Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Kamis, 13 Juni 2013

pertentangan jar dan ta'dil



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dengan percepatan teknologi dan ilmu pengetahuan peradaban juga mengikuti perkembangan yang terjadi dengan muncul berbagai pemahaman dan pengkajian berbagai hukum yang tidak terjadi dimasa lampau hingga menimbulkan banyak perselisihan dalam memaknai sebuah peristiwa atau masalah dalam kehidupan, dikalangan umat Islam khususnya yang menjadi panduan hidup di muka bumi ialah al-Qur’an yang berisikan jawaban tentang segala sesuatu yang ada di dunia baik secara tersirat maupun secara tersurat, namun konteksnya ada sebagian yang perlu penelaah lebih mendalam karena tidak di ungkapkan secara gamblang maka di perlukan pengkajian dengan memakai hadis yang bersumber dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda “aku tinggalkan kepadamu (umat Islam) dua pusaka abadi, apabila kamu berpegang kepadanya niscaya kamu tidak akan sesat ,iaitu Kitab Allah (Al Quran) dan Sunnahku”.
Mayoritas ulama berbeda pendapat dalam pengkajian hadis. Hadis yang sering di jumpai tidak serta merta dapat diadopsi secara langsung,  hadis yang di dapati perlu adanya pencarian jati diri hadis tersebut untuk menetapkan kualitas hadis yang akan diimplementasikan, agar tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan sebuah hukum.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk menguak Ilmu Jarh Wa’Ta’dil yang selama ini beredar terutama pertentangan antara Jarh dan Ta’dil, penulis menyadari didalam makalah sangat jauh dari kesempurnaan kritik dan saran pembaca sekalian sangat diharapkan sebagai kontribusi dalam merevisi makalah ini.





B.   Rumusan Masalah
Dengan uraian latar belakang di atas penulis ingin menyajikan makalah yang berkisar pada permasalahan  Jarh dan Ta’dil yang bertitik tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
1.      Apa itu Pertentangan Jarh wa ta’di>l ?
2.      Bagaimana pertentangan jarh wa ta’dil ?















BAB II
PEMBAHASAN
C.   Pengertian
Pertentangan Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari kata tentang dengan makna: hal, berhadapan, kemudian di masuki Imbuhan Per-an seperti seperti halnya term “permasalahan” yang bermakna kata benda, sehingga dapat disimpulkna term “pertentangan” dalam tema ini berarti berhadapannya dua hal yang saling berselisih.
Menurut bahasa kata al-Jarh} merupakan masdar dari kata جرح- يجرح yang berati “melukai dan menjadika cacat”keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan non-fisik misalnya luka hati kerena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang.
Menurut istilah ilmu hadis kata al-Jarh} berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk dibidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan itu mengakibatkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut. Kata al-Tajrih} menurut istilah berarti mengungkapkan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut. Sebagian besar ulama menyamakan penggunaan kata al-Jarh} dan al-Tajrih, }dn sebagian lagi membedakan penggunaan kedua kata ini, dengan alasan bahwa kata al-Jarh} berkonotasi tidak mencari-cari kecacatan seseorang. karena kecacatan tersebut memang telah tampak pada diri seseorang, sedangkan kata al-Tajrih} berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat tercela seseorang.
Adapun kata al-Ta’di>l adalah masdar dari kata kerja عدّل- يعدّل yang berarti “meluruskan, berbuat adil” yaitu mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang[1].
Menurut istilah ilmu hadis kata al-Ta’di>l berarti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat dan karenanya riwayat yang disampaikan dapat diterima.
D.  Pertentangan jarh wa ta’dil
Jika terjadi kotradiktif antara jarh wa Ta’dil di antar kritikus hadis di dalam menilai seseorang, yaitu beberapa orang menilai adil dan beberapa orang lagi menilai jarh. Mana yang di terima, pendapat ulama yang menilai adil atau yang menilai jarh ?
Di sini penulis mengemukakan beberapa pendapat Ulama.
Pendapat pertama: Ar-Razi, Al-Amidy,Ibnu Shalah dan Jumhur Ushuliyyin mengatakan bahwa secara mutlak, jarh di dahulukan dari ta’dil. Seandainya jumhur orang yang menta’dilkan lebih banyak meneliti keadaan rawi maka akan tampak masalah yang tidak di ketahui oleh orang yang menta’dilnya. Sementara hal-hal yang di ketahui oleh orang yang mena’dil hanya faktor luar keadaan seseorang. Dengan orang yang mena’dil hanya faktor luar keadaan seseorang. Dengan demikian, orang yang memberi penilaian jarh mempunyai nilai tambah bisa dijadikan dasar pendapatnya atas pendapat yang mena’dil.
Kita juga akan mengemukakan pendapat as-Sayuthi[2]bahwa jarh yang dijelaskan (Al-jarh Al-Mufassar ) itu di dahulukan daripada ta’dil sekalipun jumlah pena’dilnya lebih banyak, merupakan pendapat yang paling sahih. Menurut fukaha dan ushuliyyin pendapat ini merupakan yang paling unggul, dan kita menggunakan pendapat ini. Pendapat kedua: Al-khathib Al-Bagdadi dalam kitab Al-Kifayah mengategorikan kepada beberapa ulama, yang kesimpulannya sebagai berikut:
Kita melihat jumlah masing-masing dari orang yang mena’dildan orang-orang yang menjarh. Mana yang paling banyak di antaar mereka dalam mengemukakan pendapatnya. Jika yang paling banyak yang mengemukakan pendapatnya adalah dari mu’addilan (yang mena’dil ) maka pendapat pena’dil lainnya akan menjadi kuat sehingga kelompok mereka akan menjadi unggul, sedangkan pendapat sedangkan pendapat yang menjarahkan menjadi lemah, karena sedikit jumlahnya. Banyaknya orang yang mena’dil dan kuatnya merekadalam segi lahiriah keadaan rawi bukanlah merupakan gambaran bahwa keadaan mereka bersih atau terhindar dari orang yang menjarh. Dalam hal ini orang yang menjarh lebih mengetahui keadaan rawi daripada orang yang mena’dilkan. Maka pendapat mereka diterima dan didahulukan daripada pendapat yan mena’dilkan. Dengan demikian, kita kembali kepada pendapat yang pertama.
Pendapat yang ketiga: pendapat yang dikutip (dilansir) As-sayuthi dan pendukungnya bahwa tidak benar memandang unggul satu kelompok atas kelompok lainnya ketika terjadi kontradiksi para kritik dalam penetapan seseorang yang tidak mengandung aspek yang dapat diunggulkannya atau faktor penyebab yang bisa diunggulkan. Jika faktor penyebab jarh itu mencederakan keta’dilan maka dapat yang menjarhkan itu didahulukan daripada pendapat pendapat yang mena’dilkan sekalipun jumlah yang mena’dilkan itu banyak. Seandainya faktor penyebab itu berbedah-bedah karena perbedaan persepsinya, maka kita mendahulukan pendapat orang yang mena’dilkan (al-Muaddilin ). Dengan demikian, jelas dalam pendapat mana pun bahwa jarh yang dijelaskan faktor penyebabnya (Al-Jarh Al-Mufassar) itu lebih didahulukan jika faktor penyebabnya mencederakan dan menggugurkan sifat kemuru’ahan, sekalipun jumlah pwna’dilnya itu banyak. Pendapat ini sama halnya dengan pendapat pertama yang kami pilihkan untuk di amalkan. Berdasarkan keterangan di muka bahwa jika seorang muhaddis tsikah berkata, setiap yang diriwayatkan kepadamu dari rawi tsiqat atau hujjah, jika tidak dijelaskan nama perawi kemudian dikemukakan periwayatan dari perawi majhul (tidak dikenal identitasnya ), apakah pendapat dari orang yang tsiqat semacam itu dipandang sebagai pena’dil dan tazkiyah (pembersih) terhadap perawi yang majhul itu sehingga boleh diterima periwayatannya ?
Pendapat yang benar menurut jumhur[3]bahwa pendapat Tazkiyah kepada perawi yang majhul, tetapi tidak layak untuk diterimah periwayatannya. Bahkan kita menghentikan (tawakuf) untuk menerimah periwayatannya itu sampai disebutkan namanya kepada kita. Karena kemungkinan adanya cacat pada perawi yang majhul itu yang bisa mencederai keta’dilannya menurut perawi-perawi tsiqah lainnya yang tidak tercermati oleh perawi yang menilainnya. Bebrapa muhadditsin berpendapat bahwa penyucian (tazkiyah) oleh perawi tsiqat kepada perawi yang tidak di dengarnya jika ia betul-betul hanya meriwayatkan dari perawi yang tsiqat itu maka periwayatannya di nilai memadai dan kita menetapkan keta’dilan dan periwayatannya dapat diterima karena perawi yang tsiqat itu dijamin dalam menyebutkan nama perawi ataupun tidak disebutkan.
Imam Al-Hurmain Al-Juwaini mengomentari pendapat ini dengan mengatakan bahwa pendapat ini tidak memadai kecuali bagi ulama mujtahidin saja. Yang paling sahih adalah pendapat yang dikemukakan jumhur.
Adapun tentang periwayatan dari perawi yang tidak adil[4]para ulama memperbolehkan para periwayatan orang yang adil dari perawi yang tidak adil. Dikatakan Al-Sya’bi, “Al-Harts meriwayatkan kepada kita, saya bersaksi kepada Allah bahwa Al-Harts itu dusta. Perawi adil itu tidak menjelaskan keadaan Al-Harts dan hanya mengatakan “haddatsana Al-Harts “ (Al-Harts mengatakan kepada kita ). Perihal Al-Harts itu di jelaskan dalam periwayatan Al-Hakim di  kitab Musnad Bahwa Ahmad bin Hambal melihat Yahya bin Ma’in adalah seorang tokoh ulama kritik. Yahya menulis cacatan (tulisan ) Ma’mar dari Aban dari Anas. Imam Ahmad menegur Yahya, “engkau menulis shahifah Ma’mar, padahal engkau tahu bahwa catatan Ma’mar itu palsu ? yahya menjawab, “betul saya menulisnya, saya menghapal dan saya tahu jika tulisan itu palsu sehingga tidak ada orang yang datang untuk mengubahnya,” menganti Aban kepada tsabit (maksudnya, kekeliruan ini di tulis dengan sengaja oleh Yahya), kemudian orang tersebut meriwayatkan shahifah itu dari Ma’mar dari Tsabit dari Anas. Maka saya bertanya kepadanya, “engkau berdusta, sebenarnya tsahifah itu dari Ma’mar dari Aban bukan dari Tsabit.
Artinya bahwa seseorang (perawi) adil itu boleh meriwayatkan dari perawi yang tidak adil, sekalipun perawi itu pemalsu hadis, supaya mereka mengetahui dan lebih berhati-hati terhadap hal-hal yang tidak jelas dan kabur serta mengingatkan tentang shahifah itu sehingga tidak disisipi seseorang ke dalam periwayatan yang Tsiqah. Dan tidak benar bila dikatakan bahwa periwayatan orang yang adil itu bisa mena’dil (membenarkan) periwayatan orang yang tidak adil, seperti yang kalian ketahui tentang faktor-faktor penyebab di bolehkannya dalam periwayatan. Inilah pendapat yang shahih menurut Jumhur Muhadditsin dan Ushuliyyin.
Kemudian mereka mengembangkan permasalahan ini bahwa seorang mujtahid dan seorang Mufti bila mengamalkan suatu hadis bukan berarti hadis itu shahih. Dan sebaliknya, bilah mereka tidak mengamalkan, tidak berartti hadis itu tidak shahih atau ada cacat yang bisa mencedarakannya, atau ada kemungkinan mereka tidak menggunakan hadis karena mereka berpegang kepada selain hadis.
Beberapa pengikut Syafi’i berpendapat[5], “ periwayatan perawi adil dari perawi yang tidak adil, bisa dinyatakan adil. Karena ada ulama yang memperbolehkannya periwayatan dari perawi pemalsu hadis untuk memberitahu kepada orang –orang tentang keadaan pemalsu itu dan memperingatkan kepada umat supaya waspada terhadap penyisipan-penyisipan kedalam wilayah sahih.              
             






BAB III
PENUTUP
E.   Kesimpulan
·         Pendapat pertama: Ar-Razi, Al-Amidy,Ibnu Shalah dan Jumhur Ushuliyyin mengatakan bahwa secara mutlak, jarh di dahulukan dari ta’dil.
·         Pendapat kedua: Al-khathib Al-Bagdadi dalam kitab Al-Kifayah mengategorikan kepada beberapa ulama, yang kesimpulannya sebagai berikut:. Jika yang paling banyak yang mengemukakan pendapatnya adalah dari mu’addilan (yang mena’dil) maka pendapat pena’dil lainnya akan menjadi kuat sehingga kelompok mereka akan menjadi unggul, sedangkan pendapat sedangkan pendapat yang menjarahkan menjadi lemah, karena sedikit jumlahnya.
·         Pendapat yang ketiga: pendapat yang dikutip (dilansir) As-sayuthi dan pendukungnya bahwa tidak benar memandang unggul satu kelompok atas kelompok lainnya ketika terjadi kontradiksi para kritik dalam penetapan seseorang yang tidak mengandung aspek yang dapat diunggulkannya atau faktor penyebab yang bisa diunggulkan










DAFTAR PUSTAKA
Ismail Syuhudi, Metodologi Penelitian hadia nabi,  Jakarta: Bulan bintang, 1992
‘Abdu al-Rahma>n bin Abi> Bakr al-Suyu>ti>, tadri>b al-Ra>wi> fi> syarh taqri>b al-Nawa>wi>  al-Riya>d: Maktabah al-Riya>d al-Hadi>s\ah
Adz Dzahabi, Mi>za>n Al-I’tida>l fi> naqdi Al-Rija>l, juz I Beirut: da>r Al-kutubu Al-Alamiyah
Ali Fayyad Mahmud, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis, Bandung: Pustaka Setia, cet. I, 1998














Pertentangan Jarh Wa Ta’di>l


Description: UIN
 









Tugas Mata Kuliah;
Takhrij Hadis

Oleh;
ZAINUDDIN
30700111015


Dosen Pemandu;
Andi Darussalam


PROGRAM STUDI  ILMU HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2013




[1] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadia nabi, (Jakarta: Bulan bintang, 1992), h.72.
[2]‘Abdu al-Rahma>n bin Abi> Bakr al-Suyu>ti>, tadri>b al-Ra>wi> fi> syarh taqri>b al-Nawa>wi> (al-Riya>d: Maktabah al-Riya>d al-Hadi>s\ah)h. 110-112
[3] Ibid.,h. 20
[4] Adz Dzahabi, Mi>za>n Al-I’tida>l fi> naqdi Al-Rija>l, juz I(Beirut: da>r Al-kutubu Al-Alamiyah), h. 4
[5]Mahmud Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis,(Bandung: Pustaka Setia, cet. I, 1998) h. 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar