BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam mengajarkan kita agar memandang kematian sebagai suatu perkara yang
tidak bisa dihindari. Kematian merupakan taqdir yang sepenuhnya di dalam
rahasia pengetahuan Allah. Tidak ada seorangpun yang tahu di bumi mana ia akan
menemui ajalnya. Demikian pula ia tidak tahu pada usia berapa kematian akan
menghampirinya.
Oleh karena itu maka Allah menyuruh seorang mukmin untuk selalu
memperbaharui komitmennya dalam hidup di dunia yang fana ini dengan berikrar
bahwa segenap kesibukannya harus ditujukan hanya untuk meraih keridhaan Allah.
Baik itu yang menyangkut sholatnya, berbagai ibadahnya, berbagai aktifitas
hidupnya bahkan hingga kematiannya.
قُلْ إِنَّ صَلاتِي
وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
terjemah
”Katakanlah: "Sesungguhnya salatku, ibadahku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (QS Al-An’aam ayat
162)
Maka seorang mukmin yang faham
dan sadar akan hal ini akan senantiasa berharap hidupnya berakhir dalam keadaan
husnul-khaatimah (happy ending/akhir yang baik).
Seorang mukmin akan
mengembangkan the art of dying (seni menjemput kematian). Dan di antara
salah satu seni terbaik dalam menjemput kematian di dalam ajaran Islam ialah
mengembangkan kerinduan untuk meraih mati syahid. Di antara sahabat Nabi
Muhammad shollallahu
’alaih wa sallam adalah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu yang
menjelang kematiannya berdoa: ”Ya Allah karuniailah aku mati syahid di bumi
RasulMu (Madinah).” Maka tidak lama
semenjak doa dilantunkan Allah-pun mengabulkannya. Sehingga ketika Umar
memimpin sholat subuh tiba-tiba Abu Lulu’ah Al-Majusi menusuk berkali-kali
tubuh mulia Sang Khalifah dengan pisau belati sehingga darah mengalir dengan
derasnya dan tak lama kemudian Al-Faruq menghadap Ilahi Rabbi dalam
keadaan mati syahid.[1]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
penjelasan di atas maka penulis akan menjelaskan lebih lanjut tentang :
1. Apa yang dimaksud
syahid ?
2. Bagaimanakah orang
yang termasuk golongan syahid ?
3. apa keutamaan
yang mendapatkan syahid ?
BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan Hadis
Rasulullah saw:
وَحَدَّثَنِى زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا تَعُدُّونَ الشَّهِيدَ فِيكُمْ ».
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
قَالَ « إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِى إِذًا لَقَلِيلٌ ». قَالُوا فَمَنْ هُمْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ
مَاتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِى الطَّاعُونِ فَهُوَ
شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِى الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ ». قَالَ ابْنُ مِقْسَمٍ
أَشْهَدُ عَلَى أَبِيكَ فِى هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّهُ قَالَ « وَالْغَرِيقُ
شَهِيدٌ ».[2]
artinya
:
Dari
Abu Hurairah ra. pula, dari Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang kalian anggap
sebagai orang yang mati syahid? Para sahabat menjawab: Ya Rasulullah,
barangsiapa yang terbunuh dalam peperangan fi-sabilillah, maka ia adalah
seorang syahid. Beliau saw. bersabda: Kalau demikian, maka sesungguhnya
orang-orang yang mati syahid dari umatku sedikit. Mereka bertanya: Lalu siapa
mereka ya Rasulullah? Beliau saw. bersabda: Barangsiapa yang terbunuh dalam
melakukan peperangan fi-sabilillah, maka ia syahid, dan barangsiapa yang mati
dalam peperangan fi-sabilillah maka ia syahid, dan barangsiapa mati karena
wabah penyakit maka ia syahid, dan barangsiapa mati karena penyakit perut maka
ia syahid, dan orang yang mati tenggelam juga syahid. (HR Muslim)
A.
Pengertian
Syahid secara
bahasa merupakan turunan dari kata sya-hi-da (arab: شهد ) yang artinya bersaksi atau hadir. Saksi
kejadian, artinya hadir dan ada di tempat kejadian.[3]
Istilah ini umumnya digunakan untuk menyebut orang yang meninggal di medan
jihad dalam rangka menegakkan kalimat Allah.
Ulama
berbeda pendapat tentang alasan mengapa mereka disebut syahid. Al-Hafidz Ibnu
Hajar menyebutkan sekitar 14 pendapat ulama tentang makna syahid. Berikut
diantaranya [4];
- Karena orang yang mati syahid hakekatnya masih hidup, seolah ruhnya menyaksikan, artinya hadir. Ini merupakan pendapat An-Nadhr bin Syumail.
- Karena Allah dan para malaikatnya bersaksi bahwa dia ahli surga. Ini merupakan pendapat Ibnul Anbari.
- Karena ketika ruhnya keluar, dia menyaksikan bahwa dirinya akan mendapatkan pahala yang dijanjikan.
- Karena disaksikan bahwa dirinya mendapat jaminan keamanan dari neraka.
- Karena ketika meninggal tidak ada yang menyaksikannya kecuali malaikat penebar rahmat.
B.
Macam-macam syahid
Imam Nawawiy dalam kitab Syarah
Shahih Muslim menyatakan, bahwa syahid itu terbagi menjadi tiga macam.[5]
Pertama
syahid dunia dan akherat; yaitu, orang yang gugur di dalam peperangan
melawan kaum kafir disebabkan karena terbunuh. Orang semacam ini dihukumi
sebagai syuhada’ yang akan memperoleh pahala di akherat dan dihukumi syahid
dunia, yakni jenazahnya tidak dimandikan dan disholatkan. Ia dikuburkan bersama
dengan pakaian dan darah yang melekat di badannya.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُبَارَكِ
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ يَحْيَى هُوَ الصَّدَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا
صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِي الْمُثَنَّى الْأُمْلُوكِيِّ عَنْ عُتْبَةَ
بْنِ عَبْدٍ السُّلَمِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْقَتْلَى ثَلَاثَةٌ مُؤْمِنٌ جَاهَدَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
إِذَا لَقِيَ الْعَدُوَّ قَاتَلَ حَتَّى يُقْتَلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ فَذَلِكَ الشَّهِيدُ الْمُمْتَحَنُ فِي خَيْمَةِ اللَّهِ
تَحْتَ عَرْشِهِ لَا يَفْضُلُهُ النَّبِيُّونَ إِلَّا بِدَرَجَةِ النُّبُوَّةِ
وَمُؤْمِنٌ خَلَطَ عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا جَاهَدَ بِنَفْسِهِ
وَمَالِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِذَا لَقِيَ الْعَدُوَّ قَاتَلَ حَتَّى يُقْتَلَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ مُمَصْمِصَةٌ مَحَتْ
ذُنُوبَهُ وَخَطَايَاهُ إِنَّ السَّيْفَ مَحَّاءٌ لِلْخَطَايَا وَأُدْخِلَ
الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَ وَمُنَافِقٌ جَاهَدَ بِنَفْسِهِ
وَمَالِهِ فَإِذَا لَقِيَ الْعَدُوَّ قَاتَلَ حَتَّى يُقْتَلَ فَذَاكَ فِي
النَّارِ إِنَّ السَّيْفَ لَا يَمْحُو النِّفَاقَ قَالَ عَبْد اللَّهِ يُقَالُ
لِلثَّوْبِ إِذَا غُسِلَ مُصْمِصَ[6]
Artinya :
Orang yang terbunuh
(dalam peperangan) ada tiga macam, yaitu; orang mukmin yang berjihad dengan
jiwa dan hartanya di jalan Allah, apabila ia bertemu dengan musuh, ia berperang
hingga terbunuh. Nabi berkata mengenai orang ini: Maka itulah orang yang syahid
dan mendapatkan ujian, ia berada dalam kemah Allah di bawah 'Arsy, para nabi
tak lebih utama daripada mereka kecuali dengan derajat kenabian, dan seorang
mukmin yang mencampurkan amalan shalih dan yang lainnya adalah amalan
keburukan, ia berjihad dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah. Apabila ia
bertemu musuh, maka ia berperang hingga terbunuh. Nabi bersabda mengenai orang
ini: Satu gerakan telah menghapus dosa-dosa serta kesalahannya, sesungguhnya
pedang menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Dan ia dimasukkan di dalam Surga
dari pintu Surga manapun yang ia kehendaki. Dan seorang munafik yang berjihad
dengan jiwa dan hartanya, apabila ia bertemu musuh, maka ia berperang hingga
terbunuh. Maka orang itu ada dalam Neraka. Sesungguhnya pedang tak menghapuskan
kemunafikannya. Abdullah berkata; Apabila baju telah dicuci, maka disebut mus}mis}a.
Kedua
syahid akherat, yakni orang yang mendapat pahala
di akherat, akan tetapi tidak dihukumi syahid di kehidupan dunia. Mereka adalah
meninggal dunia karena sakit perut, penyakit thaun, orang yang tertimpa
bangunan atau tembok, orang yang terbunuh karena mempertahankan harta, dan
orang-orang yang telah disebutkan di dalam hadits shahih dengan sebutan syahid.
Orang-orang semacam ini, jenazahnya wajib dimandikan dan disholatkan. Mereka
mendapatkan pahala syahid di akherat, hanya saja tidak sama dengan pahala orang
yang mati syahid jenis pertama.
Adapun dalil-dalil yang
menunjukkan sejumlah orang yang mendapatkan pahala syahid di akherat; atau yang
disebut dengan syahid akherat; namun tidak dihukumi syahid dunia, adalah
sebagai;
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ
وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِيقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ[7]
artinya:
“Syuhadaa’
(orang-orang yang mati syahid) itu ada lima, “orang mati karena terkena
penyakit tha’un (lepra), orang yang meninggal karena sakit perut, orang yang
mati tenggelam, orang yang tertimpa bangunan rumah atau tembok; dan orang yang
gugur di jalan Allah.”
Mempertahankan
Harta Benda miliknya
عن
عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قال : سمعت النبي صلى الله عليه و سلم يقول ( من
قتل دون ماله فهو شهيد[8]
artinya :
Dari
Abdullah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa
yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia adalah syahid.
Mereka digelari oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syahid, namun jenazahnya
disikapi sebagaimana jenazah kaum muslimin pada umumnya. Artinya tetap wajib
dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan. Para ulama mengistilahkan
dengan syahid akhirat. Di akhirat dia mendapat pahala syahid, namun di dunia
dia ditangani sebagaimana umumnya jenazah.
Ketika
mejelaskan hadis daftar orang yang mati syahid selain di medan jihad, Al-Hafidz
Badaruddin al-Aini al-Hanafi> mengatakan;
فهم شُهَدَاء حكما لَا حَقِيقَة،
وَهَذَا فضل من الله تَعَالَى لهَذِهِ الْأمة بِأَن جعل مَا جرى عَلَيْهِم تمحيصاً
لذنوبهم وَزِيَادَة فِي أجرهم بَلغهُمْ بهَا دَرَجَات الشُّهَدَاء الْحَقِيقِيَّة
ومراتبهم، فَلهَذَا يغسلون وَيعْمل بهم مَا يعْمل بِسَائِر أموات الْمُسلمين[9]
Artinya:
“Mereka
mendapat gelar syahid secara status, bukan hakiki. Dan ini karunia Allah untuk
umat ini, dimana Dia menjadikan musibah yang mereka alami (ketika mati) sebagai
pembersih atas dosa-dosa mereka, dan ditambah dengan pahala yang besar,
sehingga mengantarkan mereka mencapai derajat dan tingkatan para syuhada hakiki.
Karena itu, mereka tetap dimandikan, dan ditangani sebagaimana umumnya jenazah
kaum muslimin.”
Menurut Ibnu al-Ti>n,
semua keadaan di atas merupakan kematian yang telah ditetapkan Allah sebagai keutamaan
bagi umat Mohammad saw. Sebab, Allah swt akan mengampuni dosa-dosa mereka dan
menambah pahala mereka hingga mencapai martabat syahid. Hanya saja, menurut
al-Hafidz Ibnu Hajar, derajat atau martabat mereka tidaklah sama dengan syahid
jenis pertama.[10]
Ketiga,
syahid dunia saja; yakni orang yang mengambil dengan
sembunyi-sembunyi harta ghanimah, atau melakukan perbuatan-perbuatan lain yang
bisa menafikan sebutan jihad. Jika orang ini gugur di medan perang melawan
orang kafir, maka ia dihukumi syahid di dunia, sehingga tidak wajib dimandikan
dan disholatkan . Akan tetapi, ia tidak mendapatkan pahala yang sempurna di
akherat
الرجل
يقاتل للمغنم والرجل يقاتل للذكر والرجل
يقاتل ليرى مكانه فمن في سبيل الله ؟ قال من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو
في سبيل الله[11]
“Ada seorang laki-laki berperang karena ingin mendapatkan ghanimah, ada
pula yang berperang untuk diingat (kemasyhuran), dan ada pula yang berperang
supaya kedudukannya tinggi; lantas siapa orang yang benar-benar berjihad di
jalan Allah ? Rasulullah saw menjawab, “Siapa saja yang berperang untuk
meninggikan kalimat Allah, maka ia benar-benar berjihad di jalan Allah.”
Di dalam riwayat Muslim juga
dituturkan, bahwa syarat agar memperoleh pahala syahid di akherat adalah tidak
melakukan kemaksiyatan. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat dari ‘Abdullah
bin Abi Qatadah, dari Qatadah, bahwasanya Rasulullah saw berdiri diantara para
shahabat, dan menyampaikan kepada mereka bahwa jihad di jalan Allah, dan iman
kepada Allah merupakan seutama-utama amal. Seorang laki-laki berdiri dan
bertanya kepada Nabi saw :
أَرَأَيْتَ
إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ فَقَالَ لَهُ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ثُمَّ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ قُلْتَ قَالَ
أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ
مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلَّا الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ
السَّلَام قَالَ لِي ذَلِكَ
“Apakah jika aku gugur di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan terampuni?
Nabi saw menjawab, “Ya. Jika kamu terbunuh di jalan Allah, dan kamu bersabar
atas apa yang menimpamu, dan kamu tidak berbuat maksiat.” Lalu, Rasulullah saw
bertanya lagi, “Apa katamu? Laki-laki itu menjawab, “Jika aku terbunuh di jalan
Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus? Nabi saw menjawab, “Benar. Dan kamu
bersabar atas apa yang menimpamu dan tidak melakukan maksiyat, kecuali hutang.
Sebab, Jibril as telah mengabarkan hal itu kepadaku.
C.
Keutamaan Syahid
Di dalam kitab shahih riwayat Bukhri dan Muslim dari Anas tentang kisah
tujuh puluh kaum Anshor yang terbunuh di sumur Ma’unah dalam satu perjalanan
peperangan, maka Rasulullah saw
melakukan qunut guna berdo’a untuk kebinasaan kaum yang telah membunuh mereka.
Anas berkata: Maka kami membaca Al-Qur’an tentang mereka kemudian hal itu
terangkat,(Kabarkanlah kaum kami tentang keadaan kami bahwa kami telah bertemu
dengan Tuhan kami maka Diapun meridhai kami dan membuat kami redha)”.[12]
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Ibnu Abbas
radhiallahu anhuma bahwa Nabi Muhammad shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
Para syuhada berada pada bagian tertinggi surga di pintu surga, pada sebuah
kubah berwarna hijau, rizki mereka dari surga keluar darinya baik pada waktu
pagi atau siang”.[13]
Ibnu Katsir berkata: Seakan-akan para syuhada tersebut terbagi menjadi
beberapa kelompok, di antara mereka ada yang ruh-ruhnya berterbangan di dalam
surga, dan di antara mereka ada yang berada pada sungai di pintu surga, dan bisa
jadi perjalanan terakhir mereka pada sungai ini dan mereka berkumpul padanya
dan mereka diberikan rizki padanya baik pada waktu pagi atau petang.
Motifasi untuk berjihad, dan hidup zuhud dengan dunia yang kenikmatannya
bersifat fana. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Sahl
bin Hunaif dari bapakanya bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: Barangsiapa yang memohon mati syahid kepada Allah dengan sebenarnya,
maka Allah akan menyamapikannya pada tingkat orang yang mati syahid sekalipuin
dirinya mati di atas ranjang tidurnya”.[14]
Allah berfirman
] وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللهِ
أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ [
Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi
Tuhannya dengan mendapat rezeki. Ali Imron: 169.
Syekh
Abdurrahman Al-Sa’di berkata: Firman Allah Ta’ala:
] وَلاَ
تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا [
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang
yang gugur di jalan Allah itu mati;
Artinya berjihad melawan musuh-musuh agama Allah subhanahu wata’ala, dalam rangka meninggikan kalimat Allah. (أَمْوَاتًا) yang bermakna mati maksudnya adalah janganlah tersirat
di dalam benakmu dan prasangkamu bahwa mereka telah mati dan sirna serta telah
menghilang dari mereka kelezatan hidup di dunia dan dari bersenang-senang
dengan kemegahan hidup dunia, karena dengan mati di jalan Allah, mereka
mendapatkan apa yang lebih besar dari apa yang menjadi impian bagi setiap
muslim yaitu mereka hidup di sisi tuhan mereka dan mereka diberikan rizki
dengan berbagai kenikmatan yang tidak
merasakan keindahannya kecuali oleh orang yang diberikan nikmat oleh Allah
dengannya”.[15]
Allah Berfirman :
] فَرِحِينَ
بِمَآ آتَاهُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ
يَلْحَقُواْ بِهِم مِّنْ خَلْفِهِمْ أَلاَّ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ
يَحْزَنُونَ [
mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah
yang diberikan -Nya kepada mereka, dan
mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang
masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
)QS. Ali Imron: 170).
Maksudnya adalah orang yang mati syahid di jalan
Allah tetap hidup dan diberikan rizki di sisi Tuhan mereka, mereka riang
gembira dan bersenang-senang dengan apa yang mereka dapatkan dan bergirang hati
dengan saudara-saudara mereka yang terbunuh di jalan Allah subhanahu wata’ala setelah mereka, bahwa mereka mendahului dan tidak takut
dengan apa yang ada dihadapan mereka serta tidak bersedih dengan apa yang
mereka tinggalkan dibelakang mereka (yaitu di dunia).
Di dalam kitab shahih riwayat Bukhri dan Muslim dari Anas tentang kisah
tujuh puluh kaum Anshor yang terbunuh di sumur Ma’unah dalam satu perjalanan
peperangan, maka Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam melakukan qunut guna berdo’a untuk kebinasaan kaum yang
telah membunuh mereka. Anas berkata: Maka kami membaca Al-Qur’an tentang mereka
kemudian hal itu terangkat,(Kabarkanlah kaum kami tentang keadaan kami bahwa
kami telah bertemu dengan Tuhan kami maka Diapun meredhai kami dan membuat kami
ridho)”.[16]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Syahid secara
bahasa merupakan turunan dari kata sya-hi-da (arab: شهد ) yang artinya bersaksi atau hadir. Saksi
kejadian, artinya hadir dan ada di tempat kejadian.
2.
Imam Nawawiy dalam kitab Syarah
Shahih Muslim menyatakan, bahwa syahid itu terbagi menjadi tiga macam:
·
Pertama syahid dunia dan akherat;
yaitu, orang yang gugur di dalam peperangan melawan kaum kafir disebabkan
karena terbunuh.
·
Kedua syahid
akherat, yakni orang yang mendapat pahala di akherat, akan tetapi tidak
dihukumi syahid di kehidupan dunia.Mereka adalah meninggal dunia karena sakit
perut, penyakit thaun, orang yang tertimpa bangunan atau tembok, orang yang
terbunuh karena mempertahankan harta, dan orang-orang yang telah disebutkan di
dalam hadits shahih dengan sebutan syahid.
·
Ketiga, syahid dunia saja; yakni
orang yang mengambil dengan sembunyi-sembunyi harta ghanimah, atau melakukan
perbuatan-perbuatan lain yang bisa menafikan sebutan jihad.
3.
Keutamaan para syuhada
berada pada bagian tertinggi surga di pintu surga, pada sebuah kubah berwarna
hijau, rizki mereka dari surga keluar darinya baik pada waktu pagi atau siang.
Daftar
Pustaka
Abdullah
bin Abdu al-Rahma>n Abu Muhammad al-Da>rimi>, Sunan al-Da>rimi>,
Juz. II Beirut: Dar al-Kita>b al-‘Arabi>, 1407
Abdullah
bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, jil. I, Bogor : Pustaka Imam Asy
Syafi’i 2004,
Abu al-Husain Ahmad bin Faris Ibnu Zakariyyah,
Maqa>yis Al-Lughah, juz V t.t: Ittiha>d al-kita>b al-’Arab
2007.
Abu
Abdullah Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Beirut: ‘A>limu al-Kita>b 1998,
juz. 4,
Ahmad
bin ‘Ali> bin Hajr Abu> al-Fadli al-Asqala>ni> al-Sya>fi’i>, Fath
al-Ba>ri> Syarh S}ah}ih al-Bukha>ri>, Juz. VI Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1379
Badru
al-Din al-Ain al-Hanafi>, Umdatu al-Qari Syarh S}hahih Bukhari, CD_ROM al-Maktabah al-Sya>milah diambil dari http://www.alwarraq.com juz.
21.
Ihsan
Tanjung,Keutamaan Mati Syahid,
http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot
/keutamaan-mati-syahid.htm#.Urb0nSfJOkx, 20, mei, 2010
Muh}ammad Ibn Isma>’il Abu> Abdillah
al-Bukha>ri>, S{ahi>h al-Bukha>ri, cet. III; Beirut: Da>r Ibnu Kas\i>r,
1987/1407juz I.
Muhammad
bin Mukrim bin Manzu>r al-Afri>qi> al-Misri>, Lisa>n al-‘Arab,
juz XIII cet.I: Beirut: Dar S}ha>dir, t.th
Muslim Ibn Hajjaj Abu> al-H}usain
al-Qusyairi al-Naisabu>ri>,>
S{ah}i>h} Muslim, juz II Bai>ru>t:Da>r
Ihya> al-T{irah, t.th
Yahya bin Syarf bin Murri>y bin Hasan bin Husain
bin Hiza>m Al-Nawawi,
Shahi>h Muslim bi Syar Al-Nawawi>, cet. I; Mesir: Al-Mat}ba’a Al-Misriyah
Al-Azhar, 1930, juz. 13.
ibn
Na>s}ir ibn Al-Sa’di Abdu al-Rahma>n, Tafsir Al-Kari>m
Al-Rahma>n fi> Tafsi>r kala>m Al-Manna>n, juz, I, Muassah
risalah ,2000
[1]Ihsan Tanjung, Keutamaan
Mati Syahid, (http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot /keutamaan-mati-syahid.htm#.Urb0nSfJOkx,
20, mei, 2010)
[2]Muslim Ibn Hajjaj Abu> al-H}usain al-Qusyairi al-Naisabu>ri>,> S{ah}i>h}
Muslim, juz
II (Bai>ru>t:Da>r
Ihya> al-T{irah, t.th) h. 3538-3539
[3]Muhammad bin Mukrim bin
Manzu>r al-Afri>qi> al-Misri>, Lisa>n al-‘Arab, juz XIII
(cet.I: Beirut: Dar S}ha>dir, t.th), Hal. 238. Lihat juga Abu al-Husain Ahmad bin Faris Ibnu Zakariyyah, Maqa>yis
Al-Lughah, juz V (t.t: Ittiha>d al-kita>b al-’Arab 2007 ),hal. 172
[4]Ahmad bin ‘Ali> bin Hajr
Abu> al-Fadli al-Asqala>ni> al-Sya>fi’i>, Fath
al-Ba>ri> Syarh S}ah}ih al-Bukha>ri>, Juz. VI (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1379) h. 42-43
[5]Yahya bin Syarf bin Murri>y bin Hasan bin
Husain bin Hiza>m Al-Nawawi, Shahi>h Muslim bi Syar Al-Nawawi>,
(cet. I; Mesir: Al-Mat}ba’a Al-Misriyah Al-Azhar, 1930), juz. 13, h. 63
[6]Abdullah bin Abdu
al-Rahma>n Abu Muhammad al-Da>rimi>, Sunan al-Da>rimi>, Juz. II
(Beirut: Dar al-Kita>b al-‘Arabi>, 1407) h. 2304
[7]Muh}ammad
Ibn Isma>’il Abu> Abdillah al-Bukha>ri>, S{ahi>h
al-Bukha>ri, (cet. III; Beirut:
Da>r Ibnu Kas\i>r, 1987/1407)juz I, h. 233
[8]Muh}ammad
Ibn Isma>’il Abu> Abdillah al-Bukha>ri>, S{ahi>h
al-Bukha>ri, (cet. III; Beirut:
Da>r Ibnu Kas\i>r, 1987/1407)juz II, h. 877
[9]Badru al-Din al-Ain
al-Hanafi>, Umdatu al-Qari Syarh S}hahih Bukhari,
(CD_ROM al-Maktabah al-Sya>milah diambil dari http://www.alwarraq.com ) juz. 21. h. 273
[10]Ahmad
bin ‘Ali> bin Hajr Abu> al-Fadli al-Asqala>ni> al-Sya>fi’i>, Fath
al-Ba>ri> Syarh S}ah}ih al-Bukha>ri>, Juz. VI (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1379) h.
44
[11]Muh}ammad Ibn Isma>’il Abu> Abdillah al-Bukha>ri>,
S{ahi>h al-Bukha>ri, (cet.
III; Beirut: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1987/1407)juz III, h. 1034
[12]Muh}ammad Ibn Isma>’il Abu> Abdillah al-Bukha>ri>,
S{ahi>h al-Bukha>ri, (cet.
III; Beirut: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1987/1407)juz III, h. 4090
[13]Abu Abdullah
Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Beirut: ‘A>limu al-Kita>b
1998) juz. 4, h. 220 lihat juga di Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu
Katsir, jil. I, (Bogor : Pustaka Imam Asy Syafi’i) 2004, hal. 142
[14] Yahya bin Syarf bin Murri>y bin Hasan bin
Husain bin Hiza>m Al-Nawawi, Shahi>h Muslim bi Syar Al-Nawawi>,
(cet. I; Mesir: Al-Mat}ba’a Al-Misriyah Al-Azhar, 1930), juz. 13, h. 1909
[15]Abdu
al-Rahma>n ibn Na>s}ir ibn Al-Sa’di, Tafsir Al-Kari>m Al-Rahma>n
fi> Tafsi>r kala>m Al-Manna>n, juz, I(Muassah risalah ,2000)
h.169
[16]Muh}ammad Ibn Isma>’il Abu> Abdillah al-Bukha>ri>,
S{ahi>h al-Bukha>ri, (cet.
III; Beirut: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1987/1407) juz III, h. 4090
Tidak ada komentar:
Posting Komentar