Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Kamis, 13 Juni 2013

kritikus perawi hadis



Oleh Nurul Fadhila Faisal
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Kesahihan sebuah hadis—sebagaimana telah diketahui—turut ditentukan oleh kualitas rangkaian sanad yang meriwayatkan hadis. Hal ini meniscayakan bahwa sanad hadis yang merupakan rangkaian para periwayat-periwayat yang bermula dari sahabat sampai kepada mukharrij, menjadi lapangan kajian tersendiri yang membutuhkan kejelian dan kecermatan dalam proses menentukan kesahihan sebuah hadis.
Kecermatan yang dimaksud dalam kajian sanad hadis adalah dalam proses menyimpulkan ke-s\iqah[1]-an periwayat-periwayat yang terdapat dalam rangkaian sanad hadis. Kualitas pribadi (a>dil) dan kapasitas intelektual (d}a>bit}) masing-masing periwayat diketahui melalui informasi-informasi historis yang terdapat dalam literatur-literatur rija>l al-h}adi>s\ sebagai menjadi bahan yang kemudian dianalisis menggunakan kaidah yang dikenal dengan kaidah al-jarh} wa al-tadi>l.[2]

Sumber informasi terkait jarh} atau al-tadi>l-nya periwayat-periwayat hadis kemudian menghadirkan istilah yang dikenal dengan al-na>qid atau al-ja>rih} wa al-muaddil, yang dalam ungkapan lain disebut kritikus. Kepada merekalah penelitian kualitas periwayat-periwayat hadis bergantung. Dan dengan demikian, signifikansi kritikus dalam penelitian hadis sungguh tidak dapat disangsikan.
Melihat urgen dan signifikannya kedudukan kritikus dalam kajian hadis, maka selayaknya mereka mendapatkan perhatian khusus, yaitu dalam rangka mencermati keabsahan dan keakuratan informasi yang mereka sampaikan dalam berbagai literatur. Dan hal ini dapat diukur dengan menggunakan standar kompetensi yang seharusnya mereka penuhi untuk dapat dipastikan bahwa mereka benar-benar dapat dikategorikan sebagai kritikus yang dapat dipertanggungjawabkan penilaiannya kepada periwayat-periwayat hadis.
B.   Rumusan masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, maka permasalahan utama tulisan ini seputar kritikus hadis dan syarat-syaratnya. Dan dalam rangka mewujudkan pembahasan yang sistematis dan terarah, maka dirumuskanlah masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana tinjauan seputar kritikus, signifikansi dan sejarahnya?
2.      Apa syarat-syarat seorang kritikus hadis?






BAB II
PEMBAHASAN
A.  Tinjauan umum seputar kajian kritikus hadis
1.      Definisi kritikus hadis dan urgensinya
Dalam bahasa arab, kritikus disebut sebagai na>qid berderivasi dari al-naqdu wa al-tanaqqudu. Secara bahasa, al-naqdu berarti membedakan sesuatu untuk memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk, dan kemudian mengeluarkan hal-hal yang rendah darinya. Maka secara istilah, al-naqdu adalah ilmu yang membahas tentang penyeleksian hadis-hadis sahih dari yang dai>f, dan para periwayatnya, dari yang cacat dan yang adil dengan menggunakan lafal-lafal tertentu.[3]
Secara normatif, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi saw. pernah berujar tentang dua orang pada masa itu dengan mengatakan: aku tahu bahwa Fulan dan Fulan tidak mengetahui apapun tentang agama kita. [4] Dalil ini dan semacamnya digunakan sebagai argumentasi normatif bahwa kegiatan kritikus dalam menilai jarh} dan tadil-nya periwayat hadis dibutuhkan untuk kepentingan agama, dalam hal ini menyelamatkan hadis Nabi saw.
Kajian periwayat hadis—sebagaimana diketahui—sangat sarat dan tidak dapat dilepaskan dari kajian sejarah. Sehingga kaidah kajian hadis memiliki kesamaan dengan kajian sejarah. Dalam pendekatan ilmu sejarah, keaslian dan keakuratan informasi lazimnya mendapatkan perhatian dari studi yang aktifitasnya berkaitan dengan rekonstruksi “peristiwa” masa lalu. Sebab konsep tersebut merupakan prasyarat utama yang mesti dipenuhi bagi diterimanya suatu laporan yang berisi fakta yang diakui keberadaannya sebagai sebuah kenyataan.[5]
Persoalannya adalah sebelum fakta atau data suatu peristiwa dijadikan sumber bagi penyusunan konstruksi suatu laporan, terdapat dua pertanyaan penting perlu dijawab.[6] Pertama, apakah sumber itu benar atau tidak; siapakah pembawanya, bagaimana bahasanya; dan siapa sumbernya? Kedua, apakah isinya dapat diterima sebagai kenyataan; bagaimana mengenai penulisnya: apa ia jujur, adil, dan kompeten, atau sebaliknya memiliki motif, atau mengalami suatu tekanan? Jadi kedua pertanyaan di atas merupakan kriteria yang dipegangi dalam menilai keaslian dan keakuratan sumber data sebelum dijadikan sumber yang diyakini kualitas atau keasliannya bagi penulisan suatu laporan informasi.[7]
Dalam kaitannya dengan informasi kritikus, tentu hal di atas turut menjadi bahan pertimbangan tersendiri. Bahwa penilaian periwayat yang mereka sampaikan dalam literatur-literatur, tentu membutuhkan penelitian untuk diuji terlebih dahulu subjek yang menyampaikan penilaian tersebut sebelum sampai kepada penelitian terhadap konten atau penilaian yang mereka sampaikan, dalam hal ini penilaian jarh} tadil kepada para periwayat hadis Nabi saw.
Berdasarkan keterangan di atas, maka disimpulkan bahwa eksistensi kritikus dalam kajian hadis Nabi saw. sangat penting. Dengan pendekatan normatif, Nabi saw. telah mencontohkannya, dan dengan pendekatan sejarah dan logika, dipastikan bahwa kritikus hadis sangat berperan dalam proses kajian hadis Nabi saw. Beberapa cabang ilmu hadis sangat bergantung kepada informasi para kritikus hadis, yaitu ilm al-jarh} wa al-tadi>l, ta>rikh al-ruwwah, dan marifah ilal al-h}adi>s\.[8]
2.      Sejarah kegiatan kritik periwayat hadis
Secara historis, mengkritik atau memberikan penilaian atas pribadi dan kapasitas seseorang bahkan telah bermula bahkan pada masa Nabi saw. Ketika Nabi saw. masih hidup, sahabat-sahabat Nabi banyak yang melakukan cek ricek sesama sahabat dalam kaitannya dengan informasi hadis Nabi. Kegiatan mengecek hadis yang beredar di kalangan sahabat bukanlah karena kecurigaan di antara mereka, namun lebih pada hasrat untuk lebih meyakinkan dan menenangkan hati. Hal tersebut sama halnya dengan kisah Nabi Ibra>hi>m ketika meminta kepada Allah untuk ditunjukkan bagaimana Allah menghidupkan yang mati. Tentu dalam kasus tersebut, Nabi Ibrahim tidak dalam konteks tidak percaya Tuhan, melainkan untuk menenangkan dan lebih meyakinkan hatinya (QS. al-Baqarah/2: 260).[9]
Pada masa berikutnya setelah Nabi saw., sahabat utama yang menjadi pelopor kritikus dalam menyelamatkan hadis Nabi saw. dari periwayat-periwayat yang salah, misalnya Abu> Bakr al-S}iddi>q dan Umar ibn al-Khat}t}a>b rad}iyalla>hu anhuma>. Abu> Bakr bahkan diklaim sebagai orang pertama yang dengan tegas menjadi contoh dalam menyelamatkan hadis dari para pembohong. Beberapa riwayat yang melegitimasi hal tersebut, misalnya:
-          Al-H{a>kim pernah berujar: beliau orang yang pertama kali melindungi/menjauhkan kedustaan dari Nabi saw.
-          Al-Z|ahabi> berkata tentang Abu> Bakar:[10] beliau yang pertama meletakkan dasar kehati-hatian dalam menerima hadis.
Demikianlah Abu> Bakr dianggap sebagai peletak dasar kaidah dalam kritik terhadap periwayat hadis, yang pada masa itu menggunakan metode perbandingan-perbandingan riwayat. Sampai kemudian datang masa Umar ibn al-Khat}t}a>b dan Ali ibn Abi> T{a>lib yang melanjutkan hal yang sama.[11]
Ibn H{ibba>n pernah berkomentar tentang Umar ibn al-Khat}t}a>b dan Ali ibn Abi> T{a>lib dengan menyatakan:
إِنَّ عُمَرً وَعَلِيًّا أَوَّلُ مَنْ فَتَّشَا عَنِ الرِّجَالِ فِى الرِّوَايَةِ، وَبَحَثَا عَنِ النَّقْلِ فِى الْأَخْبَارِ ثُمَّ تَبَعَهُمْ نَاسٌ عَلَى ذَلِكَ[12]
(Umar dan Ali> adalah orang-orang terdahulu yang melakukan penelitian terhadap para periwayat, dan menguji bentuk transfer hadis, yang metode dan jalan mereka itu diikuti oleh orang-orang setelahnya)
Setelah masa khalifah, dan seiring perkembangan Islam yang meniscayakan beredarnya hadis Nabi saw. ke negeri-negeri yang berhasil diislamkan, maka kegiatan kritik periwayat juga semakin marak dan bahkan mengambil bentuk yang berbeda, yaitu berupa madrasah-madrasah yang sekaligus menghadirkan tokoh-tokoh kritikus baru. Dan madrasah-madrasah yang terkenal pada masa awal itu adalah madrasah Madinah dan madrasah Irak.
Madrasah Madinah misalnya menghadirkan tokoh-tokoh tabiin terkenal, di antaranya:[13]
a.       Sai>d ibn al-Musayyab
b.      Al-Qa>sim ibn Muh}ammad ibn Abi> Bakr
c.       Sa>lim ibn Abdilla>h ibn Umar
d.      Ali> ibn H{usain ibn Ali>
e.       Abu> Salamah ibn Abd al-Rah}ma>n ibnAu>f
f.        Abdulla>h ibn Abdilla>h ibn Utbah
g.      Kha>rijah ibn Zaid ibn S|a>bit
h.      Urwah ibn Zubair ibn Awwa>m
i.        Abu> Bakr ibn Abd al-Rah}man ibn al-H{a>ris\ ibn Hisya>m
j.        Sulaima>n ibn Yassa>r
k.      Ibn Syiha>b al-Zuhri>
l.        Yah}ya> bin Sai>d al-Ans}a>ri>
m.    Hisya>m ibn Urwah, dan
n.      Saad ibn Ibra>hi>m.
Kemudian di madrasah Irak, melahirkan tokoh-tokoh kritikus seperti:
a.       Al-H{asan al-Bas}ri>
b.      T{a>wu>s ibn Ki>sa>n
c.       Sai>d ibn Jubair
d.      Ibra>hi>m al-Nakhai>
e.       A<mir al-Syabi>.
Dan termasuk tokoh-tokoh belakangan dalam kelompok tersebut, Ibn Si>ri>n.
            Pada masa-masa berikutnya, ketika kajian hadis semakin jauh berkembang, maka kegiatan kritik dan kritikus pun semakin meluas keberadaannya. Perjalanan ilmiah yang dilakukan oleh ta>bii>n dan ta>bi al-ta>bii>n ke berbagai daerah  menjadi pemicu tersendiri dalam mengembangkan kajian tersebut dan menambah tokoh-tokoh kritikus hadis di daerah-daerah baru itu.
            Ibn H{ibba>n telah mencontohkan tokoh-tokoh kritikus pada masa berikutnya, misalnya: [14]
a.       Sufya>n ibn Sai>d al-S|auri> di Ku>fah
b.      Malik ibn Anas di Madinah
c.       Abd al-Rah}ma>n ibn Amr al-Auza>i> di Beirut
d.      H{amma>d ibn Salamah di Bas}rah
e.       Al-Lai>s\ ibn Saad di Mesir
f.        H{amma>d ibn Zaid di Makkah, dan
g.      Sufya>n ibn Uyainah di Makkah.
Kemudian dari para tokoh ini, muncul lagi beberapa tokoh lain yang belajar dari mereka, yaitu:
a.       Abdulla>h ibn al-Muba>rak
b.      Yah{ya> ibn Sai>d al-Qat}t}a>ni>
c.       Waki> ibn al-Jarra>h}
d.      Abd al-Rah}ma>n ibn Mahdi>, dan
e.       Muh}ammad ibn Idri>s al-Sya>fii>.
Demikian pula beberapa tokoh-tokoh akhir yang mengambil pelajaran dari mereka, yaitu:[15]
a.       Ah}mad ibn H{anbal
b.      Yah{ya> ibn Mai>n
c.       Ali> ibn al-Madi>ni>
d.      Abu> Bakr ibn Abi Syaibah
e.       Ish}a>q ibn Ibra>hi>m al-H{anz}ali>
f.        Abdulla>h ibn Umar al-Qawa>riri>, dan
g.      Zuhair ibn H{arb.
Dari tokoh-tokoh di atas, lahir lagi tokoh-tokoh baru, di antaranya:[16]
a.       Muh}ammad ibn Yah}ya> al-Naisa>bu>ri>
b.      Al-Da>rimi>
c.       Abu> Zurah al-Ra>zi>
d.      Al-Bukha>ri>
e.       Muslim ibn al-H{ajja>j, dan
f.        Abu> Da>wud.
Demikianlah gambaran perkembangan dan kemunculan tokoh-tokoh kritikus hadis, yang saling berantai dari masa awal higga tokoh-tokoh yang lahir belakangan. Dari para tokoh tersebut, tidak ditemukan karya-karya mereka yang tersendiri tentang al-jarh} wa al-tadi>l, meskipun beberapa referensi menunjukkan bahwa beberapa tokoh telah menulis karya tersendiri. Di antara mereka misalnya, Syubah ibn al-H{ajja>j, al-Lai>s\ ibn Saad, Abd al-Rah}ma>n ibn Mahdi>, dan Yah{ya> ibn Sai>d.[17]
B.   Syarat-syarat kritikus hadis
Menjadi sebuah keniscayaan, bahwa dalam segala bidang keilmuan yang menuntut pertanggungjawaban ilmiah, kriteria-kriteria tertentu sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah keahlian atau profesi tertentu harus ditetapkan. Untuk menjadi seorang mufti, menjadi seorang mujtahid, atau menjadi seorang kritikus bahasa dan sastra misalnya, para ulama telah menetapkan berbagai syarat yang berkaitan dengan keahlian tersebut masing-masing. Maka sebagai salah satu ilmu yang sangat penting dalam Islam, karena berkaitan dengan hadis Rasulullah saw., semestinya kritikus hadis juga menuntut keahlian ilmiah dan kriteria khusus lainnya yang menjadi syarat seorang kritikus.
Menetapkan syarat dalam menentukan seorang kritikus yang berkompeten adalah hal yang urgen. Dalam sejarah jarh} wa tadil, pada awalnya para ulama yang memberikan kritikan atau penilaian kepada para periwayat hadis adalah orang-orang yang mantap dalam agama dan amanah. Namun, seiring bermunculannya berbagai mazhab, merebaknya berbagai bentuk bid’ah dah ekstrimisme keagamaan, maka kejujuran dan amanah mulai tergoyahkan, keilmuan pun bermasalah, sampai munculnya orang-orang yang tidak mengerti tentang ilmu ini memberikan komentar terhadap para periwayat. Dari sinilah penting untuk menetapkan syarat yang harusnya dipenuhi oleh kritikus, sehingga tidak sembarang orang yang bisa memberi komentar apalagi diterima penilaiannya.[18]
Syarat-syarat al-muaddil wa al-ja>rih} yang dalam makalah ini disebut kritikus, ada empat: [19]
1.      Orangnya a>dil.
2.      Memiliki sifat warayang menjauhkannya dari sifat fanatik dan menuruti hawa nafsunya.
3.      Memiliki kekuatan memori dan tidak pelupa sehingga benar-benar bisa menggambarkan keadaan periwayat.
4.      Mengetahui sebab-sebab jarh} dan tadil sehingga tidak mencacatkan orang yang faktanya adil dan sebaliknya men-tadi>l periwayat yang faktanya cacat.
Al-Umari> dalam keterangan lain menyatakan bahwa seorang kritikus hadis harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
1.      Mengenal mendalam keadaan periwayat dan metode periwayatan mereka.
2.      Memiliki pemahaman dan daya analisis yang tajam, serta memiliki kematangan berpikir, yang membuatnya tidak gegabah dalam menyimpulkan penilaian terhadap periwayat.
3.      Tidak dipengaruhi oleh permusuhan, perbedaan keyakinan, kedengkian, dalam menilai seorang periwayat.
Menurutnya, jika seorang kritikus tidak memenuhi kriteria di atas, maka akan mengambil kesimpulan dan memberikan keterangan yang gegabah dan ceroboh. Hal seperti demikianlah yang terjadi pada kasus Affa>n ibn Muslim, al-Fad}l ibn Daki>n, dan Abu> al-Fatta>h} al-Azadi>, yang oleh beberapa ulama ditolak kritikan dan komentarnya karena telah salah menyimpulkan penilaian.[20]
            H{asan Fauzi> dalam penelitian menjelaskan bahwa seorang kritikus pada dasarnya harus lebih awal memposisikan dirinya di antara Allah dan hamba (yang akan dikritisi). Sehingga rasa pertanggungjawabannya terhadap apa yang dia informasikan adalah pertanggungjawaban kepada Allah. Dengan demikian, dia akan sangat teliti, cermat, dan berhati-hati dalam memberikan keterangan tentang periwayat. Sedikit kesalahan akan berakibat sangat fatal, dia akan memberikan pujian kepada orang yang cacat, dan demikian sebaliknya. Hal tersebut sama halnya dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.[21]
            Menurut H{asan Fauzi>, seorang kritikus harus memiliki beberapa kriteria utama, yaitu: Ketaqwaan yang kuat; Ilmu yang mantap terkait metode dan para periwayat yang akan dikritisi; menghindarkan diri dari fanatisme dan kecenderungan tertentu yang membuatnya tidak obyektif dalam memberikan penilaian. Ketika kriteria-kriteria tersebut telah terpenuhi, justru menurutnya kita wajib berpegang kepada keterangan yang diberikan oleh kritikus bersangkutan. Alasannya adalah bahwa hadis Nabi tidak mungkin diketahui tanpa sanad, dan informasi tentang kualitas dan kapasitas para periwayat itu tidak mungkin diketahui tanpa informasi dari para kritikus yang kredibel tersebut.[22]

















BAB III
PENUTUP
-       Kesimpulan
1.      Eksistensi kritikus dalam kajian hadis Nabi saw. adalah hal yang sangat urgen dan signifikan. Sanad hadis yang berisi periwayat-periwayat yang menyampaikan sebuah hadis, membutuhkan penelitian tersendiri dalam menentukan kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya, sebagai pertimbangan bisa diterima atau ditolak riwayatnya. Ilmu al-jarh} wa al-tadi>l yang membahas keterpujian dan ketercelaan periwayat menisayakan adanya kritikus-kritikus sebagai pemberi informasi terkait hal-ihwal periwayat hadis. Kegiatan memberikan pujian atau celaan kepada orang lain, dalam konteks kebaikan agama, telah dicontohkan oleh Nabi, dan diikuti oleh sahabat,  dan dilegalkan dalam penelitian hadis, yang melahirkan banyak tokoh di berbagai tempat, seiring penyebaran hadis Nabi saw. sebagai konsekuensi dari penyebaran Islam.
2.      Sama halnya dengan periwayat hadis, para kritikus hadis juga memiliki kriteria yang harus dimiliki sebagai prasyarat untuk diterimanya penilaiannya. Beberapa kriteria yang ditetapkan ulama, yaitu: a) harus memiliki ketaqwaan yang kuat, sehingga termasuk orang adil; b) menguasai ilmu jarh} tadi>l; 3) hafal betul kriteria penilaian periwayat sehingga tidak gegabah dalam menilai, dan 4) memiliki sifat wara> yang menghindarkannya dari fanatisme, kebencian, dengki, dan segala bentuk kecenderungan yang bisa menjadikannya tidak obyektif dalam penilaian.
DAFTAR PUSTAKA
Az}ami>, Muh}ammad Mus}t}afa>. Manhaj al-Naqd Inda al-Muh}addis\i>n; Nasy’atuhu> wa Ta>ri>khuhu>. Cet. III; al-Mamlakah al-Sau>diyyah: Maktabah al-Kaus\ar, 1990.
Al-Az}ami>, Muh}ammad D}iya> al-Rah}ma>n. Dira>sa>t fi> al-Jarh} wa al-Tadi>l. Cet.I; Madinah: Maktabah al-Guraba> al-As\iriyyah,  1995.
Al-Abd al-Lat}i>f, ‘Abd al-Azi>z ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m. D}awa>bit} al-Jarh} wa al-Tadi>l. Cet. I; Madinah: al-Ja>miah al-Isla>miyyah, 1412 H.
Al-Bukha>ri>, Muh{ammad ibn Isma>‘i>l ibn Ibra>hi>m. S{ah{i>h{ al-Bukha>ri>. Kairo: Da>r al-Taqwa> li Tura>s\, 2001.
Ibn H{ibba>n, Muh}ammad. al-Majru>h}i>n. Halb: Da>r al-Wayi, [t.th].
Al-Jawa>bi>, Muh}ammad T{a>hir. al-Jarh} wa al-Tadi>l baina al-Mutasyaddidi>n wa al-Mutasa>hili>n. [t.tp]: al-Da>r al-Arabiyyah li al-Kita>b, 1997.
Al-S}ai>di>, H{asan Fauzi> H{asan. al-Manhaj al-Naqd inda al-Mutaqaddimi>n min al-Muh}addis\i>n wa As\aru Taba>yuni al-Manhaji. Risalah Magister di Universitas Ainu al-Syams Kairo, 2001.
Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen” dalam Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia, 1977.
Soebahar, Erfan. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah; Kritik Mushthafa al-Sibai terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al-Islam. Cet. I; Bogor: Kencana, 2003.
Al-‘Umari>, Muh}ammad Ali> Qa>sim. Dira>sa>t Manhaj al-Nadq Inda al-Muh}addis\i>n. Yordan: Da>r al-Nafa>is, [t.th].
Al-Z|ahabi>, Syams al-Di>n. Taz\kirah  al-H{uffa>z}. Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\, 1374 H.




[1]S|iqah adalah istilah yang meliputi dua unsur yaitu kualitas pribadi dan kapasitas intelektual periwayat, menjadi ukuran standar dalam meneliti periwayat-periwayat hadis. Lihat: Abd al-Azi>z ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m al-Abd al-Lat}i>f, D}awa>bit} al-Jarh} wa al-Tadi>l (Cet. I; Madinah: al-Ja>miah al-Isla>miyyah, 1412 H), h. 11.
[2]Ilmu al-jah} wa al-tadi>l adalah ilmu yang membahas tentang kritikan (penilaian) terhadap para periwayat hadis, baik keterpujian maupun ketercelaannya, yang berimplikasi pada diterima atau ditolaknya riwayat seorang periwayat. Lihat: Muh}ammad T{a>hir al-Jawa>bi>, al-Jarh} wa al-Tadi>l baina al-Mutasyaddidi>n wa al-Mutasa>hili>n ([t.tp]: al-Da>r al-Arabiyyah li al-Kita>b, 1997), h. 20.
[3]Muh}ammad Ali> Qa>sim al-Umari>, Dira>sa>t Manhaj al-Nadq Inda al-Muh}addis\i>n (Yordan: Da>r al-Nafa>is, [t.th]), h. 11; Bandingkan: Muh}ammad Mus}t}afa> Az}ami>, Manhaj al-Naqd Inda al-Muh}addis\i>n; Nasy’atuhu> wa Ta>ri>khuhu> (Cet. III; al-Mamlakah al-Sau>diyyah: Maktabah al-Kaus\ar, 1990), h. 5.
[4]Muh{ammad ibn Isma>‘i>l ibn Ibra>hi>m al-Bukha>ri>, S{ah{i>h{ al-Bukha>ri>, Juz VII, (Kairo: Da>r al-Taqwa> li Tura>s\, 2001), h. 86.
[5]Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah; Kritik Mushthafa al-Sibai terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al-Islam (Cet. I; Bogor: Kencana, 2003), h.  216. 
[6]Bandingkan dengan Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen” dalam Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT Gramedia, 1977), h. 79.
[7]Erfan Soebahar, op. cit., h. 217.
[8]Al-Umari>, op. cit., h. 18.
[9]Mus}t}afa> Az}ami>, op. cit., h. 7.
[10]Syams al-Di>n al-Z|ahabi>, Taz\kirah  al-H{uffa>z}, Juz II, (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\, 1374 H), h. 2.
[11]Mus}t}afa> al-Az}ami>, op. cit., h. 11.
[12]Muh}ammad ibn H{ibba>n al-Busti>, al-Majru>h}i>n, Juz XIII, (Halb: Da>r al-Wayi, [t.th]), h. 17.
[13]Ibn H{ibba>n, op. cit., Juz XIII, h. 1-39.
[14]Ibn  H{ibba>n, op. cit. h. 17.
[15]Ibid.
[16]Ibid., h. 18.
[17]Mus}t}afa> Az}ami>, op. cit., h. 17;  Al-Jawa>bi> memaparkan tentang sejarah kritikus dengan membaginya ke dalam kurun waktu abad, sehingga kritikus hadis dibagi berdasarkan abad kemunculan mereka. Lihat: al-Jawa>bi>, op. cit., h. 179-200.
[18]Muh}ammad D}iya> al-Rah}ma>n al-Az}ami>, Dira>sa>t fi> al-Jarh} wa al-Tadi>l (Cet.I; Madinah: Maktabah al-Guraba> al-As\iriyyah,  1995), h. 65.
[19]Al-Abd al-Lat}i>f, op. cit., h. 37.
[20]Al-Az}ami, op. cit., h. 18.
[21]H{asan Fauzi> H{asan al-S}ai>di>, al-Manhaj al-Naqd inda al-Mutaqaddimi>n min al-Muh}addis\i>n wa As\aru Taba>yuni al-Manhaji (Risalah Magister di Universitas Ainu al-Syams Kairo, 2001), h. 311.
[22]Ibid., h. 312.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar