteru dalam memahami akidah Islam.Dua aliran yang dimaksud adalah aliran
Muktazilah dan aliran Hanabilah.Muktazilah adalah sebuah aliran yang menjunjung
tinggi akal,sementara Hanabilah adalah aliran yang menjunjung tinggi nash.Berdasarkan
evaluasi Imam al-Asy’ari,kedua aliran ini sama bahayanya bagi umat Islam yang
bisa menjadi bibit perpecahan.Muktazilah akan menggiring ajaran Islam kepada
kajian-kajian filosofis yang jauh dari kejernihan akidah Islam.Sementara Hanabilah akan
menggiring ajaran Islam kepada kemujudan.
Dari kondisi
inilah memberikan inspirasi dan motivasi kepada Abu Hasan al-Asy’ari.Ia
kemudian meyakini bahwa sebuah kemestian bagi kalangan rasional dan kalangan
tekstual bersatu dan bertemu dalam sebuah aliran baru yang dapat mengapresiasi
kedua sumber akidah secara proporsional yaitu akal dan nash secara bersamaan.
Imam Asy’ari
kemudian menggagas akidahnya tersebut dengan konstruk pemikiran yang baru
dengan berupaya menyelaraskan akal dan nash dalam memahami hukum.
Selanjutnya
al-Ghazali berpendapat bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi
manusia, kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian, kewajiban
mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang jahat hanya dapat
diketahui dengan perantaraan wahyu.
b.
Dualisme
(mendua) Metodologi al-Asy’ari.
Beberapa pengkaji
teologi menilai bahwa, oleh karena tidak mampu bertahan pada metodologi Salaf,
Imam al-Asy’ari beralih pada metodologi baru yang berbeda dengan metodologi yang
ia kembangkan sebelumnya. Dengan demikian ia telah menempuh dua metodologi
pemikiran, yaitu metodologi pemikiran yang mendekati Salaf dan metodologi
pemikiran yang mendekati Muktazilah.
Adapun metodologi
pemikiran yang dianggap mendekati metodologi salaf, ia tempuh sebagai
konsekuensi logis dari kondisi objektif yang ia alami ketika ia sangat membenci
aliran Muktazilah karena terlalu melampaui dalam menggunakan akal. Metodologi
ini dituangkan dalam karyanya “al-Ibanah”. Menurut sejarah, karyanya ini
ditulisnya tidak lama setelah ia beralih dari aliran Muktazilah. Al-Ibanah
memuat sikap dan pandangan al-Asy’ari yang jelas mengenai posisi nash yang
lebih tinggi dibanding dengan posisi akal.
Adapun
metodologinya yang dianggap mendekati metodologi berfikir Muktazilah adalah
sebagai konsekuensi dari perkembangan pemikirannya setelah ia mampu
mengendalikan keseimbangan dan setelah apa yang ia khawatirkan dari aliran
Muktazilah sirna dari alam fikirannya. Metodologi seperti ini dirumuskan dalam
karyanya “al-Luma’ ”, karya yang ia tulis setelah “al-Ibanah”.
Dalam buku
“al-Luma’ ”, Asy’ari memposisikan akal setara dengan nash, berbeda dengan
sikapnya pada “al-Ibanah” sebelumnya ia menjadikan posisi nash diatas akal.
Bahkan dalam buku “al-Luma’ ”, ketika ia mendiskusikan masalah-masalah teologi,
ia memposisikan akal sedikit lebih tinggi dari posisi nash.
c. Al-Asy’ari dan Metodologi Moderat
Banyak dari
kalangan pengkaji mengatakan bahwa metodologi al-Asy’ari adalah metodologi
pertengahan (moderat) di antara metodologi aliran-aliran yang ada dan
berkembang masa itu. Faktor pendorong atas moderasi metodologi Asy’ari adalah
kondisi aliran-aliran yang ada di masa itu selalu konflik antara satu aliran
dengan yang lainnya dan oleh al-Asy’ari menganggapnya sebagai suatu kondisi
yang sangat berbahaya.
Salah satu
isu-isu teologi yang diangkat oleh Asy’ari misalnya menurut Murjiah, pelaku
dosa besar akan disiksa hanya untuk sementara waktu saja selepas itu ia adalah
ahli surga. Sementara Muktazilah mengatakan bahwa ia berada di antara dua
posisi, antara keimanan dan kekafiran, ia bukan beriman bukan juga orang kafir.
Akibatnya jika ia meninggal sebelum bertaubat, maka ia masuk neraka selamanya. Asy’ari
mengambil jalan tengah dan mengatakan: “sesungguhnya pelaku dosa besar adalah
orang mukmin yang berdosa, bila ia meninggal sebelum bertaubat, maka statusnya
akan diserahkan kepada Allah, bila Allah memaafkannya maka ia akan bebas, dan
apabila Allah menghendakai maka ia akan disiksa”.[5]
Mengenai
sifat-sifat Allah swt. Asy’ari berkata “tidak ada sesuatu pun yang menyerupai
Allah dan Allah tidak tidak menyerupai sesuatu apapun. Sebab jika Allah
menyerupai sesuatu maka ada kemungkinan keserupaan itu dalam semua segi atau pun hanya sebagiannya
saja. Dalam kedua hal tersebut Allah akan menjadi sesuatu yang baru. Hal ini
tidaklah benar, karena Allah adalah Dzat yang qadim (terdahulu) dan Esa”.
Asy’ari membantah pernyataan Muktazilah yang mewajibkan kepada Allah untuk berbuat
yang terbaik. Menurut Asy’ari, Allah swt. memiliki kehendak yang bebas dan
tidak terikat. Oleh karena itu bisa saja Allah swt menyiksa anak-anak yang mati
sebelum baligh di akhirat nanti. Asy’ari juga berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan iman adalah membenarkan adanya Alla swt. karenanya orang muslim yang fasiq
masih dikategorikan sebagai mukmin karena dia masih memiliki iman, hanya
dianggap fasiq lebih dikarenakan pebuatan yang dilakukannya.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ø Firqah
Al-Asy’ariyyah merupakan firqah yang dibangun diatas pondasi Al-Qur’an dan
Hadist, sehingga ajarannya tidak bersebrangan dengan kedua pondasi tersebut.
Ø Asy’ariyyah
yang sebelumnya adalah orang Mu’tazilah, pada akhirnya kluar dari firqah itu,
maka secara mudah ia mematahkan argumen-argumen dari mu’tazilah untuk
mendongkrak firqah barunya itu.
Ø Adalah hal
wajar jika firqah Al-Asy’ariyyah bisa diterima oleh banyak kalangan, karena manhaj
al-fikrnya tidak serumit yang ditawarkan oleh golongan mu’tazilah.
B.
Kritik dan Saran
Makalah ini disusun dengan kerja keras,
meskipun dengan keterbatasan ilmu dan
masih dalam proses pembelajaran.Tentunya masih banyak kekurangan di
dalamnya maka dari itu kritik serta saran dari teman-teman dan khususnya dosen
pembimbing, sangat pemakalah harapkan untuk
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Kamba, Nursamad. Konstruksi Islam Moderat.
Yogyakarta: Ladang Kata, t. th.
al-Hafini, Abdul
Mun’im. Mausu’ah al-Harakat wal Mazahib al-Islamiya fil ‘Alam. Terj. Muhtarom.Lc, ENSIKLOPEDIA Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab,
Partai dan Gerakan Islam Seluruh
Dunia. Jakarta Selatan: Grafindo Khazanah Ilmu, t. th.
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta:
Universitas Indonesia(UI Press), 1986.
al-Rasyid, Hamzah Harun. al-Asy’ariyyah.
Makassar: Alauddin University Press, t. th.
[1] Tim Penulis Alumni Timur Tengah, Konstruksi Islam Moderat “Menguak
Prinsip Rasionalitas, Humanitas, Universalitas Islam” (Makassar: ICATT
Press, 2012), h. 14.
[3] Ibid., h. 16.
[4] Hamzah Harun Al-Rasyid, Al-Asy’ariyah, sejarah, metodologi, dan
kontribusinya bagi peningkatan produktivitas kerja (Makassar: Alauddin
Press, t. th.),
h. 20.
[5] Ibid., h. 49.
[6] Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni, Mausu’ah al-Harakat wal Mazahib
al-Islamiya fil ‘Alam. Terj. Muhtarom.Lc, ENSIKLOPEDIA Golongan,
kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam Seluruh Dunia (Cet 2; Jakarta Selatan: Grafindo Khazanah Ilmu), h. 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar