Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Kamis, 13 Juni 2013

wakaf



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Wakaf merupakan salah satu ibadah kebendaan yang penting yang secara ekplisit tidak memiliki rujukan dalam kitab suci Al-Quran. Oleh karena itu, ulama telah melakukan identifikasi untuk mencari “induk kata” sebagai sandaran hukum. Hasil identifikasi mereka juga akhirnya melahirkan ragam nomenklatur wakaf yang dijelaskan pada bagian berikut.
Wakaf adalah institusi sosial Islami yang tidak memiliki rujukan yang eksplisit dalam al-Quran dan sunah. Ulama berpendapat bahwa perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-khayr (secara harfiah berarti kebaikan). Dasarnya adalah firman Allah berikut :
وافعلوا الخير لعلكم تفلحون
dan berbuatlah kebajikan agar kamu beruntung”[1]
            Imam Al-Baghawi menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan silaturahmi, dan berakhlak yang baik.[2] SementaraTaqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan wakaf.[3]
            Penafsiran menurut al-Dimasqi tersebut relevan (munasabah) dengan firman Allah tentang wasiyat.
كتب عليكم ادا حضر احدكم الموت ان ترك خير الوصية للوالدين والاقربين  بالمعروف حقا على المتقون
              “Kamu diwajibkan berwasiat apabila sudah didatangi (tanda-tanda) kematian dan jika kamu meninggalkan harta yang banyak untuk ibu bapak dan karib kerabat dengan acara yang ma’ruf; (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang takwa.”

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis akan menjelaskan lebih lanjut tentang :
1.      Apa yang dimaksud Wakaf ?
2.      Apa dalil wakaf ?
3.      Bagaimana Rukun dan Syarat Wakaf ?
4.      Apa hikmah Wakaf ?





















BAB II
PEMBAHASAN
            Menurut bahasa Wakaf berasal dari waqf  yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil  (tertawan) dan al-man’u (mencegah).[4] disebut pula dengan al-habs (al-ahbas, jamak). Secara bahasa, al-habs berarti al-sijn (penjara), diam, cegah, rintangan, halangan, “tahanan,” dan pengamanan. Gabungan kata ahbasa (al-habs) dengan al-mal (harta) berarti wakaf (ahbasa al-mal).
Penggunaa kata al-habs dengan arti wakaf terdapat dalam beberapa riwayat. Yaitu:
Pertama, dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibn ‘Umar yang menjelaskan bahwa Umar Ibn al-Khatab datang kepada Nabi saw. Meminta petunjuk pemanfaatan tanah miliknya di Khaibar. Nabi saw. Bersabda:
ان شئت حبست اصلها وتصدقت بها
Bila engkau menghendaki, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasinya (manfaatnya)!”[5]
Kedua, dalam hadits riwayat Ibn Abbas (yang dijadikan alasan hukum oleh Imam Abu Hanifah) dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda :
لاحبس عن فوائض الله [6]
“Harta yang sudah berkedudukan sebagai tirkah (harta pusaka) tidak lagi termasuk benda wakaf.”
Dalam hadits dikatakan bahwa wakaf disebut dengan sedekah jariah (shadaqat jariyah) dan al-habs (harta yang pokoknya dikelola  dan hasilnya didermakan).[7] Oleh karena itu, nomenklatur wakaf dalam kitab-kitab hadits dan fiqih tidak seragam. Al-Syarkhasi> dalam kitab al-Mabsu>th, memberikan nomenklatur wakaf dengan Kitab al-waqf,[8] Imam Malik menuliskannya dengan nomenklatur Kitab Habs wa al-Shadaqat,[9] Imam al-Syafi’I dalam al-Umm memberikan nomenklatur wakaf dengan al-Ahbas,[10] dan bahkan Imam Bukhari menyertakan hadits-hadits tentang wakaf dengan nomenklatur Kitab al-Washaya.[11] Oleh karena itu secara nomenklatur wakaf disebut dengan al-ahbas, shadaqat jariyat, dan al-waqf.
Keragaman nomenklatur wakaf terjadi karena tidak ada kata wakaf yang eksplisit dalam Al-Quran dan hadits. Hal ini menunjukan bahwa wilayah ijtihad dalam bidang wakaf lebih besar dari pada wilayah tawqifi.
Sedangkan menurut istilah Wahbah al-Zuhaily[12] mengatakan bahwa, wakaf pada hakikatnya adalah:
حبس العين علي حكم مالك الواقف, والتصدق بالمنفعة علي جهة الخير
“Menahan harta (benda) milik orang yang berwakaf, kemudian menyedakahkan manfaatnya kepada jalan kebaikan.”
            Sedangkan menurut empat Imam Mazhab ;
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
            Kata “wakaf” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: (1) tanah Negara tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal. (2) benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum (islam) sebagai pemberian yang ikhlas.[13]sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islampasal 215 wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam.[14]
C.     Dalil Wakaf
Allah telah mensyariatkan wakaf, dengan menganjurkannya dan menjadikannya sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri kepadanya. Diantara dalil wakaf itu adalah sabda Rasulullah SAW:
عن أبي هريرة رضي الله عنه ان صلى الله عليه و سلم قال من احتبس فرسا في سبيل الله إيمانا واحتساب فإن شبعه وروثه وبوله في ميزانه يوم القيامة حسنات.
Dari Abu Huraira, Bahwa Rasulullah SAW. Bersabda ; Barang siapa mewakafkan seekor kuda di jalan Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka makannya, tahinya dan kencingnya itu menjadi amal kebaikan pada timbangan di hari kiamat nanti.[15]
            Dan hadis lainnya yaitu:
عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال  إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Dari Abu Huraira bahwa Rasulullah SAW. Bersabda : “ Bila manusia mati, maka terputuslah amalnya dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan kepadanya.[16] 
Dan di perkuat juga Oleh firman Allah SWT;
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.[17]
D.    Rukun-rukun dan Syarat-syarat Wakaf
Meskipun para mujtahid berbeda pandangan dalam merumuskan term wakaf, namun mereka sepakat bahwa dalam pemberian wakaf diperlukan beberapa rukun yang mengikat sahnya perbuatan.
Abdul Wahhab  Khallaf  menetapkan rukun wakaf  pada empat kategori, yang mempunyai signifikan, yaitu;
a.       Wakif, yakni pemilik harta benda Yang melakukan tindakan hukum.
b.      Mauqf bih sebagai obyek perbuatan hukum.
c.       Mauqf ‘alaih, (tujuan) atau yang berhak menerima wakaf
d.      Ghat atau ikrar wakaf dari waqif.[18]
Rukun wakaf sebagaimana telah di kemukakan, masing-masing harus memenuhi syarat-syarat yang disepakati jumhur Ulama. Untuk itu, setiap bagian dari rukun wakaf tersebut, memerlukan penjelasan  dan pengkajian deskriftif berdasarkan pandangan ulama Mujtahid. hal ini sangat penting, di samping untuk mengungkap khasana keragaman persepsi dan pandangan, juga sebagai alternatif landasan teoritik dalam pengkajian perwakafan.
Ada dua istilah yang perlu di pahami berkaitan kecakapan bertindak yang disebut dalam kitab-kitab fikih Islam, yakni balig dan “Rasyid”. Balig di konsentrasikan pada umur yang menurut jumhur ulama telah berusia minimal 15 tahun. Adapun yang dimaksud “Rasyid” adalah cerdas atau kematangan dalam bertindak. Menurut jumhur Ulama, tidak sah wakaf yang dilakukan oleh orang bodoh dan orang yang pailit. Sedangkan golongan hanafiyah berpendapat bahwa tidak dapat dilaksanakan wakaf dar orang yang berhutang dan pailit kecuali seizin orang yang memberi utang.[19]
Sedangkan syarat-syarat wakaf menurut Badan Zakan Indonesia:[20]
1.      Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif) Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2.      Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf) Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3.      Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
4.      Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukkan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
E.     Macam-Macam Wakaf
Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa wakaf terbagi kepada dua macam, yaitu:
a.       Wakaf Ahliy (وقف أهلى )
Wakaf Ahliy di sebut juga wakaf keluarga atau khusus, yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain. Misalnya, seseorang mewakafkan buku-buku yang ada di perpustakaan pribadinya untuk turunannya yang mampu menggunakan. Wakaf semacam ini di pandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu ialah orang-orang yang di tunjuk dalam pernyataan wakaf. Dalam satu segi wakaf ahli ini sangat baik, karena siwakif mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya dan kebaikan silaturrahminya. Akan tetapi pada sisi lain, wakaf ahli sering menimbulkan masalah, karena adalah apabila keturunan (keluarga ) atau orang-orang yang di tunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda wakaf atau yang ditunjuk untuk memanfaatkan benda-benda wakaf telah “punah” maka nasib harta wakaf itu menjadi tidak jelas.[21] Bila hal itu terjadi, maka di kembalikan kepada tujuan wakaf pada umumnya, yaitu dimanfaatkan untuk menegaskan agama Allah atau untuk kepentingan sosial.
Sekalipun agama islam membolehkan wakaf keluarga, tetapi beberapa Negara islam, seperti mesir, Syiria dan Negara-negara lain yang perna melaksanakannya, mengalami kesulitan dalam meyelesaikan perkara atau persoalan yang ditimbulkannya. Mesir telah menghapuskan lembaga wakaf keluarga dengan undang-undang No. 180 tahun 1952, penghapusan aturan itu juga telah dilakukan Syiria. Sedangkan Indonesia PP No. 28 tahun 1977 secara tegas meyatakan bahwa wakaf keluarga tidak termasuk dalam ruang lingkupnya. Olehnya itu perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya wakaf keluarga di Indonesia pada masa-masa yang akan datang.[22]
Maksud semula dari wakaf keluarga adalah sama dengan wakaf umum, yaitu untuk berbuat baik pada orang lain dalang rangka pelaksanaan amal kebajikan menurut ajaran islam. Namun, terjadi penyalagunaan, misalnya mewakafkan sebidang kebun yang hasilnya untuk dimanfaatkan dalam membina suatu pengajian dan sebagainya, tetapi sebagian atau seluruhnya justru digunakan untuk kepentingan nazir.
b.      Wakaf Khairy (وقف خيرى)
Wakaf khairy atau wakaf umum ini perlu digalakkan dan di anjurkan, agar kaum muslimin melakukannya, Karena dapat dijadikan modal untuk menegakkan agama Allah, membina sarana keagamaan, membangun sekolah, menolong fakir miskin, anak yatim, orang terlantar dan kepentingan umum lainnya. Wakaf khairy adalah wakaf yang pahalanya terus menerus mengalir dan diperoleh wakif sekalipun ia telah meninggal dunia.[23]
Wakaf Khairy atau wakaf umum sungguh lebih besar manfaatnya dari pada wakaf ahli dalam kehidupan ummat islam, karena pemanfaatannya tidak terbatas pada satu orang atau kelompok tertentu saja, melainkan untuk ummat islam secara umum. Wakaf khairy paling sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam wakaf ini  si wakif boleh melaksanakan salat dan ikut memelihara masjid itu, atau seseorang yang mewakafkan sumur dapat mengambil air dari sumur itu.demikian pula bila wakaf sekolah maka si wakif dapat menyekolahkan anak-anaknya atau keluarganya di sekolah itu.
c.       Wakaf Uang
Sebagai lembaga atau institusi yang dapat mensejahterahkan masyarakat, wakaf semakin maju, tidak hanya berupa tanah, uang pun dapat di wakafkan. Langkah ini menjadi gerakan alternatif dalam pemberdayaan ummat dan meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Saat ini, telah tercetus Gerakan Nasional Wakaf Indonesia (GNWU) yang di gagas oleh Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Wakaf uang dalam islam bukan sesuatu yang baru. Muhammad Abdullah al-Anshari, murid dari zufar (sahabat Abu Hanifa ) telah membolehkan Wakaf dalam bentuk uang. Dalam mazhab Hanafi, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Abidin, sah tidaknya wakaf uang tergantung kebiasaan di suatu tempat. Namun demikian, ada juga ulama yang tidak membolehkan wakaf uang. Ibn Qudamah dalam meriwayatkan pendapat dari sebagian besar ulama yang tidak membolehkan wakaf uang dirham, dengan alasan dinar dan dirham akan lenyap ketika dilakukan pembayaran, sehingga tidak ada lagi wujudnya. Ibn Qudama juga menjelaskan salah satu pendapat dari kalangan yang tidak membolehkan mempersewakan uang.[24]hal ini telah di uraikan oleh Latif Muhammad Amir bahwa segala sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan, todak boleh diwakafkan, apalagi telah hilang zatnya, misalnya emas, uang kertas, makanan dan minuman.[25]
F.   Filosofi dan Hikmah Wakaf
Karena besarnya manfaat wakaf ini, maka wakaf tidak cukup hanya dipahami sebatas aturan atau hukumnya saja, tetapi juga filosofi dan hikmahnya, sehingga pengumpulan harta wakaf dan pendayagunaannya bisa dilakukan seoptimal mungkin. 
Wakaf sebagai ibadah social
Ibadah sosial adalah jenis ibadah yang lebih berorientasi pada habl min al-nas, hubungan manusia dengan lingkungannya, atau biasa juga disebut kesalehan sosial. Ini adalah satu paket dalam kesempurnaan ibadah seorang hamba di samping kesalehan dalam ibadah vertikal, habl min Allah. Keduanya ibarat dua keping mata uang yang tak terpisahkan. Wakaf, dalam konteks ini, masuk dalam kategori ibadah sosial. Dalam pandangan agama, wakaf adalah bentuk amal jariah yang pahala akan terus mengalir hingga hari akhir, meski orangnya telah tutup usia. Rasulallah saw bersabda, “Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakannya” (HR. Muslim).
Imam Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim menjelaskan, yang dimaksud dengan shadaqah jariyah adalah wakaf. Sedangkan yang dimaksud wakaf adalah menahan harta dan membagikan (memanfaatkan) hasilnya. Wakaf mempunyai derajat khusus, karena ia mempunyai manfaat yang besar bagi kemajuan umat. Maka suatu hal wajar apabila wakaf disamakan statusnya dengan ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakan orang tuanya. Itulah keistimewaan wakaf, yang tidak dimiliki amal ibadah lain.
Wakaf disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah. Para ‘ulama berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf pertama dilakukan oleh Umar ibn Khaththab terhadap tanahnya yang terletak di Khaibar (Tafsir Ibnu Katsir Juz I 381; Fiqh al-Sunnah, jilid III: 381; Subul al-salam: 87). Menurut keterangan Ibnu Umar, shahabat Umar ibn  Khaththab menyedekahkan hasil wakafnya itu kepada fakir miskin, shahabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan kepada para tamu. Pendapat lain mengatakan, wakaf pertama kali dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap tanahnya yang digunakan untuk masjid Quba di Madinah, sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Umar ibn Sya’bah dari Amr ibn Sa’ad ibn Muadz, berkata: "Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam, orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedang orang-orang Anshor mengatakan wakaf Rasulullah saw." (Asy-Syaukani 1374 H: 129)
Dalam sejarah peradaban Islam, wakaf banyak digunakan untuk amal sosial atau kepentingan umum, sebagaimana dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn Khaththab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya (budak) yang sedang berusaha menebus dirinya. Wakaf ini ditujukan kepada umum, dengan tidak membatasi penggunaannya, yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya.
Kepentingan umum itu kini bisa berupa jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal tersebut merupakan salah satu segi dari bentuk-bentuk penggunaan wakaf membelanjakan atau memanfaatkan harta di jalan Allah swt melalui pintu wakaf. Dengan demikian, dilihat dari segi manfaat pengelolaannya, wakaf sangat berjasa besar dalam membangun berbagai sarana untuk kepentingan umum demi kesejahteraan umat.
Wakaf mengalirkan pahala tiada akhir
Dalil yang menjadi dasar keutamaan ibadah wakaf dapat kita lihat dari beberapa ayat Al-Quran dan Hadits, antara lain:
1)      Surat Ali Imran ayat 92. “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui.”
2)      Surat al-Baqarah ayat 261. "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
3)      Hadits tentang shadaqah jariyah, sebagaimana telah disinggung di atas. Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Nabi Muhammad saw bersabda, “Apabila anak Adam meninggal dunia maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.” Hadits ini dikemukakan dalam bab wakaf, karena shadaqah jariyah oleh para ulama ditafsirkan sebagai wakaf. Di antara para ulama yang menafsirkan dan mengelompokkan shadaqah jariyah sebagai wakaf adalah Asy-Syaukani, Sayyid Sabiq, Imam Taqiyuddin, dan Abu Bakr.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud shadaqah jariyah dalam hadits tersebut adalah wakaf. Itulah antara lain beberapa dalil yang menjadi dasar hukum disyariatkannya wakaf dalam Islam. 
Kemudian dari segi keutamaannya, Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata, “wakaf adalah sedekah yang paling mulia. Allah swt menganjurkannya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi yang berwakaf, karena sedekah berupa wakaf tetap terus mengalirkan kebaikan dan mashlahat”. Adapun keutamaan wakaf ini bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda. Bagi penerima hasil (mauquf alaih), wakaf akan menebarkan kebaikan kepada pihak yang memperoleh hasil wakaf dan orang yang membutuhkan bantuan, seperti fakir miskin, anak yatim, korban bencana, orang yang tidak punya usaha dan pekerjaan, orang yang berjihad di jalan Alllah swt. Wakaf juga memberi manfaat besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan, seperti bantuan bagi para pengajar dan penuntut ilmu, serta berbagai pelayanan kemaslahatan umat yang lain.
Sementara itu, bagi pewakaf (wakif), wakaf merupakan amal kebaikan yang tak akan ada habisnya bagi orang yang berwakaf. Oleh karenanya, barang yang diwakafkan itu tetap utuh sampai kapanpun. Di samping utuh, barang tersebut juga dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Dengan begitu, pahala yang dihasilkan terus mengalir kepada wakif, meskipun ia sudah meninggal dunia. Hal inilah yang membedakan keutamaan wakaf dibanding dengan ibadah lainnya yang sejenis, seperti zakat.
Beberapa penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa melaksanakan wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya (private benefit) untuk kepentingan umum (social benefit). Jadi, wakaf adalah jenis ibadah yang istimewa dan utama bagi orang yang beriman dan beramal saleh. Hanya dengan memberikan harta untuk wakaf, manfaat dan hasilnya dapat terus berlipat tanpa henti.
Jika disederhanakan, filosofi orientasi dan  hikmah dalam wakaf itu terdapat tiga poin. Pertama, wakaf untuk sarana prasarana dan aktivitas sosial. Kedua, wakaf untuk peningkatan peradaban umat. Dan ketiga, wakaf untuk meningkatkan kesejahteraan umat. 

Wakaf untuk sarana dan prasarana ibadah dan aktivitas social
Sebenarnya wakaf sudah dikenal dalam masyarakat Arab kuno di Makkah sebelum kedatangan Muhammad saw. Di tempat itu, terdapat bangunan ka’bah yang dijadikan sarana peribadatan bagi masyarakat setempat. Al-Quran menyebutnya sebagai tempat ibadah pertama bagi manusia, yakni Q.S. Ali Imran ayat 96: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah Baitullah (Ka’bah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua masnusia.” Oleh karena itu, bisa dikatakan, ka’bah merupakan wakaf pertama yang dikenal manusia dan dimanfaatkan untuk kepentingan agama.
Sementara itu, dalam Islam, tradisi ini dirintis oleh Rasulullah Muhammad saw, yang membangun masjid Quba’ di awal kedatangannya di Madinah. Peristiwa ini dijadikan sebagai penanda wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan peribadatan dalam agama. Ini terjadi tak lama setelah Nabi hijrah ke Madinah. Selain itu, Nabi juga membangun masjid Nabawi yang didirikan di atas tanah anak Yatim dari bani Najjar. Tanah itu telah dibeli Nabi dengan harga delapan ratus dirham. Langkah ini menunjukkan, bahwa Nabi telah mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid sebagai sarana peribadatan umat Islam.
Hal tersebut kemudian ditetapkan sebagai ibadah, yang diteladani umat Islam di segala penjuru. Maka tak heran kalau kini banyak ditemukan masjid hasil wakaf. Di antara masjid-masjid masyhur di dunia yang dikelola dengan wakaf, antara lain, masjid al-Azhar dan masjid al-Husain di Mesir, masjid Umawi di Syria, dan masjid al-Qairawan di Tunis. Masjid-masjid itu tak hanya digunakan sebagai sarana ibadah, tapi juga sebagai tempat dakwah dan pendidikan Islam serta pelayanan umat dalam bidang-bidang lainnya.
Wakaf untuk peningkatan peradaban umat
Masjid sebagai harta wakaf di masa awal Islam mempunyai peran yang signifikan. Selain sebagai sarana ibadah, ia juga digunakan untuk pendidikan dan pengajaran, yang biasa disebut dengan halaqah, lingkaran studi. Kegiatan ini tak lain merupakan bagian dari upaya mencerdaskan dan membangun peradaban umat. Di tempat itu, diajarkan cara membaca al-Quran dan menulis. Di samping itu, didirikan pula katatib, sejenis sekolah dasar yang mengajarkan membaca, menulis, bahasa arab, dan ilmu matematika.
Kemudian dari masjid-masjid itu lahirlah beribu-ribu sekolah (madrasah) yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar. Itu adalah bagian dari keberhasilan umat Islam dalam mengelola harta hasil berderma. Satu misal, kerajaan Bani Abasiyah mempunyai tiga puluh diwan (kementerian) dalam pemerintahannya. Namun dari 30 diwan itu tidak ada satupun yang mengurus tentang pendidikan, karena pendidikan dikelola dengan baik dan didanai secara cukup oleh wakaf. Bahkan, hal sekecil apapun yang terkait dengan pendidikan juga disediakan, apalagi fasilitas pokok lainnya.
Abdul Qadir Anna’imy (wafat 927 H) menjelaskan dalam kitabnya, Addaaris Fittaarikh Al Madaris, bahwa wakaf pada saat itu banyak yang dikhususkan untuk membeli alat-alat gambar untuk para pelajar dari pemuda-pemuda Makkah dan Madinah. Bahkan Ibnu Ruzaik telah mewakafkan harta untuk menyediakan pulpen, kertas, dan tinta. Harta hasil wakaf umat Islam, kala itu, juga banyak digunakan untuk kegiatan ilmiah. Misalnya, Ibnu Ala Almaary setelah tamat belajar pada sekolah yang didanai wakaf di kota Halab, dia pergi ke Bagdad untuk menambah wawasan dan melakukan penelitian, serta bergabung dalam diskusi-diskusi umum dan filsafat. Walaupun ia mengsosialisasikan pemikiran filsafatnya yang di antaranya bertentangan dengan opini keagamaan yang berlaku pada saat itu, ia tetap mendapatkan subsidi dari wakaf dan tidak dihentikan.
Selain Ibnu Ala Almaary, seorang ahli ilmu matematik, ilmuwan lain yang mendapatkan biaya dari harta wakaf adalah Yusup murid Imam Abu Hanifah yang menjabat sebagai qâdhâ qudhât (hakim agung kerajaan Bani Abasiah), Muhammad Alkhawarijmy seorang ahli ilmu aljabar, Ibnu Sina seorang ahli kedokteran, Ibnu Hisyam seorang ahli optik, dan lainnya.
Satu hal yang yang perlu dicatat dari perilaku ilmuwan-ilmuwan yang hidup dan besar dari wakaf adalah semangat mereka untuk mencari kebenaran. Lembaga wakaf yang telah mendanainya tidak mengikat dan mengharuskan mereka untuk membawa misi tertentu. Namun para ilmuwan itu siap mensosialisasikan hasil penelitiannya kepada masyarakat umum dengan motivasi semata-mata karena Allah. Dalam sejarah, wakaf model ini termasuk di antara manfaat wakaf yang paling mendapat perhatian besar dari umat Islam. Hampir di setiap kota besar di negara-negara Islam, bisa dipastikan, terdapat sekolah, universitas, perpustakaan, dan islamic centre dari hasil wakaf, seperti di Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan berbagai tempat lain.
Wakaf untuk kegiatan ilmiah tersebut kini tetap dilaksanakan, terutama dalam bentuk beasiswa, gaji pengajar, biaya penelitian (riset), penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, seperti perpustakan dan alat-alat laboratorium, dan sebagainya. Salah satu contoh wakaf untuk kepentingan ilmiah adalah Universitas al-Azhar di Mesir yang berdiri lebih dari 1000 tahun lalu. Hingga kini pembiayaan universitas kebanggaan umat Islam itu dikelola dari harta wakaf. Hal semacam ini juga terjadi di seluruh dunia Islam pada masa kini, termasuk di Indonesia, walau pemanfaatnya belum optimal.
Wakaf untuk peningkatan kesejahteraan umat
Kalau ditarik benang merah dari beberapa pembahasan di atas, maka akan tampak jelas, bahwa hikmah lain disyariatkannya wakaf adalah untuk mensejahterakan kehidupan manusia secara umum. Ini sejalan dengan pandangan ulama al-Azhar Mesir Ali Ahmad al-Jurjawi, penulis Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Menurutnya, wakaf seharusnya mampu mengurangi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, serta dapat meningkatkan taraf hidup manusia. Allah berfirman dalam al-Quran, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92). Ketika ayat itu turun, sahabat Nabi Abu Thalhah berkata, Wahai Rasul Allah, saya ingin mendermakan kebunku karena Allah. Kemudian, Nabi menasehatinya agar kebun tersebut didermakan untuk kepentingan orang-orang fakir miskin.
Kemudian Umar ibn Khattab pun melakukan hal yang sama. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari Ibn Umar, ia berkata: “Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah saw. meminta untuk mengolahnya, sambil berkata: Ya Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat? Rasulullah bersabda: Jika engkau menginginkannya tahanlah tanah itu dan shadaqohkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan. Maka ia menshadaqahkannya kepada fakir miskin, karib kerabat, budak belian, dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi orang yang mengurus harta tersebut untuk menggunakan sekedar keperluannya tanpa maksud memiliki harta itu”.
Wakaf untuk kesejahteraan umum ini, kemudian berkembang menjadi berbagai bentuk.
1)    Wakaf untuk fasilitas umum, seperti wakaf sumur dan sumber mata air. Ini bisa dijumpai di tepi-tepi jalan yang bisa menjadi lalu lintas jamaah haji yang datang dari Iraq, Syam, Mesir, dan Yaman, serta kafilah yang bepergian menuju India dan Afrika. Di antara sumur-sumur itu, terdapat wakaf sumur Zubaidah, isteri Harun al-Rasyid, khalifah pemerintahan Abbasiyah. Yang termasuk bentuk ini adalah wakaf jalan dan jembatan.
2)    Wakaf khusus untuk bantuan orang-orang fakir miskin. Wakaf ini seperti yang digambarkan dalam hadits di atas. Hasil pengelolaannya digunakan untuk pemberdayaan masyarakar yang masuk katergori fakir dan miskin. Wujud dari wakaf ini kini bisa beraneka ragam, ada yang diwujudkan dalam bantuan beasiswa, pengobatan gratis, balai pendidikan dan pelatihan cuma-cuma, bantuan permodalan dan sebagainya.
3)    Wakaf untuk pelestarian lingkungan hidup. Wakaf ini menunjukkan bahwa kesejahteraan manusia juga harus didukung keseimbangan ekosistem dan lingkungan hidup di sekitar. Perbaikan masyarkat tanpa dibarengi pelestarian lingkungan, tentu perbaikan tersebut berjalan dengan paradoks. Karena itu, harus seimbang. Misalnya, wakaf tanah terbuka hijau di tengah perkotaan, wakaf sungai dan salauran air, serta wakaf untuk burung-burung merpati seperti di Masjidil Haram, Makkah.
Beberapa kutipan hadits dan uraian di atas mempertegas, bahwa wakaf mempunyai dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Perkebunan yang dijadikan contoh di atas dikelola dengan baik, dan hasilnya diberikan kepada orang-orang membutuhkan, terutama orang-orang miskin untuk memenuhi kebutuh dasar mereka, sehingga mereka tidak sampai kelaparan. Wakaf bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, dan pahalanya terus mekar sebagai bekal investasi kelak di akhirat[26]













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
·         Kata “wakaf” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: (1) tanah Negara tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal. (2) benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum (islam) sebagai pemberian yang ikhlas.
·         Abdul Wahhab  Khallaf  menetapkan rukun wakaf  pada empat kategori, yang mempunyai signifikan, yaitu;
1)      Wakif, yakni pemilik harta benda Yang melakukan tindakan hukum.
2)      Mauqf bih sebagai obyek perbuatan hukum.
3)      Mauqf ‘alaih, (tujuan) atau yang berhak menerima wakaf
4)      Ghat atau ikrar wakaf dari waqif
·         syarat-syarat wakaf :
1)      ada  (al-waqif) dimana Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid).
2)      (al-mauquf) Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri.




[1]Al-Qur’a>n Al-kari>m, Mushaf Al-Hilali, Qs: Al-haj, h. 341
[2]Abu Muhammad Al-Huse>n ibn Mas’u>d al-Baghawi>, Mua>limi al-Tanzi>l,(Da>r T{ayyibah Linasyri wa Taoz’i>}:tth,1997), h. 341.
[3]Imam Taqqy al-Din Abi Bkr Ibnu Muhammad al Hasaeni al Dimasqi, Kifa>yat al Ahyar> fi Hall Gayat al Ikhtishar, (Semarang: Thoha Putra, tth.),  hlm. 319.
[4]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1977). h. 490
[5]Muhammad Bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari, (Semarang: Thoha Putra, 1981). Juz II. Hlm. 196.
[6]Ali Fikri, Al-Muamalat al-Madaniyah wa al Addabiyah, (Mesir: Musthafa al-Babi al Halabi wa Auladuh, 1983). Juz II. Hlm. 300
[7]Imam Muslim, Shahih Muslim, (Bandung. Tth). Juz II. hlm. 14
[8]Abi Bakr Muhammad Ibn al Syarkhasi,  Kitab Al-Mabsuth, (Beirut: Dar al Kutub al-Ilmyah, tth). Jld. IV Juz XII. hlm. 33-34.
[9]Imam Malik Ibn Annas, Al-Mudawamat al-Kubra, (Beeirut: dar al-Kutub al Ilmiyah, tth). Juz IV. hlm. 417.
[10]Muhammad Ibn Idris al-syafi’I, al Umm, (Mesir: Maktabat Kuliyat al Azhariyah, tth) Juz III. hlm. 51
[11]Ali Fikri, Muamalat al Madaniyah, (Mesir: Musthafa al Babi al-Halabi wa Auladuh, 1983). Juz II. hlm. 300.
[12]Wahbah al0Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Damaskus: Da>r al-fikr, 1989),Juz VIII, h.153
[13]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed, III (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1266
[14]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta; Akademika Presindo, 1992), h. 165.
[15]Muhammad al-Syaukani, Nailur Autar Muntaqa al-akhbar, (Beirut: Da>r al-fikr, 1994), Juz VI, h.120. Lihat juga Muh}ammad bin Isma>’i>l Abu> ‘Abdilla>h al-Bukha>ri> al-Ja’fi>, S}ah}i>h al-Bukha>ri>, Juz III (Cet. III; Beirut: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1987), h. 2235.
[16]Muslim bin al-H}ajjaj> Abu> al-H}usain al-Qusyairi> al-Ni>sabu>ri>, S}ah}i>h Muslim, Juz III (Beirut: Da>r Ihya>i al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 1255
[17] Al-Qur’a>n Qs: A>li-Imra>n. ayat 92.
[18]Abdul Wahhab Khallaf, masadi>r al-Tasyri>’ al-islami fi ma ala Nassa Fih, (cet. III; Kuwait, Da>r al-Qalam, 1972), h.24
[19]Wahbah al-Zuhaily, op cit., h 176-177
[20]Badan Wakaf  Indonesia, http://bwi.or.id/index.php/in/pengertian-wakaf-tentang-wakaf-54
[21]Lihat Ghufraon A Masadi, Fikh Muamalah Kontekstual (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 175
[22]Ibid., h.176
[23]Faisal Haq Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia (Cet. II; Jakarta, Garoeda Buana Indah, 1994), h. 6
[24]Ibn Qudama, al-Mugniy wa Syarh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Kutub, tt, h. 235
[25]Abdul Latif Muhammad Amr, Ahkam al-Wasaya wa al-Waqf, (Al-Qahirah; Maktabah wahbah, 2006 ) h. 251
[26]Prof Dr. Masykuri Abdillah http://bwi.or.id/index.php/in/artikel/356-filosofi-dan-hikmah-wakaf, Sabtu, 10 Januari 2009 01:42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar