Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Kamis, 04 April 2013

Mobilitas Sosial



Keinginan untuk mencapai status sosial dan penghasilan yang lebih tinggi dari apa yang pernah di capai oleh orang tuanya, merupakan impian setiap orang. Tetapi, apakah impian itu dapat menjadi kenyataan atau tidak adalah lain persoalan.
Di kalangan orang-orang tertentu petani gurem misalnya impian untuk bisa meraih kehidupan yang lebih baik dari kehidupan orang tuanya acapkali berakhir dengan kekecewaan. Studi yang dilakukan oleh Cliford Geertz di salah satu daerah di Pulau Jawa menemukan bahwa di kalangan petani lazim terjadi apa yang disebut involusi pertanian, yakni proses penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian yang makin lama makin pampat yang timbul sebagai konsekuensi sistem pewarisan tanah. Seorang petani yng mempunyai tanah 0,5 hektar, bila ia memiliki dua orang, maka hampir bisa dipastikan bahwa kondisi ekonomi anak-anaknya akan semakin buruk karena tanah yang diwariskan kepada anak-anaknya jumlahnya harus dibagi lagi, katakanlah masing-masing anak menerima 0,25 hektar.
Seperti harga komoditas pertanian yang tidak perna stabil, kehidupan petani umunya sangat fluktuatif. Ketika harga komoditas pangan sedang naik, maka kehidupan petani akan ikut naik. Tetapi, bila harga komoditas pangan itu turun atau bahkan hancur, maka niscaya akan banyak para petani yang jatuh miskin. Apa yang di alami para petani cengkeh, petani garam Madura, atau petani jeruk di Kalimantan Barat, misalnya, adalah beberapa bukti yang menunjukkan bahwa yang namanya kehidupan tidaklah selalu berjalan linier ke arah perbaikan, melainkan suatu saat bukan tidak mungkin justru harus di akhiri dengan penderitaan akibat penurunan status sosial mereka.
Dalam sosiologi, proses keberhasilan seseorang mencapai jenjang status sosial yang lebih tinggi atau proses kegagalan seseorang hingga jatuh di kelas sosial yang lebih rendah itulah yang disebut Mobilitas sosial. Dengan demikian, jika kita berbicara mengenai mobilitas sosial hendaknya tidak selalu diartikan sebagai bentuk perpindahan dari tingkat yang rendah ke suatu tempat yang lebih tinggi karena mobilitas sosial sesungguhnya dapat berlangsung dalam dua arah. Sebagian orang berhasil mencapai status yang lebih tinggi, beberapa orang mengalami kegagalan, dan selebihnya tetap tinggal pada status yang dimiliki oleh orang tua mereka.

A.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, pemakalah dapat merumuskan masalah yang kemudian akan dikembangkan lagi dalam bab pembahasan, di antaranya ialah :
1.      Apa yang di maksud Mobilitas Sosial ?
2.      Bagaimana Sifat Dasar Mobilitas Sosial ?
3.      Apa saja jenis-jenis mobilitas sosial ?
4.      Apa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mobilitas Sosial ?
5.      Apa Manfaat dan Kerugian Mobilitas Sosial ?








BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Mobilitas Sosial
Fenomena sosial di dalam tubuh masyarakat demi kepentingan metodologi lazim dibagi dua, yaitu mobilitas sosial dan mobilitas geografik. Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Sementara, kata sosial dalam istilah mobilitas sosial adalah untuk menekankan bahwa istilah tersebut mengandung makna gerak yang melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam kelompok sosial. Jadi, mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau kelompok orang dari strata sosial  yang satu ke strata sosial  yang lain. Sedangkan mobilitas geografik adalah perpindahan orang atau kelompok dari satu daerah ke daerah yang lain.[1] Sebagai contoh untuk terjadinya perubahan status sosial, seseorang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena ketiadaan lapangan kerja, atau sebaliknya mobilitas sosial seringkali mengakibatkan adanya mobilitas geografi yang disertai dengan segala kerugian yang menyakitkan, yakni lenyapnya ikatan sosial yang sudah demikian lama terjalin. Demikian halnya mobilitas geografis akan mempengaruhi terha­dap mobilitas sosial.
Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya.[2] Sementara menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial Struktur sosial mencakup sifat hubungan. antara Individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.[3]
B.     Jenis Mobilitas Sosial
Dalam mobilitas sosial secara prinsip di kenal dua macam, yaitu mobilitas sosial vertikal dan mobilitas sosial horizontal. Yang dimaksud dengan mobilitas sosial vertikal ialah perpindahan individu atau obyek sosial dari kedudukan sosial kekedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya, karena itu di kenal beberapa jenis mobilitas sosial vertikal , yakni:
1.      gerak sosial meningkat (social climbing ), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi, misalnya seorang staf yang di promosikan naik pangkat menjadi kepala bagian di sebuah perusahaan swasta.
2.      Gerak sosial yang menurun (social singking), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu kekelas sosial lain yang lebih rendah posisisnya. Misalnya, seorang petani cengkeh yang jatuh miskin karenaa komoditas yang ditanamnya tidak laku-laku dijual di pasaran.
3.      Mobilitas antargenerasi, secara umum berarti mobilitas dua generasi atau lebih, misalnya generasi ayah-ibu, generasi anak, generasi cucu, dan seterusnya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi. Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan itu sendiri, melainkan pada perpindahan status sosial suatu generasi ke generasi lainnya. Contoh: Daeng Nuntung adalah seorang tukang becak. Ia hanya menamatkan pendidikannya hingga sekolah dasar, tetapi ia berhasil mendidik anaknya menjadi seorang pengacara. Contoh ini menunjukkan telah terjadi mobilitas vertikal antargenerasi.
4.      Mobilitas sosial intragenerasi adalah mobilitas yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam satu generasi. Contoh: Daeng Sija’ awalnya adalah seorang buruh. Namun, karena ketekunannya dalam bekerja dan mungkin juga keberuntungan, ia kemudian memiliki unit usaha sendiri yang akhirnya semakin besar. Contoh lain, Pak  Yusuf memiliki dua orang anak, yang pertama bernama Endra bekerja sebagai tukang becak, dan Anak ke-2, bernama Ricky, yang pada awalnya juga sebagai tukang becak. Namun, Ricky lebih beruntung daripada kakaknya, karena ia dapat mengubah statusnya dari tukang becak menjadi seorang pengusaha. Sementara Endra tetap menjadi tukang becak. Perbedaan status sosial antara Endra dengan adiknya ini juga dapat disebut sebagai mobilitas intragenerasi.
5.      Gerak sosial geografis, Gerak sosial ini adalah perpindahan Individu atau kelompok dari satu daerah ke daerah lain seperti Transmigrasi, Urbanisasi dan Migrasi
Menurut Soedjatmoko mudah tidaknya seseorang melakukan mobilitas vertikal salah satunya ditenukan olek kekakuan dan keluwesan struktur sosial dimana orang itu hidup. Sesorang yang memiliki bekal pendidikan yang tinggi, bergelar doctor misalnya dan hidup di lingkungan masyarakat yang menghargai profesionalisme, besar kemungkinan akan lebi mudah menembus batas-batas lapisan sosial dan naik pada kedudukan lebih tinggi sesua dengan keahlian yang dimilikinya.[4]
Sebaliknya, setinggi apaun tingkat pendidikan seseorang, tetapi bila ia hidup pada suatu lingkungan masyarakat yang masih kuat  nilai-nilai primodialisme dan system hubungan koneksi, maka kecil kemungkinan orang tersebut akan bisa lancar jenjang karirnya dalam bekerja. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa untuk saat ini gelar sarjana bukan jaminan bagi seseorang untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah jika ia sama sekali tidak memiliki patront atau pihak-pihak tertentu yang bisa memberikan rekomendasi atau  katebelece.
Berbeda dengan mobilitas sosial vertikal yang berarti perpindahan dalam jenjang status yang berbeda, yang dimaksud mobilitas sosial horizontal adalah perpindahan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Dalam mobilitas sosial yang horizontal tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun obyek sosial lainnya. Seorang buruh petani yang pada musim paceklik berpindah pekerjaan menjadi buruh bangunan atau tukang becak di kota tidak bisa di kategorikan mobilitas sosial vertikal karena mereka tidak mengalami perubahan pendapatan atau status sosial secara berarti.  
C.     Faktor-faktor yang mendorong dan menghambat mobilitas sosial
Faktor-faktor yang memengaruhi mobilitas sosial dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
  • Perubahan kondisi sosial
Struktur kasta dan kelas dapat berubah dengan sendirinya karena adanya perubahan dari dalam dan dari luar masyarakat Misalnya, kemajuan teknologi membuka kemungkinan timbulnya mobilitas ke atas. Perubahan idiologi dapat menimbulkan stratifikasi baru.
  • Ekspansi teritorial dan gerak populasi
Ekspansi teritorial dan perpindahan penduduk yang cepat membuktikan ciri fleksibilitas struktur stratifikasi dan mobilitas sosial. Misalnya, perkembangan kota, transmigrasi, bertambah dan berkurangnya penduduk.
  • Komunikasi yang bebas
Situasi-situasi yang membatasi komunikasi antar strata yang beraneka ragam memperkokoh garis pembatas di antara strata yang ada dalam pertukaran pengetahuan dan pengalaman di antara mereka dan akan mengahalangi mobilitas sosial. Sebaliknya, pendidikan dan komunikasi yang bebas sertea efektif akan memudarkan semua batas garis dari strata sosial uang ada dan merangsang mobilitas sekaligus menerobos rintangan yang menghadang.
  • Pembagian kerja
Besarnya kemungkinan bagi terjadinya mobilitas dipengaruhi oleh tingkat pembagian kerja yang ada. Jika tingkat pembagian kerja tinggi dan sangat dispesialisasikan, maka mobilitas akan menjadi lemah dan menyulitkan orang bergerak dari satu strata ke strata yang lain karena spesialisasi pekerjaan nmenuntut keterampilan khusus. Kondisi ini memacu anggota masyarakatnya untuk lebih kuat berusaha agar dapat menempati status tersebut.
  • Tingkat Fertilitas (Kelahiran) yang Berbeda
Kelompok masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan rendah cenderung memiliki tingkat fertilitas yang tinggi. Pada pihak lain, masyarakat kelas sosial yang lebih tinggi cenderung membatasi tingkat reproduksi dan angka kelahiran. Pada saat itu, orang-orang dari tingkat ekonomi dan pendidikan yang lebih rendah mempunyai kesempatan untuk banyak bereproduksi dan memperbaiki kualitas keturunan. Dalam situasi itu, mobilitas sosial dapat terjadi.
  • Kemudahan dalam akses pendidikan
Jika pendidikan berkualitas mudah didapat, tentu mempermudah orang untuk melakukan pergerakan/mobilitas dengan berbekal ilmu yang diperoleh saat menjadi peserta didik. Sebaliknya, kesulitan dalam mengakses pendidikan yang bermutu, menjadikan orang yang tak menjalani pendidikan yang bagus, kesulitan untuk mengubah status, akibat dari kurangnya pengetahuan.
·         Faktor Kependudukan (demografi)
Dengan pertambahan jumlah penduduk yang pesat dapat mengakibatkan sempitnya lahan pemukiman dan mewabahnya kemiskinan, sehingga menuntut masyarakat untuk melakukan transmigrasi.[5]

D.     Sifat Dasar Mobilitas Sosial
Masyarakat yang berkelas sosial terbuka adalah masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi sedangkan masyarakat yang berkelas sosial tertutup adalah masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang rendah.[6]
Pada masyarakat berkasta yang sifatnya tertutup, hampir tak ada gerak sosial yang Vertikal karena kedudukan seseorang telah ditentukan sejak dilahirkan. Pekerjaan, pendidikan dan seluruh pola hidupnya. Karena struktur sosial masyarakatnya tidak memberikan peluang untuk mengadakan perubahan.
Dalam sistem lapisan terbuka, kedudukan yang hendak dicapai tergantung pada usaha dan kemampuan si individu. Memang benar bahwa anak seorang pengusaha mempunyai peluang yang lebih baik dan lebih besar daripada anak seorang tukang sapu jalan. Akan tetapi, kebudayaan dalam masyarakat tidak menutup kemungkinan bagi anak tukang sapu untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan yang semula dipunyainya. Namun kenyataan tidaklah seideal itu. Dalam masyarakat selalu ada hambatan dan kesulitan-kesulitan, misalnya birokrasi (dalam arti yang kurang baik), biaya, kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat, dan lain sebagainya.[7]
Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial para individu berbeda, maka mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, maka tentu saja kebanyakan orang akan terkungkung dalam status para nenek moyang mereka.
E.     Saluran-saluran Mobilitas Sosial
Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa mobilitas sosial vertikal mempunyai saluran-saluran yang disebut social circulation sebagai berikut:
  1. Angkatan bersenjata (tentara); terutama dalam masyarakat yang dikuasai oleh sebuah rezim militer atau dalam keadaan perang
  2. Lembaga keagamaan. Contohnya tokoh organisasi massa keagamaan yang karena reputasinya kemudian menjadi tokoh atau pemimpin di tingkat nasional
  3. Lembaga pendidikan; sekolah sering merupakan saluran yang paling konkrit untuk mobilitas sosial, sehingga disebut sosial elevator yang utama. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang berhasil diraih seseorang semakin terbuka peluangnya untuk menempati posisi atau kedudukan tinggi dalam struktur sosial masyarakatnya.
  4. Organisasi politik, ekonomi dan keahlian (profesi); seorang tokoh organisasi politik yang pandai beragitasi, berorganisasi, memiliki kepribadian yang menarik, penyalur aspirasi yang baik, akan lebih terbuka peluangnya memperoleh posisi yang tinggi dalam masyarakat.
  5. Perkawinan; melalui perkawinan seorang rakyat jelata dapat masuk menjadi anggota kelas bangsawan. Status sosial seseorang yang bersuami/beristerikan orang ternama atau menempati posisi tinggi dalam struktur sosial ikut pula memperoleh penghargaan-penghargaan yang tinggi dari masyarakat.
  6. Organisasi ekonomi, organisasi ini baik yang bergerak dalam bidang perusahaan maupun jasa umumnya memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi seseorang untuk mencapai mobilitas sosial vertikal, karena dalam organisasi ini sifatnya relative terbuka.
Walaupun disini hanya enam yang disebutkan, tidak berarti bahwa hanya yang tersebut di atas sajalah yang bisa di jadikan saluran mobilitas sosial vertikal selain lima saluran yang disebut diatas, masi banyak lagi saluran yang di sini tidak sempat di jelaskan satu persatu, misalnya saluran organisasi professional, dan sebagainya.
F.     Konsekuensi Mobilitas sosial
Terjadinya mobilitas sosial di dalam masyarakat menimbulkan berbagai konsekuensi, baik positif maupun negatif. Apakah konsekuensi tersebut positif atau negatif ditentukan oleh kemampuan individu atau kelompok individu menyesuaikan dirinya terhadap “situasi” baru: kelompok baru, orang baru, cara hidup baru.
Apabila individu atau kelompok individu yang mengalami mobilitas sosial mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi yang baru maka akan memperoleh hal-hsl posiitif sebagai konsekuensi mobilitas sosial, antara lain:
  • mengalami kepuasan, kebahagiaan dan kebanggaan.
  • Peluang mobilitas sosial juga berarti kesempatan bagi individu atau kelompok individu untuk lebih maju.
  • Kesempatan mobilitas sosial yang luas akan mendorong orang-orang untuk mau bekerja keras, mengejar prestasi dan kemajuan sehingga dapat meraih kedudukan yang dicita-citakan.
Apabila individu atau kelompok individu tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi baru, maka akan terjadi konsekuensi-konsekuensi sebagai berikut:
  • Konflik antar-kelas
Konflik ini terjadi karena benturan kepentingan antar-kelas sosial. Misalnya konflik antara majikan dengan buruh yang menghendaki kenaikan upah.
  • Konflik antar-kelompok
Konflik antar-kelompok (konflik horizontal) bisa melibatkan ras, etnisitas, agama atau aliran/golongan. Konflik jenis ini dapat terjadi karena perebutan peluang mobiitas sosial, misalnya kesempatan memperoleh sumber-sumber ekonomi, rekrutmen anggota, peluang memperoleh kekuasasan politik atau pengakuan masyarakat.
  • Konflik antar-individu
Konflik antar-individu dapat terjadi misalnya karena masuknya individu ke dalam kelompok tidak diterima oleh anggota kelompok yang lain. Misalnya lingkungan organisasi atau seseorang tidak dapat menerima kehadiran seseorang yang dipromosikan menduduki suatu jabatan tertentu.
  • Konflik antar-generasi
Konflik ini terjadi dalam hubungannya mobilitas antar-generasi. Fenomena yang sering terjadi  adalah ketika anak-anak berhasil meraih posisi yang tinggi, jauh lebih tinggi dari posisi sosial orang tuanya, timbul ethnosentrisme generasi. Masing-masing generasi –orang tua maupun anak— saling menilai berdasarkan ukuran-ukuran yang berkembang dalam generasinya sendiri. Generasi anak memandang orang tuanya sebagai generasi yang tertinggal, kolot, kuno, lambat mengikuti perubahan, dan sebagainya. Sementara itu generasi tua mengganggap bahwa cara berfikir, berperasaan dan bertindak generasinya lebih baik dan lebih mulia dari pada yang tumbuh dan berkembang pada generasi anak-anaknya.
  • Konflik status dan konflik peran
Seseorang yang mengalami mobilitas sosial, naik ke kedudukan yang lebih tinggi, atau turun ke kedudukan yang lebih rendah, dituntut untuk mampu menyesuaikan dirinya dengan kedudukannya yang baru. Kesulitan menyesuaikan diri dengan statusnya yang baru akan menimbulkan konflik status dan konflik peran.
Konflik status adalah pertentangan antar-status yang disandang oleh seseorang karena kepentingan-kepentingan yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan banyaknya status yang disandang oleh seseorang.
Konflik peran merupakan keadaan ketika seseorang tidak dapat melaksanakan peran sesuai dengan tuntutan status yang disandangnya. Hal ini dapat terjadi karena statusnya yang baru tidak disukai atau tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Post Power Syndrome merupakan bentuk konflik peran yang dialami oleh orang-orang yang harus turun dari kedudukannya yang tinggi.
















BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
B.     mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau kelompok orang strata sosial  yang satu ke strata sosial  yang lain.
C.     Dalam mobilitas sosial secara prinsip di kenal dua macam, yaitu mobilitas sosial vertikal dan mobilitas sosial horizontal
D.    Masyarakat yang berkelas sosial terbuka adalah masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi sedangkan masyarakat yang berkelas sosial tertutup adalah masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang rendah.
E.     mobilitas sosial vertikal mempunyai saluran-saluran yang disebut social circulation sebagai berikut: Angkatan bersenjata, Lembaga keagamaan, Lembaga pendidikan, Organisasi politik, Perkawinan, Organisasi ekonomi, dll.
F.      Terjadinya mobilitas sosial di dalam masyarakat menimbulkan berbagai konsekuensi, baik positif maupun negatif. Apakah konsekuensi tersebut positif atau negatif ditentukan oleh kemampuan individu atau kelompok individu menyesuaikan dirinya terhadap “situasi” baru: kelompok baru, orang baru, cara hidup baru.










DAFTAR PUSTAKA
B. Horton Paul dkk, Sosiologi, Jakarta:PT Erlangga, 1999
 Khafi Syatra Abdul, Buku Pintar Sosiologi, Yogyakarta: PT. Garailmu, 2010
Narwoko J.Dwi - Suyanto Bagong (ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, cet. 3, Jakarta: kencana,2007.
 OC Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, Yogyakarta: PT KANISIUS , 1989
Soekanto soerjono, sosiologi suatu Pengantar , Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Young Kimbal dan W. Mack Raymond: Sociology and Social life  New York: Amerikan Book Company, 1959.


[1] Drs. D. Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik ( Yogyakarta, KANISIUS: 1989) hlm, 331
[2] Paul B. Horton dkk, Sosiologi ( Jakarta:PT Erlangga, 1999) hlm, 34
[3] Kimbal Young dan Raymond W. Mack: Sociology and Social life (New York: Amerikan Book Company, 1959, hlm. 214.
[4] J.Dwi Narwoko- Bagong Suyanto (ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, cet. 3,(Jakarta: kencana,2007), h.209
[5] Abdul Khafi Syatra, Buku Pintar Sosiologi, (Yogyakarta:  PT. Garailmu, 2010) hlm, 183-187
[6] Soerjono Soekanto, sosiologi suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006) h. 220
[7] Ibid, Soerjono Soekanto, sosiologi suatu Pengantar, h. 221

Tidak ada komentar:

Posting Komentar