Keinginan
untuk mencapai status sosial dan penghasilan yang lebih tinggi dari apa yang
pernah di capai oleh orang tuanya, merupakan impian setiap orang. Tetapi,
apakah impian itu dapat menjadi kenyataan atau tidak adalah lain persoalan.
Di
kalangan orang-orang tertentu petani gurem misalnya impian untuk bisa meraih
kehidupan yang lebih baik dari kehidupan orang tuanya acapkali berakhir dengan
kekecewaan. Studi yang dilakukan oleh Cliford Geertz di salah satu daerah di
Pulau Jawa menemukan bahwa di kalangan petani lazim terjadi apa yang disebut
involusi pertanian, yakni proses penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian
yang makin lama makin pampat yang timbul sebagai konsekuensi sistem pewarisan
tanah. Seorang petani yng mempunyai tanah 0,5 hektar, bila ia memiliki dua
orang, maka hampir bisa dipastikan bahwa kondisi ekonomi anak-anaknya akan
semakin buruk karena tanah yang diwariskan kepada anak-anaknya jumlahnya harus
dibagi lagi, katakanlah masing-masing anak menerima 0,25 hektar.
Seperti
harga komoditas pertanian yang tidak perna stabil, kehidupan petani umunya
sangat fluktuatif. Ketika harga komoditas pangan sedang naik, maka kehidupan
petani akan ikut naik. Tetapi, bila harga komoditas pangan itu turun atau
bahkan hancur, maka niscaya akan banyak para petani yang jatuh miskin. Apa yang
di alami para petani cengkeh, petani garam Madura, atau petani jeruk di
Kalimantan Barat, misalnya, adalah beberapa bukti yang menunjukkan bahwa yang
namanya kehidupan tidaklah selalu berjalan linier ke arah perbaikan, melainkan
suatu saat bukan tidak mungkin justru harus di akhiri dengan penderitaan akibat
penurunan status sosial mereka.
Dalam
sosiologi, proses keberhasilan seseorang mencapai jenjang status sosial yang
lebih tinggi atau proses kegagalan seseorang hingga jatuh di kelas sosial yang
lebih rendah itulah yang disebut Mobilitas sosial. Dengan demikian, jika kita
berbicara mengenai mobilitas sosial hendaknya tidak selalu diartikan sebagai
bentuk perpindahan dari tingkat yang rendah ke suatu tempat yang lebih tinggi
karena mobilitas sosial sesungguhnya dapat berlangsung dalam dua arah. Sebagian
orang berhasil mencapai status yang lebih tinggi, beberapa orang mengalami
kegagalan, dan selebihnya tetap tinggal pada status yang dimiliki oleh orang
tua mereka.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, pemakalah dapat merumuskan masalah yang kemudian akan dikembangkan lagi dalam bab pembahasan, di antaranya ialah :
1.
Apa yang di maksud Mobilitas Sosial ?
2.
Bagaimana Sifat Dasar Mobilitas Sosial ?
3.
Apa saja jenis-jenis mobilitas sosial ?
4.
Apa Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Mobilitas Sosial ?
5.
Apa Manfaat dan Kerugian
Mobilitas Sosial ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mobilitas
Sosial
Fenomena sosial di dalam
tubuh masyarakat demi kepentingan metodologi lazim dibagi dua, yaitu mobilitas
sosial dan mobilitas geografik. Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis
yang berarti mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat
lain. Sementara, kata sosial dalam istilah mobilitas sosial adalah untuk
menekankan bahwa istilah tersebut mengandung makna gerak yang melibatkan
seseorang atau sekelompok warga dalam kelompok sosial. Jadi, mobilitas sosial
adalah perpindahan posisi seseorang atau kelompok orang dari strata sosial
yang satu ke strata sosial yang lain. Sedangkan mobilitas geografik adalah perpindahan orang atau kelompok dari
satu daerah ke daerah yang lain.[1] Sebagai contoh untuk
terjadinya perubahan status sosial, seseorang terpaksa meninggalkan tempat
tinggalnya karena ketiadaan lapangan kerja, atau sebaliknya mobilitas sosial
seringkali mengakibatkan adanya mobilitas geografi yang disertai dengan segala
kerugian yang menyakitkan, yakni lenyapnya ikatan sosial yang sudah demikian
lama terjalin. Demikian halnya mobilitas geografis akan mempengaruhi terhadap
mobilitas sosial.
Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas
sosial ke kelas
sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya.[2]
Sementara menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack mobilitas sosial adalah
suatu gerak dalam struktur sosial yaitu
pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok
sosial Struktur
sosial mencakup sifat hubungan. antara Individu dalam kelompok dan hubungan
antara individu dengan kelompoknya.[3]
B.
Jenis Mobilitas Sosial
Dalam mobilitas sosial secara prinsip di kenal dua macam, yaitu
mobilitas sosial vertikal dan mobilitas sosial horizontal. Yang dimaksud dengan
mobilitas sosial vertikal ialah perpindahan individu atau obyek sosial dari
kedudukan sosial kekedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan
arahnya, karena itu di kenal beberapa jenis mobilitas sosial vertikal , yakni:
1.
gerak
sosial meningkat (social climbing ), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat
dari kelas sosial rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi, misalnya seorang
staf yang di promosikan naik pangkat menjadi kepala bagian di sebuah perusahaan
swasta.
2.
Gerak
sosial yang menurun (social singking), yakni gerak perpindahan anggota
masyarakat dari kelas sosial tertentu kekelas sosial lain yang lebih rendah
posisisnya. Misalnya, seorang petani cengkeh yang jatuh miskin karenaa
komoditas yang ditanamnya tidak laku-laku dijual di pasaran.
3.
Mobilitas antargenerasi, secara umum berarti mobilitas dua
generasi atau lebih, misalnya generasi ayah-ibu, generasi anak, generasi cucu,
dan seterusnya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik
naik atau turun dalam suatu generasi. Penekanannya bukan pada perkembangan
keturunan itu sendiri, melainkan pada perpindahan status sosial suatu generasi
ke generasi lainnya. Contoh: Daeng Nuntung adalah seorang tukang becak. Ia
hanya menamatkan pendidikannya hingga sekolah dasar, tetapi ia berhasil
mendidik anaknya menjadi seorang pengacara. Contoh ini menunjukkan telah
terjadi mobilitas vertikal antargenerasi.
4.
Mobilitas sosial intragenerasi adalah mobilitas yang dialami
oleh seseorang atau sekelompok orang dalam satu generasi. Contoh: Daeng Sija’
awalnya adalah seorang buruh. Namun, karena ketekunannya dalam bekerja dan
mungkin juga keberuntungan, ia kemudian memiliki unit usaha sendiri yang
akhirnya semakin besar. Contoh lain, Pak
Yusuf memiliki dua orang anak, yang pertama bernama Endra bekerja
sebagai tukang becak, dan Anak ke-2, bernama Ricky, yang pada awalnya juga
sebagai tukang becak. Namun, Ricky lebih beruntung daripada kakaknya, karena ia
dapat mengubah statusnya dari tukang becak menjadi seorang pengusaha. Sementara
Endra tetap menjadi tukang becak. Perbedaan status sosial antara Endra dengan
adiknya ini juga dapat disebut sebagai mobilitas intragenerasi.
5.
Gerak sosial geografis, Gerak sosial ini adalah perpindahan
Individu atau kelompok dari satu daerah ke daerah lain seperti Transmigrasi,
Urbanisasi dan Migrasi
Menurut Soedjatmoko mudah tidaknya seseorang melakukan mobilitas
vertikal salah satunya ditenukan olek kekakuan dan keluwesan struktur sosial
dimana orang itu hidup. Sesorang yang memiliki bekal pendidikan yang tinggi,
bergelar doctor misalnya dan hidup di lingkungan masyarakat yang menghargai
profesionalisme, besar kemungkinan akan lebi mudah menembus batas-batas lapisan
sosial dan naik pada kedudukan lebih tinggi sesua dengan keahlian yang
dimilikinya.[4]
Sebaliknya, setinggi apaun tingkat pendidikan seseorang, tetapi
bila ia hidup pada suatu lingkungan masyarakat yang masih kuat nilai-nilai primodialisme dan system hubungan
koneksi, maka kecil kemungkinan orang tersebut akan bisa lancar jenjang
karirnya dalam bekerja. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa untuk saat ini gelar
sarjana bukan jaminan bagi seseorang untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan
mudah jika ia sama sekali tidak memiliki patront atau pihak-pihak tertentu yang
bisa memberikan rekomendasi atau
katebelece.
Berbeda dengan mobilitas sosial vertikal yang berarti perpindahan
dalam jenjang status yang berbeda, yang dimaksud mobilitas sosial horizontal adalah
perpindahan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial
yang satu ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Dalam mobilitas sosial
yang horizontal tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun
obyek sosial lainnya. Seorang buruh petani yang pada musim paceklik berpindah
pekerjaan menjadi buruh bangunan atau tukang becak di kota tidak bisa di
kategorikan mobilitas sosial vertikal karena mereka tidak mengalami perubahan
pendapatan atau status sosial secara berarti.
C.
Faktor-faktor yang mendorong dan
menghambat mobilitas sosial
Faktor-faktor yang memengaruhi
mobilitas sosial dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
- Perubahan kondisi sosial
Struktur
kasta dan kelas dapat berubah dengan sendirinya karena adanya perubahan dari
dalam dan dari luar masyarakat Misalnya, kemajuan teknologi membuka kemungkinan
timbulnya mobilitas ke atas. Perubahan idiologi dapat menimbulkan stratifikasi
baru.
- Ekspansi teritorial dan gerak populasi
Ekspansi
teritorial dan perpindahan penduduk yang cepat membuktikan ciri fleksibilitas
struktur stratifikasi dan mobilitas sosial. Misalnya, perkembangan kota,
transmigrasi, bertambah dan berkurangnya penduduk.
- Komunikasi yang bebas
Situasi-situasi
yang membatasi komunikasi antar strata yang beraneka ragam memperkokoh garis
pembatas di antara strata yang ada dalam pertukaran pengetahuan dan pengalaman
di antara mereka dan akan mengahalangi mobilitas sosial. Sebaliknya, pendidikan
dan komunikasi yang bebas sertea efektif akan memudarkan semua batas garis dari
strata sosial uang ada dan merangsang mobilitas sekaligus menerobos rintangan
yang menghadang.
- Pembagian kerja
Besarnya
kemungkinan bagi terjadinya mobilitas dipengaruhi oleh tingkat pembagian kerja
yang ada. Jika tingkat pembagian kerja tinggi dan sangat dispesialisasikan,
maka mobilitas akan menjadi lemah dan menyulitkan orang bergerak dari satu
strata ke strata yang lain karena spesialisasi pekerjaan nmenuntut keterampilan
khusus. Kondisi ini memacu anggota masyarakatnya untuk lebih kuat berusaha agar
dapat menempati status tersebut.
- Tingkat Fertilitas (Kelahiran) yang Berbeda
Kelompok
masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan rendah cenderung
memiliki tingkat fertilitas yang tinggi. Pada pihak lain, masyarakat kelas sosial
yang lebih tinggi cenderung membatasi tingkat reproduksi dan angka kelahiran.
Pada saat itu, orang-orang dari tingkat ekonomi dan pendidikan yang lebih
rendah mempunyai kesempatan untuk banyak bereproduksi dan memperbaiki kualitas
keturunan. Dalam situasi itu, mobilitas sosial dapat terjadi.
- Kemudahan dalam akses pendidikan
Jika
pendidikan berkualitas mudah didapat, tentu mempermudah orang untuk melakukan
pergerakan/mobilitas dengan berbekal ilmu yang diperoleh saat menjadi peserta
didik. Sebaliknya, kesulitan dalam mengakses pendidikan yang bermutu,
menjadikan orang yang tak menjalani pendidikan yang bagus, kesulitan untuk
mengubah status, akibat dari kurangnya pengetahuan.
·
Faktor Kependudukan (demografi)
Dengan pertambahan jumlah
penduduk yang pesat dapat mengakibatkan sempitnya lahan pemukiman dan
mewabahnya kemiskinan, sehingga menuntut masyarakat untuk melakukan
transmigrasi.[5]
D.
Sifat Dasar Mobilitas Sosial
Masyarakat yang berkelas
sosial terbuka adalah masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi
sedangkan masyarakat yang berkelas sosial tertutup adalah masyarakat yang
memiliki tingkat mobilitas yang rendah.[6]
Pada masyarakat berkasta
yang sifatnya tertutup, hampir tak ada gerak sosial yang Vertikal karena
kedudukan seseorang telah ditentukan sejak dilahirkan. Pekerjaan, pendidikan
dan seluruh pola hidupnya. Karena struktur sosial masyarakatnya tidak
memberikan peluang untuk mengadakan perubahan.
Dalam sistem lapisan
terbuka, kedudukan yang hendak dicapai tergantung pada usaha dan kemampuan si
individu. Memang benar bahwa anak seorang pengusaha mempunyai peluang yang
lebih baik dan lebih besar daripada anak seorang tukang sapu jalan. Akan
tetapi, kebudayaan dalam masyarakat tidak menutup kemungkinan bagi anak tukang
sapu untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan yang semula
dipunyainya. Namun kenyataan tidaklah seideal itu. Dalam masyarakat selalu ada
hambatan dan kesulitan-kesulitan, misalnya birokrasi (dalam arti yang kurang
baik), biaya, kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat, dan lain
sebagainya.[7]
Bila tingkat mobilitas
sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial para individu berbeda, maka
mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan
sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, maka tentu saja
kebanyakan orang akan terkungkung dalam status para nenek moyang mereka.
E.
Saluran-saluran Mobilitas Sosial
Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa mobilitas sosial
vertikal mempunyai saluran-saluran yang disebut social circulation sebagai
berikut:
- Angkatan bersenjata (tentara); terutama dalam masyarakat yang dikuasai oleh sebuah rezim militer atau dalam keadaan perang
- Lembaga keagamaan. Contohnya tokoh organisasi massa keagamaan yang karena reputasinya kemudian menjadi tokoh atau pemimpin di tingkat nasional
- Lembaga pendidikan; sekolah sering merupakan saluran yang paling konkrit untuk mobilitas sosial, sehingga disebut sosial elevator yang utama. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang berhasil diraih seseorang semakin terbuka peluangnya untuk menempati posisi atau kedudukan tinggi dalam struktur sosial masyarakatnya.
- Organisasi politik, ekonomi dan keahlian (profesi); seorang tokoh organisasi politik yang pandai beragitasi, berorganisasi, memiliki kepribadian yang menarik, penyalur aspirasi yang baik, akan lebih terbuka peluangnya memperoleh posisi yang tinggi dalam masyarakat.
- Perkawinan; melalui perkawinan seorang rakyat jelata dapat masuk menjadi anggota kelas bangsawan. Status sosial seseorang yang bersuami/beristerikan orang ternama atau menempati posisi tinggi dalam struktur sosial ikut pula memperoleh penghargaan-penghargaan yang tinggi dari masyarakat.
- Organisasi ekonomi, organisasi ini baik yang bergerak dalam bidang perusahaan maupun jasa umumnya memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi seseorang untuk mencapai mobilitas sosial vertikal, karena dalam organisasi ini sifatnya relative terbuka.
Walaupun disini hanya enam yang disebutkan,
tidak berarti bahwa hanya yang tersebut di atas sajalah yang bisa di jadikan
saluran mobilitas sosial vertikal selain lima saluran yang disebut diatas, masi
banyak lagi saluran yang di sini tidak sempat di jelaskan satu persatu, misalnya
saluran organisasi professional, dan sebagainya.
F.
Konsekuensi Mobilitas sosial
Terjadinya mobilitas sosial di dalam masyarakat menimbulkan
berbagai konsekuensi, baik positif maupun negatif. Apakah konsekuensi tersebut
positif atau negatif ditentukan oleh kemampuan individu atau kelompok individu
menyesuaikan dirinya terhadap “situasi” baru: kelompok baru, orang baru, cara
hidup baru.
Apabila individu atau kelompok individu yang mengalami
mobilitas sosial mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi yang baru maka akan
memperoleh hal-hsl posiitif sebagai konsekuensi mobilitas sosial, antara lain:
- mengalami kepuasan, kebahagiaan dan kebanggaan.
- Peluang mobilitas sosial juga berarti kesempatan bagi individu atau kelompok individu untuk lebih maju.
- Kesempatan mobilitas sosial yang luas akan mendorong orang-orang untuk mau bekerja keras, mengejar prestasi dan kemajuan sehingga dapat meraih kedudukan yang dicita-citakan.
Apabila
individu atau kelompok individu tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi
baru, maka akan terjadi konsekuensi-konsekuensi sebagai berikut:
- Konflik antar-kelas
Konflik
ini terjadi karena benturan kepentingan antar-kelas sosial. Misalnya konflik
antara majikan dengan buruh yang menghendaki kenaikan upah.
- Konflik antar-kelompok
Konflik
antar-kelompok (konflik horizontal) bisa melibatkan ras, etnisitas, agama atau
aliran/golongan. Konflik jenis ini dapat terjadi karena perebutan peluang
mobiitas sosial, misalnya kesempatan memperoleh sumber-sumber ekonomi,
rekrutmen anggota, peluang memperoleh kekuasasan politik atau pengakuan
masyarakat.
- Konflik antar-individu
Konflik
antar-individu dapat terjadi misalnya karena masuknya individu ke dalam
kelompok tidak diterima oleh anggota kelompok yang lain. Misalnya lingkungan
organisasi atau seseorang tidak dapat menerima kehadiran seseorang yang
dipromosikan menduduki suatu jabatan tertentu.
- Konflik antar-generasi
Konflik
ini terjadi dalam hubungannya mobilitas antar-generasi. Fenomena yang sering
terjadi adalah ketika anak-anak berhasil meraih posisi yang tinggi, jauh
lebih tinggi dari posisi sosial orang tuanya, timbul ethnosentrisme generasi.
Masing-masing generasi –orang tua maupun anak— saling menilai berdasarkan
ukuran-ukuran yang berkembang dalam generasinya sendiri. Generasi anak
memandang orang tuanya sebagai generasi yang tertinggal, kolot, kuno, lambat
mengikuti perubahan, dan sebagainya. Sementara itu generasi tua mengganggap
bahwa cara berfikir, berperasaan dan bertindak generasinya lebih baik dan lebih
mulia dari pada yang tumbuh dan berkembang pada generasi anak-anaknya.
- Konflik status dan konflik peran
Seseorang
yang mengalami mobilitas sosial, naik ke kedudukan yang lebih tinggi, atau
turun ke kedudukan yang lebih rendah, dituntut untuk mampu menyesuaikan dirinya
dengan kedudukannya yang baru. Kesulitan menyesuaikan diri dengan statusnya
yang baru akan menimbulkan konflik status dan konflik peran.
Konflik
status adalah pertentangan antar-status yang disandang oleh seseorang karena
kepentingan-kepentingan yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan banyaknya status
yang disandang oleh seseorang.
Konflik
peran merupakan keadaan ketika seseorang tidak dapat melaksanakan peran sesuai
dengan tuntutan status yang disandangnya. Hal ini dapat terjadi karena
statusnya yang baru tidak disukai atau tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Post
Power Syndrome merupakan bentuk konflik peran yang dialami oleh orang-orang
yang harus turun dari kedudukannya yang tinggi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B.
mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau kelompok orang
strata sosial yang satu ke strata sosial yang lain.
C.
Dalam
mobilitas sosial secara prinsip di kenal dua macam, yaitu mobilitas sosial
vertikal dan mobilitas sosial horizontal
D.
Masyarakat yang berkelas sosial terbuka adalah masyarakat yang memiliki
tingkat mobilitas yang tinggi sedangkan masyarakat yang berkelas sosial
tertutup adalah masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang rendah.
E.
mobilitas sosial vertikal mempunyai saluran-saluran yang
disebut social circulation sebagai berikut: Angkatan bersenjata, Lembaga
keagamaan, Lembaga
pendidikan, Organisasi
politik, Perkawinan,
Organisasi ekonomi, dll.
F.
Terjadinya mobilitas sosial di dalam masyarakat menimbulkan
berbagai konsekuensi, baik positif maupun negatif. Apakah konsekuensi tersebut
positif atau negatif ditentukan oleh kemampuan individu atau kelompok individu
menyesuaikan dirinya terhadap “situasi” baru: kelompok baru, orang baru, cara
hidup baru.
DAFTAR PUSTAKA
B. Horton Paul dkk, Sosiologi,
Jakarta:PT Erlangga, 1999
Khafi Syatra Abdul, Buku Pintar Sosiologi, Yogyakarta: PT. Garailmu,
2010
Narwoko J.Dwi -
Suyanto Bagong (ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, cet. 3,
Jakarta: kencana,2007.
OC Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, Yogyakarta: PT KANISIUS ,
1989
Soekanto soerjono, sosiologi
suatu Pengantar , Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Young Kimbal
dan W. Mack Raymond: Sociology and Social life
New York: Amerikan Book Company, 1959.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar