Oleh Nurul Fadhila Faisal
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Kesahihan sebuah hadis—sebagaimana telah diketahui—turut ditentukan oleh
kualitas rangkaian sanad yang meriwayatkan hadis. Hal ini meniscayakan bahwa
sanad hadis yang merupakan rangkaian para periwayat-periwayat yang bermula dari
sahabat sampai kepada mukharrij, menjadi lapangan kajian tersendiri yang
membutuhkan kejelian dan kecermatan dalam proses menentukan kesahihan sebuah
hadis.
Kecermatan yang dimaksud dalam kajian sanad hadis adalah dalam proses
menyimpulkan ke-s\iqah[1]-an
periwayat-periwayat yang terdapat dalam rangkaian sanad hadis. Kualitas pribadi
(‘a>dil) dan kapasitas intelektual (d}a>bit})
masing-masing periwayat diketahui melalui informasi-informasi historis yang
terdapat dalam literatur-literatur rija>l al-h}adi>s\ sebagai
menjadi bahan yang kemudian dianalisis menggunakan kaidah yang dikenal dengan
kaidah al-jarh} wa al-ta‘di>l.[2]
Sumber informasi terkait jarh} atau al-ta‘di>l-nya periwayat-periwayat hadis kemudian
menghadirkan istilah yang dikenal dengan al-na>qid atau al-ja>rih}
wa al-mu‘addil, yang dalam ungkapan lain disebut kritikus.
Kepada merekalah penelitian kualitas periwayat-periwayat hadis bergantung. Dan
dengan demikian, signifikansi kritikus dalam penelitian hadis sungguh tidak
dapat disangsikan.
Melihat urgen dan signifikannya kedudukan kritikus dalam kajian hadis, maka
selayaknya mereka mendapatkan perhatian khusus, yaitu dalam rangka mencermati
keabsahan dan keakuratan informasi yang mereka sampaikan dalam berbagai
literatur. Dan hal ini dapat diukur dengan menggunakan standar kompetensi yang
seharusnya mereka penuhi untuk dapat dipastikan bahwa mereka benar-benar dapat
dikategorikan sebagai kritikus yang dapat dipertanggungjawabkan penilaiannya kepada
periwayat-periwayat hadis.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, maka permasalahan utama tulisan ini seputar
kritikus hadis dan syarat-syaratnya. Dan dalam rangka mewujudkan pembahasan
yang sistematis dan terarah, maka dirumuskanlah masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana tinjauan
seputar kritikus, signifikansi dan sejarahnya?
2. Apa syarat-syarat seorang kritikus hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan umum seputar kajian kritikus hadis
1. Definisi kritikus hadis dan urgensinya
Dalam bahasa arab, kritikus disebut sebagai na>qid berderivasi
dari al-naqdu wa al-tanaqqudu. Secara bahasa, al-naqdu berarti
membedakan sesuatu untuk memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk, dan
kemudian mengeluarkan hal-hal yang rendah darinya. Maka secara istilah, al-naqdu
adalah ilmu yang membahas tentang penyeleksian hadis-hadis sahih dari yang da‘i>f, dan para periwayatnya, dari yang cacat dan
yang ‘adil dengan menggunakan lafal-lafal tertentu.[3]
Secara normatif, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi saw. pernah
berujar tentang dua orang pada masa itu dengan mengatakan: aku tahu bahwa Fulan
dan Fulan tidak mengetahui apapun tentang agama kita. [4] Dalil
ini dan semacamnya digunakan sebagai argumentasi normatif bahwa kegiatan
kritikus dalam menilai jarh} dan ta‘dil-nya periwayat hadis dibutuhkan untuk
kepentingan agama, dalam hal ini menyelamatkan hadis Nabi saw.
Kajian periwayat hadis—sebagaimana diketahui—sangat sarat dan tidak dapat
dilepaskan dari kajian sejarah. Sehingga kaidah kajian hadis memiliki kesamaan
dengan kajian sejarah. Dalam pendekatan ilmu sejarah, keaslian dan keakuratan
informasi lazimnya mendapatkan perhatian dari studi yang aktifitasnya berkaitan
dengan rekonstruksi “peristiwa” masa lalu. Sebab konsep tersebut merupakan
prasyarat utama yang mesti dipenuhi bagi diterimanya suatu laporan yang berisi
fakta yang diakui keberadaannya sebagai sebuah kenyataan.[5]
Persoalannya adalah sebelum fakta atau data suatu peristiwa dijadikan
sumber bagi penyusunan konstruksi suatu laporan, terdapat dua pertanyaan
penting perlu dijawab.[6] Pertama,
apakah sumber itu benar atau tidak; siapakah pembawanya, bagaimana bahasanya;
dan siapa sumbernya? Kedua, apakah isinya dapat diterima sebagai kenyataan;
bagaimana mengenai penulisnya: apa ia jujur, adil, dan kompeten, atau
sebaliknya memiliki motif, atau mengalami suatu tekanan? Jadi kedua pertanyaan
di atas merupakan kriteria yang dipegangi dalam menilai keaslian dan keakuratan
sumber data sebelum dijadikan sumber yang diyakini kualitas atau keasliannya
bagi penulisan suatu laporan informasi.[7]
Dalam kaitannya dengan informasi kritikus, tentu hal di atas turut menjadi
bahan pertimbangan tersendiri. Bahwa penilaian periwayat yang mereka sampaikan
dalam literatur-literatur, tentu membutuhkan penelitian untuk diuji terlebih
dahulu subjek yang menyampaikan penilaian tersebut sebelum sampai kepada
penelitian terhadap konten atau penilaian yang mereka sampaikan, dalam hal ini
penilaian jarh} ta‘dil kepada para
periwayat hadis Nabi saw.
Berdasarkan keterangan di atas, maka disimpulkan bahwa eksistensi kritikus
dalam kajian hadis Nabi saw. sangat penting. Dengan pendekatan normatif, Nabi
saw. telah mencontohkannya, dan dengan pendekatan sejarah dan logika,
dipastikan bahwa kritikus hadis sangat berperan dalam proses kajian hadis Nabi
saw. Beberapa cabang ilmu hadis sangat bergantung kepada informasi para
kritikus hadis, yaitu ‘ilm al-jarh} wa al-ta‘di>l, ta>rikh al-ruwwah, dan ma‘rifah ‘ilal al-h}adi>s\.[8]
2. Sejarah kegiatan kritik periwayat hadis
Secara historis, mengkritik atau memberikan penilaian atas pribadi dan
kapasitas seseorang bahkan telah bermula bahkan pada masa Nabi saw. Ketika Nabi
saw. masih hidup, sahabat-sahabat Nabi banyak yang melakukan cek ricek sesama
sahabat dalam kaitannya dengan informasi hadis Nabi. Kegiatan mengecek hadis
yang beredar di kalangan sahabat bukanlah karena kecurigaan di antara mereka,
namun lebih pada hasrat untuk lebih meyakinkan dan menenangkan hati. Hal
tersebut sama halnya dengan kisah Nabi Ibra>hi>m ketika meminta kepada
Allah untuk ditunjukkan bagaimana Allah menghidupkan yang mati. Tentu dalam
kasus tersebut, Nabi Ibrahim tidak dalam konteks tidak percaya Tuhan, melainkan
untuk menenangkan dan lebih meyakinkan hatinya (QS. al-Baqarah/2: 260).[9]
Pada masa berikutnya setelah Nabi saw., sahabat utama yang menjadi pelopor kritikus
dalam menyelamatkan hadis Nabi saw. dari periwayat-periwayat yang salah,
misalnya Abu> Bakr al-S}iddi>q dan ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b rad}iyalla>hu
‘anhuma>. Abu> Bakr bahkan diklaim
sebagai orang pertama yang dengan tegas menjadi contoh dalam menyelamatkan
hadis dari para pembohong. Beberapa riwayat yang melegitimasi hal tersebut,
misalnya:
-
Al-H{a>kim
pernah berujar: beliau orang yang pertama kali melindungi/menjauhkan kedustaan
dari Nabi saw.
-
Al-Z|ahabi>
berkata tentang Abu> Bakar:[10] beliau yang pertama meletakkan
dasar kehati-hatian dalam menerima hadis.
Demikianlah Abu> Bakr dianggap
sebagai peletak dasar kaidah dalam kritik terhadap periwayat hadis, yang pada
masa itu menggunakan metode perbandingan-perbandingan riwayat. Sampai kemudian
datang masa ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b dan ‘Ali ibn Abi> T{a>lib yang melanjutkan hal
yang sama.[11]
Ibn H{ibba>n pernah
berkomentar tentang ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b dan ‘Ali ibn Abi> T{a>lib dengan menyatakan:
إِنَّ عُمَرً
وَعَلِيًّا أَوَّلُ مَنْ فَتَّشَا عَنِ الرِّجَالِ فِى الرِّوَايَةِ، وَبَحَثَا
عَنِ النَّقْلِ فِى الْأَخْبَارِ ثُمَّ تَبَعَهُمْ نَاسٌ عَلَى ذَلِكَ[12]
(‘Umar dan ‘Ali> adalah orang-orang
terdahulu yang melakukan penelitian terhadap para periwayat, dan menguji bentuk
transfer hadis, yang metode dan jalan mereka itu diikuti oleh orang-orang
setelahnya)
Setelah masa khalifah, dan
seiring perkembangan Islam yang meniscayakan beredarnya hadis Nabi saw. ke
negeri-negeri yang berhasil diislamkan, maka kegiatan kritik periwayat juga
semakin marak dan bahkan mengambil bentuk yang berbeda, yaitu berupa
madrasah-madrasah yang sekaligus menghadirkan tokoh-tokoh kritikus baru. Dan
madrasah-madrasah yang terkenal pada masa awal itu adalah madrasah Madinah dan
madrasah Irak.
a.
Sa‘i>d ibn al-Musayyab
b.
Al-Qa>sim ibn Muh}ammad ibn Abi> Bakr
c.
Sa>lim ibn ‘Abdilla>h ibn ‘Umar
d.
‘Ali> ibn H{usain ibn ‘Ali>
e.
Abu> Salamah ibn ‘Abd al-Rah}ma>n ibn‘Au>f
f.
‘Abdulla>h ibn ‘Abdilla>h ibn ‘Utbah
g.
Kha>rijah ibn Zaid ibn S|a>bit
h.
‘Urwah ibn Zubair ibn ‘Awwa>m
i.
Abu> Bakr ibn ‘Abd al-Rah}man ibn al-H{a>ris\ ibn Hisya>m
j.
Sulaima>n ibn Yassa>r
k.
Ibn Syiha>b al-Zuhri>
l.
Yah}ya> bin Sa‘i>d al-Ans}a>ri>
m.
Hisya>m ibn ‘Urwah, dan
n. Sa‘ad ibn Ibra>hi>m.
Kemudian di madrasah Irak, melahirkan tokoh-tokoh kritikus seperti:
a.
Al-H{asan al-Bas}ri>
b.
T{a>wu>s ibn Ki>sa>n
c.
Sa‘i>d ibn Jubair
d.
Ibra>hi>m al-Nakha‘i>
e. ‘A<mir al-Sya‘bi>.
Dan termasuk
tokoh-tokoh belakangan dalam kelompok tersebut, Ibn Si>ri>n.
Pada masa-masa berikutnya, ketika
kajian hadis semakin jauh berkembang, maka kegiatan kritik dan kritikus pun
semakin meluas keberadaannya. Perjalanan ilmiah yang dilakukan oleh ta>bi‘i>n dan ta>bi‘ al-ta>bi‘i>n ke berbagai daerah menjadi
pemicu tersendiri dalam mengembangkan kajian tersebut dan menambah tokoh-tokoh
kritikus hadis di daerah-daerah baru itu.
Ibn H{ibba>n telah mencontohkan tokoh-tokoh
kritikus pada masa berikutnya, misalnya: [14]
a.
Sufya>n ibn Sa‘i>d al-S|auri> di Ku>fah
b.
Malik ibn Anas di Madinah
c.
‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Amr al-Auza>‘i> di Beirut
d.
H{amma>d ibn Salamah di Bas}rah
e.
Al-Lai>s\ ibn Sa‘ad di Mesir
f.
H{amma>d ibn Zaid di Makkah, dan
g.
Sufya>n ibn ‘Uyainah di Makkah.
Kemudian dari para tokoh ini,
muncul lagi beberapa tokoh lain yang belajar dari mereka, yaitu:
a.
‘Abdulla>h ibn al-Muba>rak
b.
Yah{ya> ibn Sa‘i>d al-Qat}t}a>ni>
c.
Waki>‘ ibn al-Jarra>h}
d.
‘Abd al-Rah}ma>n ibn Mahdi>, dan
e. Muh}ammad ibn
Idri>s al-Sya>fi‘i>.
Demikian pula beberapa
tokoh-tokoh akhir yang mengambil pelajaran dari mereka, yaitu:[15]
a.
Ah}mad ibn H{anbal
b.
Yah{ya> ibn Ma‘i>n
c.
‘Ali> ibn al-Madi>ni>
d.
Abu> Bakr ibn Abi Syaibah
e.
Ish}a>q ibn Ibra>hi>m al-H{anz}ali>
f.
‘Abdulla>h ibn ‘Umar al-Qawa>riri>, dan
g. Zuhair ibn H{arb.
Dari tokoh-tokoh di atas, lahir lagi tokoh-tokoh baru, di antaranya:[16]
a.
Muh}ammad ibn Yah}ya>
al-Naisa>bu>ri>
b.
Al-Da>rimi>
c.
Abu> Zur‘ah al-Ra>zi>
d.
Al-Bukha>ri>
e.
Muslim ibn al-H{ajja>j, dan
f.
Abu> Da>wud.
Demikianlah gambaran perkembangan
dan kemunculan tokoh-tokoh kritikus hadis, yang saling berantai dari masa awal
higga tokoh-tokoh yang lahir belakangan. Dari para tokoh tersebut, tidak
ditemukan karya-karya mereka yang tersendiri tentang al-jarh} wa al-ta‘di>l, meskipun beberapa referensi
menunjukkan bahwa beberapa tokoh telah menulis karya tersendiri. Di antara
mereka misalnya, Syu‘bah ibn al-H{ajja>j,
al-Lai>s\ ibn Sa‘ad, ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Mahdi>, dan Yah{ya>
ibn Sa‘i>d.[17]
B.
Syarat-syarat kritikus hadis
Menjadi sebuah keniscayaan, bahwa dalam segala bidang keilmuan yang
menuntut pertanggungjawaban ilmiah, kriteria-kriteria tertentu sebagai syarat
yang harus dipenuhi dalam sebuah keahlian atau profesi tertentu harus
ditetapkan. Untuk menjadi seorang mufti, menjadi seorang mujtahid, atau menjadi
seorang kritikus bahasa dan sastra misalnya, para ulama telah menetapkan
berbagai syarat yang berkaitan dengan keahlian tersebut masing-masing. Maka
sebagai salah satu ilmu yang sangat penting dalam Islam, karena berkaitan dengan
hadis Rasulullah saw., semestinya kritikus hadis juga menuntut keahlian ilmiah
dan kriteria khusus lainnya yang menjadi syarat seorang kritikus.
Menetapkan syarat dalam menentukan seorang kritikus yang berkompeten adalah
hal yang urgen. Dalam sejarah jarh} wa ta‘dil, pada awalnya para ulama yang memberikan
kritikan atau penilaian kepada para periwayat hadis adalah orang-orang yang
mantap dalam agama dan amanah. Namun, seiring bermunculannya berbagai mazhab,
merebaknya berbagai bentuk bid’ah dah ekstrimisme keagamaan, maka kejujuran dan
amanah mulai tergoyahkan, keilmuan pun bermasalah, sampai munculnya orang-orang
yang tidak mengerti tentang ilmu ini memberikan komentar terhadap para
periwayat. Dari sinilah penting untuk menetapkan syarat yang harusnya dipenuhi
oleh kritikus, sehingga tidak sembarang orang yang bisa memberi komentar
apalagi diterima penilaiannya.[18]
1.
Orangnya ‘a>dil.
2.
Memiliki
sifat wara‘ yang menjauhkannya dari sifat
fanatik dan menuruti hawa nafsunya.
3.
Memiliki kekuatan memori dan tidak pelupa sehingga
benar-benar bisa menggambarkan keadaan periwayat.
4. Mengetahui sebab-sebab jarh} dan ta‘dil sehingga tidak mencacatkan orang yang faktanya ‘adil dan sebaliknya men-ta‘di>l periwayat yang faktanya cacat.
Al-‘Umari> dalam keterangan lain menyatakan bahwa seorang kritikus hadis
harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
1.
Mengenal mendalam
keadaan periwayat dan metode periwayatan mereka.
2.
Memiliki
pemahaman dan daya analisis yang tajam, serta memiliki kematangan berpikir,
yang membuatnya tidak gegabah dalam menyimpulkan penilaian terhadap periwayat.
3. Tidak dipengaruhi oleh permusuhan, perbedaan keyakinan,
kedengkian, dalam menilai seorang periwayat.
Menurutnya, jika seorang kritikus tidak memenuhi kriteria di
atas, maka akan mengambil kesimpulan dan memberikan keterangan yang gegabah dan
ceroboh. Hal seperti demikianlah yang terjadi pada kasus ‘Affa>n
ibn Muslim, al-Fad}l ibn Daki>n, dan Abu> al-Fatta>h} al-Azadi>,
yang oleh beberapa ulama ditolak kritikan dan komentarnya karena telah salah
menyimpulkan penilaian.[20]
H{asan
Fauzi> dalam penelitian menjelaskan bahwa seorang kritikus pada dasarnya
harus lebih awal memposisikan dirinya di antara Allah dan hamba (yang akan
dikritisi). Sehingga rasa pertanggungjawabannya terhadap apa yang dia
informasikan adalah pertanggungjawaban kepada Allah. Dengan demikian, dia akan
sangat teliti, cermat, dan berhati-hati dalam memberikan keterangan tentang
periwayat. Sedikit kesalahan akan berakibat sangat fatal, dia akan memberikan
pujian kepada orang yang cacat, dan demikian sebaliknya. Hal tersebut sama
halnya dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.[21]
Menurut
H{asan Fauzi>, seorang kritikus harus memiliki beberapa kriteria utama,
yaitu: Ketaqwaan yang kuat; Ilmu yang mantap terkait metode dan para periwayat
yang akan dikritisi; menghindarkan diri dari fanatisme dan kecenderungan
tertentu yang membuatnya tidak obyektif dalam memberikan penilaian. Ketika
kriteria-kriteria tersebut telah terpenuhi, justru menurutnya kita wajib
berpegang kepada keterangan yang diberikan oleh kritikus bersangkutan.
Alasannya adalah bahwa hadis Nabi tidak mungkin diketahui tanpa sanad, dan
informasi tentang kualitas dan kapasitas para periwayat itu tidak mungkin
diketahui tanpa informasi dari para kritikus yang kredibel tersebut.[22]
BAB III
PENUTUP
-
Kesimpulan
1.
Eksistensi
kritikus dalam kajian hadis Nabi saw. adalah hal yang sangat urgen dan
signifikan. Sanad hadis yang berisi periwayat-periwayat yang menyampaikan
sebuah hadis, membutuhkan penelitian tersendiri dalam menentukan kualitas
pribadi dan kapasitas intelektualnya, sebagai pertimbangan bisa diterima atau
ditolak riwayatnya. Ilmu al-jarh} wa al-ta‘di>l yang membahas keterpujian
dan ketercelaan periwayat menisayakan adanya kritikus-kritikus sebagai pemberi
informasi terkait hal-ihwal periwayat hadis. Kegiatan memberikan pujian atau
celaan kepada orang lain, dalam konteks kebaikan agama, telah dicontohkan oleh
Nabi, dan diikuti oleh sahabat, dan
dilegalkan dalam penelitian hadis, yang melahirkan banyak tokoh di berbagai
tempat, seiring penyebaran hadis Nabi saw. sebagai konsekuensi dari penyebaran
Islam.
2.
Sama halnya
dengan periwayat hadis, para kritikus hadis juga memiliki kriteria yang harus
dimiliki sebagai prasyarat untuk diterimanya penilaiannya. Beberapa kriteria
yang ditetapkan ulama, yaitu: a) harus memiliki ketaqwaan yang kuat, sehingga
termasuk orang adil; b) menguasai ilmu jarh} ta‘di>l; 3) hafal betul kriteria
penilaian periwayat sehingga tidak gegabah dalam menilai, dan 4) memiliki sifat
wara>‘ yang menghindarkannya dari fanatisme, kebencian, dengki, dan segala bentuk
kecenderungan yang bisa menjadikannya tidak obyektif dalam penilaian.
DAFTAR PUSTAKA
‘Az}ami>,
Muh}ammad Mus}t}afa>. Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muh}addis\i>n; Nasy’atuhu> wa Ta>ri>khuhu>. Cet. III; al-Mamlakah al-Sa‘u>diyyah: Maktabah al-Kaus\ar, 1990.
Al-A‘z}ami>, Muh}ammad D}iya> al-Rah}ma>n. Dira>sa>t fi>
al-Jarh} wa al-Ta‘di>l. Cet.I; Madinah: Maktabah al-Guraba>
al-As\iriyyah, 1995.
Al-‘Abd al-Lat}i>f, ‘Abd al-‘Azi>z ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m. D}awa>bit} al-Jarh} wa
al-Ta‘di>l. Cet. I; Madinah: al-Ja>mi‘ah
al-Isla>miyyah, 1412 H.
Al-Bukha>ri>, Muh{ammad ibn Isma>‘i>l ibn Ibra>hi>m. S{ah{i>h{
al-Bukha>ri>. Kairo: Da>r al-Taqwa> li Tura>s\, 2001.
Ibn H{ibba>n, Muh}ammad. al-Majru>h}i>n. Halb: Da>r
al-Wa‘yi, [t.th].
Al-Jawa>bi>, Muh}ammad T{a>hir. al-Jarh} wa al-Ta‘di>l baina al-Mutasyaddidi>n wa al-Mutasa>hili>n. [t.tp]: al-Da>r al-‘Arabiyyah li al-Kita>b, 1997.
Al-S}a‘i>di>, H{asan Fauzi> H{asan. al-Manhaj al-Naqd ‘inda al-Mutaqaddimi>n min al-Muh}addis\i>n wa As\aru Taba>yuni
al-Manhaji. Risalah Magister di Universitas Ainu al-Syams
Kairo, 2001.
Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen” dalam
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT
Gramedia, 1977.
Soebahar, Erfan. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah; Kritik Mushthafa
al-Siba‘i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al-Islam. Cet. I; Bogor: Kencana, 2003.
Al-‘Umari>, Muh}ammad ‘Ali> Qa>sim. Dira>sa>t Manhaj al-Nadq ‘Inda al-Muh}addis\i>n. Yordan: Da>r
al-Nafa>is, [t.th].
Al-Z|ahabi>, Syams al-Di>n. Taz\kirah al-H{uffa>z}. Beirut: Da>r
Ih}ya> al-Tura>s\, 1374 H.
[1]S|iqah
adalah istilah yang meliputi dua unsur yaitu kualitas pribadi dan kapasitas
intelektual periwayat, menjadi ukuran standar dalam meneliti
periwayat-periwayat hadis. Lihat: ‘Abd al-‘Azi>z ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m al-‘Abd al-Lat}i>f, D}awa>bit} al-Jarh} wa al-Ta‘di>l (Cet. I; Madinah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>miyyah, 1412 H), h. 11.
[2]Ilmu al-jah}
wa al-ta‘di>l adalah ilmu
yang membahas tentang kritikan (penilaian) terhadap para periwayat hadis, baik
keterpujian maupun ketercelaannya, yang berimplikasi pada diterima atau
ditolaknya riwayat seorang periwayat. Lihat: Muh}ammad T{a>hir al-Jawa>bi>,
al-Jarh} wa al-Ta‘di>l
baina al-Mutasyaddidi>n wa al-Mutasa>hili>n ([t.tp]:
al-Da>r al-‘Arabiyyah li
al-Kita>b, 1997), h. 20.
[3]Muh}ammad ‘Ali> Qa>sim al-‘Umari>, Dira>sa>t
Manhaj al-Nadq ‘Inda
al-Muh}addis\i>n (Yordan: Da>r al-Nafa>is, [t.th]), h. 11; Bandingkan:
Muh}ammad Mus}t}afa> ‘Az}ami>, Manhaj
al-Naqd ‘Inda
al-Muh}addis\i>n; Nasy’atuhu> wa Ta>ri>khuhu> (Cet. III;
al-Mamlakah al-Sa‘u>diyyah:
Maktabah al-Kaus\ar, 1990), h. 5.
[4]Muh{ammad
ibn Isma>‘i>l ibn Ibra>hi>m al-Bukha>ri>, S{ah{i>h{
al-Bukha>ri>, Juz VII, (Kairo: Da>r al-Taqwa> li Tura>s\,
2001), h. 86.
[5]Erfan
Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah; Kritik Mushthafa al-Siba‘i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr
al-Islam (Cet. I; Bogor: Kencana, 2003), h. 216.
[6]Bandingkan
dengan Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen” dalam
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT
Gramedia, 1977), h. 79.
[7]Erfan
Soebahar, op. cit., h. 217.
[10]Syams
al-Di>n al-Z|ahabi>, Taz\kirah
al-H{uffa>z}, Juz II, (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\,
1374 H), h. 2.
[12]Muh}ammad
ibn H{ibba>n al-Busti>, al-Majru>h}i>n, Juz XIII, (Halb:
Da>r al-Wa‘yi, [t.th]),
h. 17.
[13]Ibn
H{ibba>n, op. cit., Juz XIII, h. 1-39.
[14]Ibn H{ibba>n, op. cit. h. 17.
[15]Ibid.
[17]Mus}t}afa>
‘Az}ami>, op. cit., h.
17; Al-Jawa>bi> memaparkan tentang
sejarah kritikus dengan membaginya ke dalam kurun waktu abad, sehingga kritikus
hadis dibagi berdasarkan abad kemunculan mereka. Lihat: al-Jawa>bi>, op.
cit., h. 179-200.
[18]Muh}ammad
D}iya> al-Rah}ma>n al-A‘z}ami>, Dira>sa>t
fi> al-Jarh} wa al-Ta‘di>l (Cet.I;
Madinah: Maktabah al-Guraba> al-As\iriyyah,
1995), h. 65.
[21]H{asan
Fauzi> H{asan al-S}a‘i>di>,
al-Manhaj al-Naqd ‘inda
al-Mutaqaddimi>n min al-Muh}addis\i>n wa As\aru Taba>yuni al-Manhaji (Risalah
Magister di Universitas Ainu al-Syams Kairo, 2001), h. 311.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar