BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Wakaf merupakan salah satu ibadah kebendaan yang penting
yang secara ekplisit tidak memiliki rujukan dalam kitab suci Al-Quran. Oleh
karena itu, ulama telah melakukan identifikasi untuk mencari “induk kata”
sebagai sandaran hukum. Hasil identifikasi mereka juga akhirnya melahirkan
ragam nomenklatur wakaf yang dijelaskan pada bagian berikut.
Wakaf adalah institusi sosial Islami yang tidak memiliki
rujukan yang eksplisit dalam al-Quran dan sunah. Ulama berpendapat bahwa
perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-khayr
(secara harfiah berarti kebaikan). Dasarnya adalah firman Allah berikut :
وافعلوا الخير لعلكم تفلحون
dan berbuatlah
kebajikan agar kamu beruntung”[1]
Imam Al-Baghawi
menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-khayr berarti perintah
untuk melakukan silaturahmi, dan berakhlak yang baik.[2]
SementaraTaqiy al-Din Abi
Bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi menafsirkan bahwa perintah untuk
melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan wakaf.[3]
Penafsiran menurut al-Dimasqi
tersebut relevan (munasabah) dengan firman Allah tentang wasiyat.
كتب عليكم ادا حضر احدكم الموت ان ترك
خير الوصية للوالدين والاقربين بالمعروف حقا على المتقون
“Kamu diwajibkan berwasiat apabila sudah didatangi (tanda-tanda) kematian dan
jika kamu meninggalkan harta yang banyak untuk ibu bapak dan karib kerabat
dengan acara yang ma’ruf; (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang takwa.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
penjelasan di atas maka penulis akan menjelaskan lebih lanjut tentang :
1. Apa yang dimaksud
Wakaf ?
2. Apa dalil wakaf ?
3. Bagaimana Rukun dan
Syarat Wakaf ?
4. Apa hikmah Wakaf ?
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut bahasa Wakaf berasal dari waqf
yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis
(tertahan), al-tasbil (tertawan)
dan al-man’u (mencegah).[4] disebut pula dengan al-habs (al-ahbas,
jamak). Secara bahasa, al-habs berarti al-sijn (penjara), diam,
cegah, rintangan, halangan, “tahanan,” dan pengamanan. Gabungan kata ahbasa (al-habs)
dengan al-mal (harta) berarti wakaf (ahbasa al-mal).
Penggunaa kata al-habs
dengan arti wakaf terdapat dalam beberapa riwayat. Yaitu:
Pertama,
dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibn ‘Umar yang menjelaskan bahwa Umar
Ibn al-Khatab datang kepada Nabi saw. Meminta petunjuk pemanfaatan tanah
miliknya di Khaibar. Nabi saw. Bersabda:
ان شئت حبست اصلها وتصدقت بها
“Bila engkau
menghendaki, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasinya (manfaatnya)!”[5]
Kedua, dalam hadits
riwayat Ibn Abbas (yang dijadikan alasan hukum oleh Imam Abu Hanifah)
dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda :
لاحبس عن فوائض الله [6]
“Harta yang sudah
berkedudukan sebagai tirkah (harta pusaka) tidak lagi termasuk benda wakaf.”
Dalam hadits dikatakan bahwa wakaf disebut dengan sedekah jariah (shadaqat
jariyah) dan al-habs (harta yang pokoknya dikelola dan
hasilnya didermakan).[7]
Oleh karena itu, nomenklatur wakaf dalam kitab-kitab hadits dan fiqih tidak
seragam. Al-Syarkhasi>
dalam kitab al-Mabsu>th,
memberikan nomenklatur wakaf dengan Kitab al-waqf,[8]
Imam Malik menuliskannya dengan nomenklatur Kitab Habs wa al-Shadaqat,[9]
Imam al-Syafi’I dalam al-Umm memberikan nomenklatur wakaf dengan al-Ahbas,[10]
dan bahkan Imam Bukhari menyertakan hadits-hadits tentang wakaf dengan
nomenklatur Kitab al-Washaya.[11]
Oleh karena itu secara nomenklatur wakaf disebut dengan al-ahbas, shadaqat jariyat, dan
al-waqf.
Keragaman nomenklatur wakaf terjadi karena tidak ada kata wakaf yang
eksplisit dalam Al-Quran dan hadits. Hal ini menunjukan bahwa wilayah ijtihad dalam
bidang wakaf lebih besar dari pada wilayah tawqifi.
Sedangkan menurut istilah Wahbah al-Zuhaily[12]
mengatakan bahwa, wakaf pada hakikatnya adalah:
حبس العين علي حكم مالك الواقف,
والتصدق بالمنفعة علي جهة الخير
“Menahan harta
(benda) milik orang yang berwakaf, kemudian menyedakahkan manfaatnya kepada
jalan kebaikan.”
Sedangkan menurut empat Imam Mazhab
;
Pertama, Hanafiyah mengartikan
wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau
mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan
(Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan
harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri.
Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala
perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset
hartanya.
Kedua, Malikiyah
berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki
(walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang
berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan
pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah
mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal
materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki
oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah
(al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus
harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah
rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan
(al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah
mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta
(tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu
menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia?
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum
Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.
Kata “wakaf” dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti: (1) tanah Negara tidak dapat diserahkan kepada siapapun
dan digunakan untuk tujuan amal. (2) benda bergerak atau tidak bergerak yang
disediakan untuk kepentingan umum (islam) sebagai pemberian yang ikhlas.[13]sedangkan
dalam Kompilasi Hukum Islampasal 215 wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan
untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran islam.[14]
C.
Dalil Wakaf
Allah telah mensyariatkan wakaf, dengan menganjurkannya dan
menjadikannya sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri kepadanya.
Diantara dalil wakaf itu adalah sabda Rasulullah SAW:
عن أبي
هريرة رضي الله عنه ان صلى الله عليه و سلم قال من احتبس فرسا في سبيل الله إيمانا واحتساب فإن شبعه وروثه وبوله في
ميزانه يوم القيامة حسنات.
Dari Abu Huraira, Bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda ; Barang siapa mewakafkan seekor kuda di jalan Allah
dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka makannya, tahinya dan kencingnya itu
menjadi amal kebaikan pada timbangan di hari kiamat nanti.[15]
Dan hadis lainnya yaitu:
عن أبي
هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال
إذا
مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة
جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Dari Abu Huraira bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda : “ Bila manusia mati, maka terputuslah amalnya dari
tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang
mendoakan kepadanya.[16]
Dan di perkuat juga Oleh firman
Allah SWT;
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ
حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ
اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kebajikan (yang sempurna)
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.[17]
D. Rukun-rukun dan Syarat-syarat Wakaf
Meskipun para
mujtahid berbeda pandangan dalam merumuskan term wakaf, namun mereka sepakat
bahwa dalam pemberian wakaf diperlukan beberapa rukun yang mengikat sahnya
perbuatan.
Abdul Wahhab Khallaf
menetapkan rukun wakaf pada empat
kategori, yang mempunyai signifikan, yaitu;
a.
Wakif, yakni pemilik
harta benda Yang melakukan tindakan hukum.
b.
Mauqf bih sebagai
obyek perbuatan hukum.
c.
Mauqf ‘alaih,
(tujuan) atau yang berhak menerima wakaf
d.
Ghat atau ikrar wakaf
dari waqif.[18]
Rukun wakaf
sebagaimana telah di kemukakan, masing-masing harus memenuhi syarat-syarat yang
disepakati jumhur Ulama. Untuk itu, setiap bagian dari rukun wakaf tersebut,
memerlukan penjelasan dan pengkajian
deskriftif berdasarkan pandangan ulama Mujtahid. hal ini sangat penting, di
samping untuk mengungkap khasana keragaman persepsi dan pandangan, juga sebagai
alternatif landasan teoritik dalam pengkajian perwakafan.
Ada dua istilah yang
perlu di pahami berkaitan kecakapan bertindak yang disebut dalam kitab-kitab
fikih Islam, yakni balig dan “Rasyid”. Balig di konsentrasikan pada umur yang
menurut jumhur ulama telah berusia minimal 15 tahun. Adapun yang dimaksud
“Rasyid” adalah cerdas atau kematangan dalam bertindak. Menurut jumhur Ulama,
tidak sah wakaf yang dilakukan oleh orang bodoh dan orang yang pailit.
Sedangkan golongan hanafiyah berpendapat bahwa tidak dapat dilaksanakan wakaf
dar orang yang berhutang dan pailit kecuali seizin orang yang memberi utang.[19]
Sedangkan
syarat-syarat wakaf menurut Badan Zakan Indonesia:[20]
1.
Syarat-syarat orang yang
berwakaf (al-waqif) Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang
berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka
untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah
orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang
sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang
mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang
sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2.
Syarat-syarat harta yang
diwakafkan (al-mauquf) Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan,
kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah;
pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta
yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak
diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah.
Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf
(wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada
harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3.
Syarat-syarat orang yang
menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang
menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak
tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang
yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang
semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya
tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang
sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang
yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang
yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim,
merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf.
Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang
akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang
dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan
untuk kepentingan Islam saja.
4.
Syarat-syarat Shigah
Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan
itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukkan kekalnya (ta’bid). Tidak
sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat
direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada
syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak
diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat
terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah.
Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah
kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf
secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
E.
Macam-Macam Wakaf
Sayyid Sabiq
menyebutkan bahwa wakaf terbagi kepada dua macam, yaitu:
a.
Wakaf Ahliy (وقف أهلى
)
Wakaf Ahliy di sebut juga wakaf keluarga atau khusus, yaitu wakaf yang
ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga
wakif maupun orang lain. Misalnya, seseorang mewakafkan buku-buku yang ada di
perpustakaan pribadinya untuk turunannya yang mampu menggunakan. Wakaf semacam
ini di pandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu ialah orang-orang
yang di tunjuk dalam pernyataan wakaf. Dalam satu segi wakaf ahli ini sangat
baik, karena siwakif mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah
wakafnya dan kebaikan silaturrahminya. Akan tetapi pada sisi lain, wakaf ahli
sering menimbulkan masalah, karena adalah apabila keturunan (keluarga ) atau
orang-orang yang di tunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda
wakaf atau yang ditunjuk untuk memanfaatkan benda-benda wakaf telah “punah”
maka nasib harta wakaf itu menjadi tidak jelas.[21] Bila hal itu terjadi,
maka di kembalikan kepada tujuan wakaf pada umumnya, yaitu dimanfaatkan untuk
menegaskan agama Allah atau untuk kepentingan sosial.
Sekalipun agama islam membolehkan wakaf keluarga, tetapi beberapa Negara
islam, seperti mesir, Syiria dan Negara-negara lain yang perna melaksanakannya,
mengalami kesulitan dalam meyelesaikan perkara atau persoalan yang
ditimbulkannya. Mesir telah menghapuskan lembaga wakaf keluarga dengan
undang-undang No. 180 tahun 1952, penghapusan aturan itu juga telah dilakukan
Syiria. Sedangkan Indonesia PP No. 28 tahun 1977 secara tegas meyatakan bahwa
wakaf keluarga tidak termasuk dalam ruang lingkupnya. Olehnya itu perlu
dipikirkan kemungkinan terjadinya wakaf keluarga di Indonesia pada masa-masa
yang akan datang.[22]
Maksud semula dari wakaf keluarga adalah sama dengan wakaf umum, yaitu
untuk berbuat baik pada orang lain dalang rangka pelaksanaan amal kebajikan
menurut ajaran islam. Namun, terjadi penyalagunaan, misalnya mewakafkan
sebidang kebun yang hasilnya untuk dimanfaatkan dalam membina suatu pengajian
dan sebagainya, tetapi sebagian atau seluruhnya justru digunakan untuk
kepentingan nazir.
b.
Wakaf Khairy (وقف خيرى)
Wakaf khairy atau wakaf umum ini perlu digalakkan dan di anjurkan, agar
kaum muslimin melakukannya, Karena dapat dijadikan modal untuk menegakkan agama
Allah, membina sarana keagamaan, membangun sekolah, menolong fakir miskin, anak
yatim, orang terlantar dan kepentingan umum lainnya. Wakaf khairy adalah wakaf
yang pahalanya terus menerus mengalir dan diperoleh wakif sekalipun ia telah
meninggal dunia.[23]
Wakaf Khairy atau wakaf umum sungguh lebih besar manfaatnya dari pada
wakaf ahli dalam kehidupan ummat islam, karena pemanfaatannya tidak terbatas
pada satu orang atau kelompok tertentu saja, melainkan untuk ummat islam secara
umum. Wakaf khairy paling sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam wakaf ini si wakif boleh melaksanakan salat dan ikut
memelihara masjid itu, atau seseorang yang mewakafkan sumur dapat mengambil air
dari sumur itu.demikian pula bila wakaf sekolah maka si wakif dapat
menyekolahkan anak-anaknya atau keluarganya di sekolah itu.
c.
Wakaf Uang
Sebagai lembaga atau institusi yang dapat mensejahterahkan masyarakat,
wakaf semakin maju, tidak hanya berupa tanah, uang pun dapat di wakafkan.
Langkah ini menjadi gerakan alternatif dalam pemberdayaan ummat dan meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Saat
ini, telah tercetus Gerakan Nasional Wakaf Indonesia (GNWU) yang di gagas oleh
Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Wakaf uang dalam islam bukan
sesuatu yang baru. Muhammad Abdullah al-Anshari, murid dari zufar (sahabat Abu
Hanifa ) telah membolehkan Wakaf dalam bentuk uang. Dalam mazhab Hanafi,
sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Abidin, sah tidaknya wakaf uang tergantung
kebiasaan di suatu tempat. Namun demikian, ada juga ulama yang tidak
membolehkan wakaf uang. Ibn Qudamah dalam meriwayatkan pendapat dari sebagian
besar ulama yang tidak membolehkan wakaf uang dirham, dengan alasan dinar dan
dirham akan lenyap ketika dilakukan pembayaran, sehingga tidak ada lagi
wujudnya. Ibn Qudama juga menjelaskan salah satu pendapat dari kalangan yang
tidak membolehkan mempersewakan uang.[24]hal ini telah di uraikan
oleh Latif Muhammad Amir bahwa segala sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan,
todak boleh diwakafkan, apalagi telah hilang zatnya, misalnya emas, uang
kertas, makanan dan minuman.[25]
F.
Filosofi dan Hikmah
Wakaf
Karena besarnya manfaat wakaf
ini, maka wakaf tidak cukup hanya dipahami sebatas aturan atau hukumnya saja,
tetapi juga filosofi dan hikmahnya, sehingga pengumpulan harta wakaf dan
pendayagunaannya bisa dilakukan seoptimal mungkin.
Wakaf sebagai ibadah social
Ibadah sosial adalah jenis
ibadah yang lebih berorientasi pada habl min al-nas, hubungan manusia dengan
lingkungannya, atau biasa juga disebut kesalehan sosial. Ini adalah satu paket
dalam kesempurnaan ibadah seorang hamba di samping kesalehan dalam ibadah
vertikal, habl min Allah. Keduanya ibarat dua keping mata uang yang tak
terpisahkan. Wakaf, dalam konteks ini, masuk dalam kategori ibadah sosial.
Dalam pandangan agama, wakaf adalah bentuk amal jariah yang pahala akan terus
mengalir hingga hari akhir, meski orangnya telah tutup usia. Rasulallah saw
bersabda, “Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah semua amalnya kecuali
tiga perkara: shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang
mendoakannya” (HR. Muslim).
Imam Nawawi dalam kitabnya,
Syarh Shahih Muslim menjelaskan, yang dimaksud dengan shadaqah jariyah adalah
wakaf. Sedangkan yang dimaksud wakaf adalah menahan harta dan membagikan
(memanfaatkan) hasilnya. Wakaf mempunyai derajat khusus, karena ia mempunyai
manfaat yang besar bagi kemajuan umat. Maka suatu hal wajar apabila wakaf
disamakan statusnya dengan ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakan
orang tuanya. Itulah keistimewaan wakaf, yang tidak dimiliki amal ibadah lain.
Wakaf disyariatkan pada tahun
ke-2 Hijriyah. Para ‘ulama berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf pertama
dilakukan oleh Umar ibn Khaththab terhadap tanahnya yang terletak di Khaibar
(Tafsir Ibnu Katsir Juz I 381; Fiqh al-Sunnah, jilid III: 381; Subul al-salam:
87). Menurut keterangan Ibnu Umar, shahabat Umar ibn Khaththab
menyedekahkan hasil wakafnya itu kepada fakir miskin, shahabat, hamba sahaya,
sabilillah, ibnu sabil, dan kepada para tamu. Pendapat lain mengatakan, wakaf
pertama kali dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap tanahnya yang digunakan
untuk masjid Quba di Madinah, sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Umar ibn
Sya’bah dari Amr ibn Sa’ad ibn Muadz, berkata: "Kami bertanya tentang
mula-mula wakaf dalam Islam, orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar,
sedang orang-orang Anshor mengatakan wakaf Rasulullah saw." (Asy-Syaukani
1374 H: 129)
Dalam sejarah peradaban Islam,
wakaf banyak digunakan untuk amal sosial atau kepentingan umum, sebagaimana
dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn Khaththab. Beliau memberikan hasil kebunnya
kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya
(budak) yang sedang berusaha menebus dirinya. Wakaf ini ditujukan kepada umum,
dengan tidak membatasi penggunaannya, yang mencakup semua aspek untuk
kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya.
Kepentingan umum itu kini bisa
berupa jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal tersebut
merupakan salah satu segi dari bentuk-bentuk penggunaan wakaf membelanjakan
atau memanfaatkan harta di jalan Allah swt melalui pintu wakaf. Dengan
demikian, dilihat dari segi manfaat pengelolaannya, wakaf sangat berjasa besar
dalam membangun berbagai sarana untuk kepentingan umum demi kesejahteraan umat.
Wakaf mengalirkan pahala tiada
akhir
Dalil yang menjadi dasar
keutamaan ibadah wakaf dapat kita lihat dari beberapa ayat Al-Quran dan Hadits,
antara lain:
1) Surat Ali Imran
ayat 92. “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna)
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui.”
2) Surat
al-Baqarah ayat 261. "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha
Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
3) Hadits
tentang shadaqah jariyah, sebagaimana telah disinggung di atas. Dari Abu
Hurairah r.a., sesungguhnya Nabi Muhammad saw bersabda, “Apabila anak Adam
meninggal dunia maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah,
ilmu yang dimanfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.” Hadits
ini dikemukakan dalam bab wakaf, karena shadaqah jariyah oleh para ulama
ditafsirkan sebagai wakaf. Di antara para ulama yang menafsirkan dan
mengelompokkan shadaqah jariyah sebagai wakaf adalah Asy-Syaukani, Sayyid
Sabiq, Imam Taqiyuddin, dan Abu Bakr.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud shadaqah jariyah
dalam hadits tersebut adalah wakaf. Itulah antara lain beberapa dalil yang
menjadi dasar hukum disyariatkannya wakaf dalam Islam.
Kemudian dari segi keutamaannya,
Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata, “wakaf adalah sedekah yang paling mulia.
Allah swt menganjurkannya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi yang berwakaf,
karena sedekah berupa wakaf tetap terus mengalirkan kebaikan dan mashlahat”.
Adapun keutamaan wakaf ini bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda. Bagi
penerima hasil (mauquf alaih), wakaf akan menebarkan kebaikan kepada pihak yang
memperoleh hasil wakaf dan orang yang membutuhkan bantuan, seperti fakir
miskin, anak yatim, korban bencana, orang yang tidak punya usaha dan pekerjaan,
orang yang berjihad di jalan Alllah swt. Wakaf juga memberi manfaat besar untuk
kemajuan ilmu pengetahuan, seperti bantuan bagi para pengajar dan penuntut
ilmu, serta berbagai pelayanan kemaslahatan umat yang lain.
Sementara itu, bagi pewakaf
(wakif), wakaf merupakan amal kebaikan yang tak akan ada habisnya bagi orang
yang berwakaf. Oleh karenanya, barang yang diwakafkan itu tetap utuh sampai
kapanpun. Di samping utuh, barang tersebut juga dikelola dan dimanfaatkan untuk
kepentingan umum. Dengan begitu, pahala yang dihasilkan terus mengalir kepada
wakif, meskipun ia sudah meninggal dunia. Hal inilah yang membedakan keutamaan
wakaf dibanding dengan ibadah lainnya yang sejenis, seperti zakat.
Beberapa penjelasan tersebut
menunjukkan, bahwa melaksanakan wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi
ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas
benda yang dimilikinya (private benefit) untuk kepentingan umum (social
benefit). Jadi, wakaf adalah jenis ibadah yang istimewa dan utama bagi orang
yang beriman dan beramal saleh. Hanya dengan memberikan harta untuk wakaf,
manfaat dan hasilnya dapat terus berlipat tanpa henti.
Jika disederhanakan, filosofi
orientasi dan hikmah dalam wakaf itu terdapat tiga poin. Pertama, wakaf
untuk sarana prasarana dan aktivitas sosial. Kedua, wakaf untuk peningkatan
peradaban umat. Dan ketiga, wakaf untuk meningkatkan kesejahteraan umat.
Wakaf untuk sarana dan prasarana
ibadah dan aktivitas social
Sebenarnya wakaf sudah dikenal
dalam masyarakat Arab kuno di Makkah sebelum kedatangan Muhammad saw. Di tempat
itu, terdapat bangunan ka’bah yang dijadikan sarana peribadatan bagi masyarakat
setempat. Al-Quran menyebutnya sebagai tempat ibadah pertama bagi manusia,
yakni Q.S. Ali Imran ayat 96: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk
(tempat ibadah) manusia adalah Baitullah (Ka’bah) yang di Bakkah (Makkah) yang
diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua masnusia.” Oleh karena itu, bisa
dikatakan, ka’bah merupakan wakaf pertama yang dikenal manusia dan dimanfaatkan
untuk kepentingan agama.
Sementara itu, dalam Islam,
tradisi ini dirintis oleh Rasulullah Muhammad saw, yang membangun masjid Quba’
di awal kedatangannya di Madinah. Peristiwa ini dijadikan sebagai penanda wakaf
pertama dalam Islam untuk kepentingan peribadatan dalam agama. Ini terjadi tak
lama setelah Nabi hijrah ke Madinah. Selain itu, Nabi juga membangun masjid
Nabawi yang didirikan di atas tanah anak Yatim dari bani Najjar. Tanah itu
telah dibeli Nabi dengan harga delapan ratus dirham. Langkah ini menunjukkan,
bahwa Nabi telah mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid sebagai sarana
peribadatan umat Islam.
Hal tersebut kemudian ditetapkan
sebagai ibadah, yang diteladani umat Islam di segala penjuru. Maka tak heran
kalau kini banyak ditemukan masjid hasil wakaf. Di antara masjid-masjid masyhur
di dunia yang dikelola dengan wakaf, antara lain, masjid al-Azhar dan masjid
al-Husain di Mesir, masjid Umawi di Syria, dan masjid al-Qairawan di Tunis.
Masjid-masjid itu tak hanya digunakan sebagai sarana ibadah, tapi juga sebagai
tempat dakwah dan pendidikan Islam serta pelayanan umat dalam bidang-bidang
lainnya.
Wakaf untuk peningkatan
peradaban umat
Masjid sebagai harta wakaf di
masa awal Islam mempunyai peran yang signifikan. Selain sebagai sarana ibadah,
ia juga digunakan untuk pendidikan dan pengajaran, yang biasa disebut dengan
halaqah, lingkaran studi. Kegiatan ini tak lain merupakan bagian dari upaya
mencerdaskan dan membangun peradaban umat. Di tempat itu, diajarkan cara
membaca al-Quran dan menulis. Di samping itu, didirikan pula katatib, sejenis
sekolah dasar yang mengajarkan membaca, menulis, bahasa arab, dan ilmu
matematika.
Kemudian dari masjid-masjid itu
lahirlah beribu-ribu sekolah (madrasah) yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar.
Itu adalah bagian dari keberhasilan umat Islam dalam mengelola harta hasil
berderma. Satu misal, kerajaan Bani Abasiyah mempunyai tiga puluh diwan
(kementerian) dalam pemerintahannya. Namun dari 30 diwan itu tidak ada satupun
yang mengurus tentang pendidikan, karena pendidikan dikelola dengan baik dan
didanai secara cukup oleh wakaf. Bahkan, hal sekecil apapun yang terkait dengan
pendidikan juga disediakan, apalagi fasilitas pokok lainnya.
Abdul Qadir Anna’imy (wafat 927
H) menjelaskan dalam kitabnya, Addaaris Fittaarikh Al Madaris, bahwa wakaf pada
saat itu banyak yang dikhususkan untuk membeli alat-alat gambar untuk para
pelajar dari pemuda-pemuda Makkah dan Madinah. Bahkan Ibnu Ruzaik telah
mewakafkan harta untuk menyediakan pulpen, kertas, dan tinta. Harta hasil wakaf
umat Islam, kala itu, juga banyak digunakan untuk kegiatan ilmiah. Misalnya,
Ibnu Ala Almaary setelah tamat belajar pada sekolah yang didanai wakaf di kota
Halab, dia pergi ke Bagdad untuk menambah wawasan dan melakukan penelitian,
serta bergabung dalam diskusi-diskusi umum dan filsafat. Walaupun ia
mengsosialisasikan pemikiran filsafatnya yang di antaranya bertentangan dengan
opini keagamaan yang berlaku pada saat itu, ia tetap mendapatkan subsidi dari
wakaf dan tidak dihentikan.
Selain Ibnu Ala Almaary, seorang
ahli ilmu matematik, ilmuwan lain yang mendapatkan biaya dari harta wakaf
adalah Yusup murid Imam Abu Hanifah yang menjabat sebagai qâdhâ qudhât (hakim
agung kerajaan Bani Abasiah), Muhammad Alkhawarijmy seorang ahli ilmu aljabar,
Ibnu Sina seorang ahli kedokteran, Ibnu Hisyam seorang ahli optik, dan lainnya.
Satu hal yang yang perlu dicatat
dari perilaku ilmuwan-ilmuwan yang hidup dan besar dari wakaf adalah semangat
mereka untuk mencari kebenaran. Lembaga wakaf yang telah mendanainya tidak
mengikat dan mengharuskan mereka untuk membawa misi tertentu. Namun para
ilmuwan itu siap mensosialisasikan hasil penelitiannya kepada masyarakat umum
dengan motivasi semata-mata karena Allah. Dalam sejarah, wakaf model ini
termasuk di antara manfaat wakaf yang paling mendapat perhatian besar dari umat
Islam. Hampir di setiap kota besar di negara-negara Islam, bisa dipastikan,
terdapat sekolah, universitas, perpustakaan, dan islamic centre dari hasil
wakaf, seperti di Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan berbagai tempat lain.
Wakaf untuk kegiatan ilmiah
tersebut kini tetap dilaksanakan, terutama dalam bentuk beasiswa, gaji
pengajar, biaya penelitian (riset), penyediaan sarana dan prasarana pendidikan,
seperti perpustakan dan alat-alat laboratorium, dan sebagainya. Salah satu
contoh wakaf untuk kepentingan ilmiah adalah Universitas al-Azhar di Mesir yang
berdiri lebih dari 1000 tahun lalu. Hingga kini pembiayaan universitas
kebanggaan umat Islam itu dikelola dari harta wakaf. Hal semacam ini juga
terjadi di seluruh dunia Islam pada masa kini, termasuk di Indonesia, walau
pemanfaatnya belum optimal.
Wakaf untuk peningkatan
kesejahteraan umat
Kalau ditarik benang merah dari
beberapa pembahasan di atas, maka akan tampak jelas, bahwa hikmah lain
disyariatkannya wakaf adalah untuk mensejahterakan kehidupan manusia secara
umum. Ini sejalan dengan pandangan ulama al-Azhar Mesir Ali Ahmad al-Jurjawi,
penulis Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Menurutnya, wakaf seharusnya mampu
mengurangi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, serta dapat
meningkatkan taraf hidup manusia. Allah berfirman dalam al-Quran, “Kamu sekali-kali
tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92). Ketika ayat itu turun, sahabat
Nabi Abu Thalhah berkata, Wahai Rasul Allah, saya ingin mendermakan kebunku
karena Allah. Kemudian, Nabi menasehatinya agar kebun tersebut didermakan untuk
kepentingan orang-orang fakir miskin.
Kemudian Umar ibn Khattab pun
melakukan hal yang sama. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari Ibn Umar, ia
berkata: “Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah
saw. meminta untuk mengolahnya, sambil berkata: Ya Rasulullah, aku memiliki
sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku
harus berbuat? Rasulullah bersabda: Jika engkau menginginkannya tahanlah tanah
itu dan shadaqohkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau
diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan. Maka ia menshadaqahkannya kepada
fakir miskin, karib kerabat, budak belian, dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi
orang yang mengurus harta tersebut untuk menggunakan sekedar keperluannya tanpa
maksud memiliki harta itu”.
Wakaf untuk kesejahteraan umum
ini, kemudian berkembang menjadi berbagai bentuk.
1) Wakaf untuk
fasilitas umum, seperti wakaf sumur dan sumber mata air. Ini bisa dijumpai di
tepi-tepi jalan yang bisa menjadi lalu lintas jamaah haji yang datang dari
Iraq, Syam, Mesir, dan Yaman, serta kafilah yang bepergian menuju India dan
Afrika. Di antara sumur-sumur itu, terdapat wakaf sumur Zubaidah, isteri Harun
al-Rasyid, khalifah pemerintahan Abbasiyah. Yang termasuk bentuk ini adalah
wakaf jalan dan jembatan.
2) Wakaf
khusus untuk bantuan orang-orang fakir miskin. Wakaf ini seperti yang
digambarkan dalam hadits di atas. Hasil pengelolaannya digunakan untuk pemberdayaan
masyarakar yang masuk katergori fakir dan miskin. Wujud dari wakaf ini kini
bisa beraneka ragam, ada yang diwujudkan dalam bantuan beasiswa, pengobatan
gratis, balai pendidikan dan pelatihan cuma-cuma, bantuan permodalan dan
sebagainya.
3) Wakaf untuk
pelestarian lingkungan hidup. Wakaf ini menunjukkan bahwa kesejahteraan manusia
juga harus didukung keseimbangan ekosistem dan lingkungan hidup di sekitar.
Perbaikan masyarkat tanpa dibarengi pelestarian lingkungan, tentu perbaikan
tersebut berjalan dengan paradoks. Karena itu, harus seimbang. Misalnya, wakaf
tanah terbuka hijau di tengah perkotaan, wakaf sungai dan salauran air, serta
wakaf untuk burung-burung merpati seperti di Masjidil Haram, Makkah.
Beberapa kutipan hadits dan
uraian di atas mempertegas, bahwa wakaf mempunyai dampak positif bagi
kesejahteraan masyarakat. Perkebunan yang dijadikan contoh di atas dikelola
dengan baik, dan hasilnya diberikan kepada orang-orang membutuhkan, terutama
orang-orang miskin untuk memenuhi kebutuh dasar mereka, sehingga mereka tidak
sampai kelaparan. Wakaf bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, dan pahalanya
terus mekar sebagai bekal investasi kelak di akhirat[26]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Kata “wakaf” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: (1)
tanah Negara tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan
amal. (2) benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan
umum (islam) sebagai pemberian yang ikhlas.
·
Abdul Wahhab Khallaf
menetapkan rukun wakaf pada empat
kategori, yang mempunyai signifikan, yaitu;
1)
Wakif, yakni pemilik
harta benda Yang melakukan tindakan hukum.
2)
Mauqf bih sebagai
obyek perbuatan hukum.
3)
Mauqf ‘alaih,
(tujuan) atau yang berhak menerima wakaf
4)
Ghat atau ikrar wakaf
dari waqif
·
syarat-syarat wakaf :
1)
ada (al-waqif) dimana Syarat-syarat al-waqif ada
empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta
itu, Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang
gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia
mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid).
2)
(al-mauquf) Harta yang
diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa
persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu
mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah
diketahui kadarnya. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang
yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri.
[1]Al-Qur’a>n Al-kari>m, Mushaf Al-Hilali, Qs:
Al-haj, h. 341
[2]Abu Muhammad Al-Huse>n ibn Mas’u>d
al-Baghawi>, Mua>limi al-Tanzi>l,(Da>r T{ayyibah Linasyri wa
Taoz’i>}:tth,1997), h. 341.
[3]Imam Taqqy al-Din Abi Bkr Ibnu Muhammad al Hasaeni al
Dimasqi, Kifa>yat al Ahyar> fi Hall Gayat al Ikhtishar, (Semarang:
Thoha Putra, tth.), hlm. 319.
[5]Muhammad Bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari,
(Semarang: Thoha Putra, 1981). Juz II. Hlm. 196.
[6]Ali Fikri,
Al-Muamalat al-Madaniyah wa al Addabiyah, (Mesir: Musthafa al-Babi al Halabi wa
Auladuh, 1983). Juz II. Hlm. 300
[7]Imam
Muslim, Shahih Muslim, (Bandung. Tth). Juz II. hlm. 14
[8]Abi Bakr Muhammad Ibn al Syarkhasi, Kitab
Al-Mabsuth, (Beirut: Dar al Kutub al-Ilmyah, tth). Jld. IV Juz XII. hlm.
33-34.
[9]Imam Malik
Ibn Annas, Al-Mudawamat al-Kubra, (Beeirut: dar al-Kutub al Ilmiyah, tth). Juz
IV. hlm. 417.
[10]Muhammad
Ibn Idris al-syafi’I, al Umm, (Mesir: Maktabat Kuliyat al Azhariyah, tth) Juz
III. hlm. 51
[11]Ali Fikri, Muamalat al Madaniyah, (Mesir: Musthafa al
Babi al-Halabi wa Auladuh, 1983). Juz II. hlm. 300.
[12]Wahbah
al0Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Damaskus: Da>r al-fikr,
1989),Juz VIII, h.153
[13]Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed, III (Cet. II;
Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1266
[14]Abdurrahman,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta; Akademika Presindo, 1992),
h. 165.
[15]Muhammad
al-Syaukani, Nailur Autar Muntaqa al-akhbar, (Beirut: Da>r al-fikr, 1994),
Juz VI, h.120. Lihat juga Muh}ammad bin Isma>’i>l Abu> ‘Abdilla>h
al-Bukha>ri> al-Ja’fi>, S}ah}i>h al-Bukha>ri>, Juz III
(Cet. III; Beirut: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1987), h. 2235.
[16]Muslim bin al-H}ajjaj> Abu>
al-H}usain al-Qusyairi> al-Ni>sabu>ri>, S}ah}i>h Muslim, Juz
III (Beirut: Da>r
Ihya>i al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 1255
[17]
Al-Qur’a>n Qs: A>li-Imra>n. ayat 92.
[18]Abdul
Wahhab Khallaf, masadi>r al-Tasyri>’ al-islami fi ma ala Nassa Fih, (cet.
III; Kuwait, Da>r al-Qalam, 1972), h.24
[19]Wahbah
al-Zuhaily, op cit., h 176-177
[20]Badan
Wakaf Indonesia, http://bwi.or.id/index.php/in/pengertian-wakaf-tentang-wakaf-54
[21]Lihat
Ghufraon A Masadi, Fikh Muamalah Kontekstual (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 175
[22]Ibid.,
h.176
[23]Faisal
Haq Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia (Cet. II; Jakarta,
Garoeda Buana Indah, 1994), h. 6
[24]Ibn Qudama, al-Mugniy wa Syarh al-Kabir,
(Beirut: Dar al-Kutub, tt, h. 235
[25]Abdul Latif Muhammad Amr, Ahkam al-Wasaya
wa al-Waqf, (Al-Qahirah; Maktabah wahbah, 2006 ) h. 251
[26]Prof
Dr. Masykuri Abdillah http://bwi.or.id/index.php/in/artikel/356-filosofi-dan-hikmah-wakaf, Sabtu, 10 Januari 2009 01:42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar