Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Kamis, 13 Juni 2013

kaedah jarh wa ta'dil



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Rasulullah memberikan warisan kepada kita umatnya dua perkara, yaitu Al-qur’an dan Sunnah. Al-qur’an yang notabene adalah kalam Allah telah dijamin kemurnian dan keabsahannya, karena Al-qur’an diturunkan secara mutawatir. Sedangkan Sunnah atau sabda Rasul tidak semuanya berpredikat mutawatir, sehingga tidak semua hadis bisa diterima, karena belum tentu setiap hadis itu berasal dari Rasulullah. Oleh karenanya muncullah ilmu yang berkaitan dengan hadis atau biasa disebut dengan istilah ‘Ulumul Hadits. Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadis, ada satu ilmu yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian,yaitu ilmu al-jarh wa ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar-komentar para kritikus hadis tentang keadaan setiap perawi, apakah diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya bisa ditentukan status dan derajat hadis yang diteliti oleh perawi tersebut. Oleh karena itu di sini penulis akan sedikit membahas tentang salah satu cabang ilmu hadis yang perlu kita ketahui bersama, yaitu ilmu al-jarh wa ta’dil. Dimana pemakalah akan membahas di dalamnya yaitu tentang Kaedah jarh> wa al-ta’di>l .  Namun layaknya sebuah tulisan -apalagi dengan berbagai keterbatasan referensi yang penulis dapat-  pasti terdapat banyak sekali kekurangan.

B.     Rumusan Masalah

Dari pemaran diatas maka penulis dapat memberikan kesimpulan, Yaitu :

1.      Menjelaskan Kaedah Jarh wa al-Ta’di>l dan Maksudnya




BAB II
PEMBAHASAN

A.   Kaidah Al Jarh wa At Ta'dil

Dalam menilai pribadi seseorang  periwayat hadis tertentu,terkadang para kritikus sependapat dan ada kalanya berbeda pendapat . Selain itu tak jarang seorang kritikus menilai seorang periwayayat yang sama dengan dua kualitas yang berbeda. Dalam suatu kesempatan tertentu, seorang kritikus menilai  dengan Laisa bihi ba’s, sedangkan pada kesempatan lain menilai periwayat tersebut  dengan d{hai>f.[1]  padahal kedua lafaz itu memiliki pengertian dan peringkat yang berbeda.[2]
            Melihat betapa urgensinya ilmu ini para pakar ‘ulu>mu al-H{<adi>s menyusun kaidah-kaidah jarh} dan ta’di>l. Dengan adanya kaidah ini diharapkan hasil penelitian terhadap periwayat hadis dapat lebih obyektif . Berikut adalah  sebagian kaidah-kaidah yang dikemukakan ulama jarh} wa al-ta’di>l.  
1. Al-Ta’di>l Muqaddam ‘ala> al-Jarh> (Ta’dil didahulukan atas jarh)
Maksudnya bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah sifat baiknya. Karena sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Maka sifat yang dominan adalah sifat terpuji.
Pada umumnya ulama hadis menolak kaedah tersebut dengan alasan bahwa kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat yang tercelah yang dimiliki oleh para periwayat yang dinilainya.[3] sementara kritikus yang mengemukakan celaan adalah kritikus yang mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya. Meskipun demikian kaedah ini sepenuhnya didukun oleh iman an-nasa’i ( w 303H/915M ).[4]
2. Al-Jarh> Muqaddam ‘ala> al-Ta’di>l (Al-jarh didahulukan atas ta’dil)
Maksudnya bila seorang dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah sifat yang dinilai celaan. Alasannya karena kritikus yang menyatakan celaan lebih paham pribadi periwayat yang dicelanya. Kemudian yang menjadi dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis dan persangkaan baik itu harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat bersangkutan. Kalangan ulama hadis, ulama fiqih, dan ulama usul fiqh banyak yang menganut teori tersebut. Dalam pada itu, banyak juga ulama kritikus hadis yang menuntut pembuktian atau penjelasan yang menjadi latar belakang atas ketercelaan yang dikemukakan terhadap periwayat tersebut.[5]

3. Iza> Ta’a>rad{a al-Ja>rh} wa al-Mu’addilu fa al-h}ukmu lil Mu’addil illa> iza> s|ubita al-jarh> al-mufassar
Maksudnya, Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.
Dalam hal ini apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang bersangkutan.
Kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama. Jumhur ulama mengatakan bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan itu haruslah relevan dengan upaya penelitian. Kemudian bila kritikus yang memuji telah mengetahui sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa sebab-sebab ketercelaan itu memang tidak relevan ataupun tidak ada lagi, maka kritikan yang memuji tersebut yang harus dipilih.
4. Iza> Ka>na al-Ja>rih> d}a’i>fan fala> yuqbalu jarh>uhu li al-siqqah (Apabila kritikus yang mengungkapkan ketercelaan adalah orang-orang yang tergolong da’if, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak diterima).
Maksudnya apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak siqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang siqas, maka kritikan orang yang tidak siqah itu ditolak. alasannya orang yang bersifat siqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak siqah.
5. La > yuqbalu al-jarh> illa> ba’da al-tasabbuti khasyah al-asybah fi> al-majru>h}ina (Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya).
Maksudnya apabila nama periwayat mempunyai kesamaan atau kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah satu dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat dari kesamaan atau kemiripan dari nama tersebut.
Suatu kritikan harus jelas sasarannya. Dalam mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keraguan-keraguan atau kekacauan.
6. Al-jarh} al-Nasyi’u ‘an ‘ada>wati dunyawiyyah la> yu’taddu bihi (Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan).
Maksudnya apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan itu harus ditolak. Alasannya adalah pertentangan masalah pribadi tentang urusan dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak obyektif. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku subyektif karena didorong oleh rasa kebencian.
Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing itu, maka yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih objective terhadap para periwayat hadis yang dinilai keadaan pribadinya. Dinyatakan demikian karena tujuan penelitian yang sesungguhnya bukanlah untuk mengikuti teori tertentu, melainkan bahwa penggunaan teori-teori itu adalah dalam upaya memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran, bila kebenaran itu sendiri sulit dihasilkan.















BAB III
PENUTUP
Dalam upaya memelihara keautentikan hadits sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, maka para Ulama terus berusaha dalam menghimpun hadis-hadis Nabi saw. dengan cara menilai para periwayat secara jarh atau ta’dil.
Ilm al-Jarh wa at-Ta’dil merupakan suatu ilmu untuk menyeleksi para periwayat hadis, apakah ia cacat atau adil sehingga hadits yang diriwayatkannya itu dapat diterima atau ditolak.
 Melalui syarat-syarat al-jarh wa at-ta’dil, lafal-lafal dan kaidah-kaidah tertentu, para Ulama hadis menilai para periwayat dari segi jarh (cacat) dan ta’dil (bersihnya)nya
A.    Al-Ta’di>l Muqaddam ‘ala> al-Jarh> (Ta’dil didahulukan atas jarh)
B.     Al-Jarh> Muqaddam ‘ala> al-Ta’di>l (Al-jarh didahulukan atas ta’dil )
C.     Iza> Ta’a>rad{a al-Ja>rh} wa al-Mu’addilu fa al-h}ukmu lil Mu’addil illa> iza> s|ubita al-jarh> al-mufassar (
D.    . Iza> Ka>na al-Ja>rih> d}a’i>fan fala> yuqbalu jarh>uhu li al-siqqah (Apabila kritikus yang mengungkapkan ketercelaan adalah orang-orang yang tergolong da’if, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak diterima).
E.     La > yuqbalu al-jarh> illa> ba’da al-tasabbuti khasyah al-asybah fi> al-majru>h}ina (Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya).
F.      Al-jarh} al-Nasyi’u ‘an ‘ada>wati dunyawiyyah la> yu’taddu bihi (Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan).




DAFTAR PUSTAKA
Syuhudi Ismail, Muhammad. Kaidah kesahihan Sanad hadis , Jakarta : Bulan Bintang, 1988
Syuhudi Ismail, Muhammdad. Metodologi Penelitian Hadis , Jakarta : Bulan Bintang, 1992
H<ammadah, Fa>ruq al-Manha>j al- Isla>m Fi> al-Jarh> wa al-ta’di>l (Riba>t : Da>r Nasr al-Ma’rifat, 1989




[1] Muhammad Syuhudi Ismail, Kaidah kesahihan Sanad hadis ( Jakarta : Bulan Bintang, 1988 ), Hlm. 181
[2] Muhammdad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis ( Jakarta : Bulan Bintang, 1992), Hlm. 77
[3] Ibid, Hlm. 79
[4] Muhammad Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis…. Hlm. 205
[5] Fa>ruq H<ammadah, al-Manha>j al- Isla>m Fi> al-Jarh> wa al-ta’di>l (Riba>t : Da>r Nasr al-Ma’rifat, 1989),Hlm. 360

Tidak ada komentar:

Posting Komentar