BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan
percepatan teknologi dan ilmu pengetahuan peradaban juga mengikuti perkembangan
yang terjadi dengan muncul berbagai pemahaman dan pengkajian berbagai hukum
yang tidak terjadi dimasa lampau hingga menimbulkan banyak perselisihan dalam
memaknai sebuah peristiwa atau masalah dalam kehidupan, dikalangan umat Islam
khususnya yang menjadi panduan hidup di muka bumi ialah al-Qur’an yang
berisikan jawaban tentang segala sesuatu yang ada di dunia baik secara tersirat
maupun secara tersurat, namun konteksnya ada sebagian yang perlu penelaah lebih
mendalam karena tidak di ungkapkan secara gamblang maka di perlukan pengkajian
dengan memakai hadis yang bersumber dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda “aku
tinggalkan kepadamu (umat Islam) dua pusaka abadi, apabila kamu berpegang
kepadanya niscaya kamu tidak akan sesat ,iaitu Kitab Allah (Al Quran) dan
Sunnahku”.
Mayoritas
ulama berbeda pendapat dalam pengkajian hadis. Hadis yang sering di jumpai
tidak serta merta dapat diadopsi secara langsung, hadis yang di dapati perlu
adanya pencarian jati diri hadis tersebut untuk menetapkan kualitas hadis yang
akan diimplementasikan, agar tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan sebuah
hukum.
Bertitik
tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk menguak Ilmu Jarh Wa’Ta’dil
yang selama ini beredar terutama pertentangan antara Jarh dan Ta’dil, penulis
menyadari didalam makalah sangat jauh dari kesempurnaan kritik dan saran
pembaca sekalian sangat diharapkan sebagai kontribusi dalam merevisi makalah
ini.
B.
Rumusan
Masalah
Dengan
uraian latar belakang di atas penulis ingin menyajikan makalah yang berkisar
pada permasalahan Jarh dan Ta’dil yang
bertitik tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
1.
Apa itu Pertentangan Jarh wa
ta’di>l ?
2.
Bagaimana pertentangan jarh
wa ta’dil ?
BAB
II
PEMBAHASAN
C.
Pengertian
Pertentangan
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari kata tentang dengan makna:
hal, berhadapan, kemudian di masuki Imbuhan Per-an seperti seperti halnya term
“permasalahan” yang bermakna kata benda, sehingga dapat disimpulkna term
“pertentangan” dalam tema ini berarti berhadapannya dua hal yang saling
berselisih.
Menurut
bahasa kata al-Jarh} merupakan masdar dari kata جرح- يجرح yang berati “melukai dan menjadika cacat”keadaan luka dalam hal
ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, ataupun
berkaitan dengan non-fisik misalnya luka hati kerena kata-kata kasar yang
dilontarkan oleh seseorang.
Menurut
istilah ilmu hadis kata al-Jarh} berarti tampak jelasnya sifat pribadi
periwayat yang tidak adil, atau yang buruk dibidang hafalannya dan
kecermatannya, yang keadaan itu mengakibatkan gugurnya atau lemahnya riwayat
yang disampaikan oleh periwayat tersebut. Kata al-Tajrih} menurut
istilah berarti mengungkapkan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang
tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikan
oleh periwayat tersebut. Sebagian besar ulama menyamakan penggunaan kata al-Jarh}
dan al-Tajrih, }dn sebagian lagi membedakan penggunaan kedua kata
ini, dengan alasan bahwa kata al-Jarh} berkonotasi tidak mencari-cari
kecacatan seseorang. karena kecacatan tersebut memang telah tampak pada diri
seseorang, sedangkan kata al-Tajrih} berkonotasi ada upaya aktif untuk
mencari dan mengungkap sifat tercela seseorang.
Adapun
kata al-Ta’di>l adalah masdar dari kata kerja عدّل- يعدّل yang berarti “meluruskan, berbuat adil”
yaitu mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang[1].
Menurut
istilah ilmu hadis kata al-Ta’di>l berarti mengungkap sifat-sifat
bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas
keadilan pribadi periwayat dan karenanya riwayat yang disampaikan dapat
diterima.
D. Pertentangan jarh wa ta’dil
Jika
terjadi kotradiktif antara jarh wa Ta’dil di antar kritikus hadis di dalam
menilai seseorang, yaitu beberapa orang menilai adil dan beberapa orang lagi
menilai jarh. Mana yang di terima, pendapat ulama yang menilai adil atau yang
menilai jarh ?
Di
sini penulis mengemukakan beberapa pendapat Ulama.
Pendapat
pertama: Ar-Razi, Al-Amidy,Ibnu Shalah dan Jumhur Ushuliyyin mengatakan bahwa
secara mutlak, jarh di dahulukan dari ta’dil. Seandainya jumhur orang yang
menta’dilkan lebih banyak meneliti keadaan rawi maka akan tampak masalah yang
tidak di ketahui oleh orang yang menta’dilnya. Sementara hal-hal yang di
ketahui oleh orang yang mena’dil hanya faktor luar keadaan seseorang. Dengan
orang yang mena’dil hanya faktor luar keadaan seseorang. Dengan demikian, orang
yang memberi penilaian jarh mempunyai nilai tambah bisa dijadikan dasar
pendapatnya atas pendapat yang mena’dil.
Kita
juga akan mengemukakan pendapat as-Sayuthi[2]bahwa jarh yang dijelaskan
(Al-jarh Al-Mufassar ) itu di dahulukan daripada ta’dil sekalipun jumlah
pena’dilnya lebih banyak, merupakan pendapat yang paling sahih. Menurut fukaha
dan ushuliyyin pendapat ini merupakan yang paling unggul, dan kita menggunakan
pendapat ini. Pendapat kedua: Al-khathib Al-Bagdadi dalam kitab Al-Kifayah
mengategorikan kepada beberapa ulama, yang kesimpulannya sebagai berikut:
Kita
melihat jumlah masing-masing dari orang yang mena’dildan orang-orang yang
menjarh. Mana yang paling banyak di antaar mereka dalam mengemukakan
pendapatnya. Jika yang paling banyak yang mengemukakan pendapatnya adalah dari
mu’addilan (yang mena’dil ) maka pendapat pena’dil lainnya akan menjadi kuat
sehingga kelompok mereka akan menjadi unggul, sedangkan pendapat sedangkan
pendapat yang menjarahkan menjadi lemah, karena sedikit jumlahnya. Banyaknya
orang yang mena’dil dan kuatnya merekadalam segi lahiriah keadaan rawi bukanlah
merupakan gambaran bahwa keadaan mereka bersih atau terhindar dari orang yang
menjarh. Dalam hal ini orang yang menjarh lebih mengetahui keadaan rawi
daripada orang yang mena’dilkan. Maka pendapat mereka diterima dan didahulukan
daripada pendapat yan mena’dilkan. Dengan demikian, kita kembali kepada
pendapat yang pertama.
Pendapat
yang ketiga: pendapat yang dikutip (dilansir) As-sayuthi dan pendukungnya bahwa
tidak benar memandang unggul satu kelompok atas kelompok lainnya ketika terjadi
kontradiksi para kritik dalam penetapan seseorang yang tidak mengandung aspek
yang dapat diunggulkannya atau faktor penyebab yang bisa diunggulkan. Jika faktor
penyebab jarh itu mencederakan keta’dilan maka dapat yang menjarhkan itu
didahulukan daripada pendapat pendapat yang mena’dilkan sekalipun jumlah yang
mena’dilkan itu banyak. Seandainya faktor penyebab itu berbedah-bedah karena
perbedaan persepsinya, maka kita mendahulukan pendapat orang yang mena’dilkan
(al-Muaddilin ). Dengan demikian, jelas dalam pendapat mana pun bahwa jarh yang
dijelaskan faktor penyebabnya (Al-Jarh Al-Mufassar) itu lebih didahulukan jika
faktor penyebabnya mencederakan dan menggugurkan sifat kemuru’ahan, sekalipun
jumlah pwna’dilnya itu banyak. Pendapat ini sama halnya dengan pendapat pertama
yang kami pilihkan untuk di amalkan. Berdasarkan keterangan di muka bahwa jika
seorang muhaddis tsikah berkata, setiap yang diriwayatkan kepadamu dari rawi
tsiqat atau hujjah, jika tidak dijelaskan nama perawi kemudian dikemukakan
periwayatan dari perawi majhul (tidak dikenal identitasnya ), apakah pendapat
dari orang yang tsiqat semacam itu dipandang sebagai pena’dil dan tazkiyah
(pembersih) terhadap perawi yang majhul itu sehingga boleh diterima
periwayatannya ?
Pendapat
yang benar menurut jumhur[3]bahwa pendapat Tazkiyah
kepada perawi yang majhul, tetapi tidak layak untuk diterimah periwayatannya.
Bahkan kita menghentikan (tawakuf) untuk menerimah periwayatannya itu sampai
disebutkan namanya kepada kita. Karena kemungkinan adanya cacat pada perawi yang
majhul itu yang bisa mencederai keta’dilannya menurut perawi-perawi tsiqah
lainnya yang tidak tercermati oleh perawi yang menilainnya. Bebrapa muhadditsin
berpendapat bahwa penyucian (tazkiyah) oleh perawi tsiqat kepada perawi yang
tidak di dengarnya jika ia betul-betul hanya meriwayatkan dari perawi yang
tsiqat itu maka periwayatannya di nilai memadai dan kita menetapkan keta’dilan
dan periwayatannya dapat diterima karena perawi yang tsiqat itu dijamin dalam
menyebutkan nama perawi ataupun tidak disebutkan.
Imam
Al-Hurmain Al-Juwaini mengomentari pendapat ini dengan mengatakan bahwa
pendapat ini tidak memadai kecuali bagi ulama mujtahidin saja. Yang paling
sahih adalah pendapat yang dikemukakan jumhur.
Adapun
tentang periwayatan dari perawi yang tidak adil[4]para ulama memperbolehkan
para periwayatan orang yang adil dari perawi yang tidak adil. Dikatakan
Al-Sya’bi, “Al-Harts meriwayatkan kepada kita, saya bersaksi kepada Allah bahwa
Al-Harts itu dusta. Perawi adil itu tidak menjelaskan keadaan Al-Harts dan
hanya mengatakan “haddatsana Al-Harts “ (Al-Harts mengatakan kepada kita ).
Perihal Al-Harts itu di jelaskan dalam periwayatan Al-Hakim di kitab Musnad Bahwa Ahmad bin Hambal melihat
Yahya bin Ma’in adalah seorang tokoh ulama kritik. Yahya menulis cacatan
(tulisan ) Ma’mar dari Aban dari Anas. Imam Ahmad menegur Yahya, “engkau
menulis shahifah Ma’mar, padahal engkau tahu bahwa catatan Ma’mar itu palsu ?
yahya menjawab, “betul saya menulisnya, saya menghapal dan saya tahu jika tulisan
itu palsu sehingga tidak ada orang yang datang untuk mengubahnya,” menganti
Aban kepada tsabit (maksudnya, kekeliruan ini di tulis dengan sengaja oleh
Yahya), kemudian orang tersebut meriwayatkan shahifah itu dari Ma’mar dari
Tsabit dari Anas. Maka saya bertanya kepadanya, “engkau berdusta, sebenarnya
tsahifah itu dari Ma’mar dari Aban bukan dari Tsabit.
Artinya
bahwa seseorang (perawi) adil itu boleh meriwayatkan dari perawi yang tidak
adil, sekalipun perawi itu pemalsu hadis, supaya mereka mengetahui dan lebih
berhati-hati terhadap hal-hal yang tidak jelas dan kabur serta mengingatkan
tentang shahifah itu sehingga tidak disisipi seseorang ke dalam periwayatan
yang Tsiqah. Dan tidak benar bila dikatakan bahwa periwayatan orang yang adil
itu bisa mena’dil (membenarkan) periwayatan orang yang tidak adil, seperti yang
kalian ketahui tentang faktor-faktor penyebab di bolehkannya dalam periwayatan.
Inilah pendapat yang shahih menurut Jumhur Muhadditsin dan Ushuliyyin.
Kemudian
mereka mengembangkan permasalahan ini bahwa seorang mujtahid dan seorang Mufti
bila mengamalkan suatu hadis bukan berarti hadis itu shahih. Dan sebaliknya,
bilah mereka tidak mengamalkan, tidak berartti hadis itu tidak shahih atau ada
cacat yang bisa mencedarakannya, atau ada kemungkinan mereka tidak menggunakan
hadis karena mereka berpegang kepada selain hadis.
Beberapa
pengikut Syafi’i berpendapat[5], “ periwayatan perawi adil
dari perawi yang tidak adil, bisa dinyatakan adil. Karena ada ulama yang
memperbolehkannya periwayatan dari perawi pemalsu hadis untuk memberitahu
kepada orang –orang tentang keadaan pemalsu itu dan memperingatkan kepada umat
supaya waspada terhadap penyisipan-penyisipan kedalam wilayah sahih.
BAB III
PENUTUP
E. Kesimpulan
·
Pendapat
pertama: Ar-Razi, Al-Amidy,Ibnu Shalah dan Jumhur Ushuliyyin mengatakan bahwa
secara mutlak, jarh di dahulukan dari ta’dil.
·
Pendapat kedua:
Al-khathib Al-Bagdadi dalam kitab Al-Kifayah mengategorikan kepada beberapa
ulama, yang kesimpulannya sebagai berikut:. Jika yang paling banyak yang
mengemukakan pendapatnya adalah dari mu’addilan (yang mena’dil) maka pendapat
pena’dil lainnya akan menjadi kuat sehingga kelompok mereka akan menjadi
unggul, sedangkan pendapat sedangkan pendapat yang menjarahkan menjadi lemah,
karena sedikit jumlahnya.
·
Pendapat yang
ketiga: pendapat yang dikutip (dilansir) As-sayuthi dan pendukungnya bahwa
tidak benar memandang unggul satu kelompok atas kelompok lainnya ketika terjadi
kontradiksi para kritik dalam penetapan seseorang yang tidak mengandung aspek
yang dapat diunggulkannya atau faktor penyebab yang bisa diunggulkan
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail Syuhudi, Metodologi Penelitian hadia nabi,
Jakarta: Bulan bintang, 1992
‘Abdu al-Rahma>n bin Abi> Bakr al-Suyu>ti>, tadri>b
al-Ra>wi> fi> syarh taqri>b al-Nawa>wi> al-Riya>d: Maktabah al-Riya>d
al-Hadi>s\ah
Adz Dzahabi,
Mi>za>n Al-I’tida>l fi> naqdi Al-Rija>l, juz I Beirut: da>r
Al-kutubu Al-Alamiyah
Ali Fayyad Mahmud, Metodologi Penetapan
Keshahihan Hadis, Bandung: Pustaka Setia, cet. I, 1998
Pertentangan Jarh Wa Ta’di>l
Tugas Mata Kuliah;
Takhrij Hadis
Oleh;
ZAINUDDIN
30700111015
Dosen Pemandu;
Andi
Darussalam
PROGRAM
STUDI ILMU HADIS
FAKULTAS
USHULUDDIN,
FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2013
[2]‘Abdu
al-Rahma>n bin Abi> Bakr al-Suyu>ti>, tadri>b al-Ra>wi>
fi> syarh taqri>b al-Nawa>wi> (al-Riya>d: Maktabah
al-Riya>d al-Hadi>s\ah)h. 110-112
[4] Adz Dzahabi, Mi>za>n Al-I’tida>l fi> naqdi
Al-Rija>l, juz I(Beirut: da>r Al-kutubu Al-Alamiyah), h. 4
[5]Mahmud Ali Fayyad, Metodologi
Penetapan Keshahihan Hadis,(Bandung: Pustaka Setia, cet. I, 1998) h. 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar